Gayanya modis abis. Lagaknya cuek saat memasuki toko Sasa di Paterson Street, Couseway Bay sekitar pukul 10.30 pagi. Sendirian ia melihat barang barang kosmetik yang terpajang di sana. Kadang ia berdiri sebentar, menghias wajahnya dengan kosmetik percobaan yang telah disediakan fihak toko.
Puas,memakaikosmetik gratis,Mawarni,25 keluar gedung membawa langkah kakinya yang terbalut sepatu putih. Sesekali ia membenahi letak tas punggung berwarna hitam yang ada di salah satu bahunya. Rupanya, tak satupun alat kecantikan yang dibeli. Begitu keluar dari ruangan ber-AC, -ini dia yang tidak di duga- Mawarni. Dua aparat kepolisian menghadangnya. Terang aja ia gelagapan. Apalagi Pak Pol langsung menyuruh mengeluarkan KTP dan meminta izin untuk mengeledahi barang barang yang ada di dalam ransel hitamnya, termasuk dompetnya.
Kejadian pagi itu mengundang perhatian banyak BMI, yang akhirnya merambat ke isu-isu yang tidak benar. Maklum…simpang jalan itu, gerbang “kampus” BMI. Ada yang mengatakan: seorang BMI tertangkap polisi karena ketahuan mengambil barang dagangan alat kecantikan, ada pula yang mengatakan, pelayang toko jengkel dengan ulah gadis itu. Yang katanya sering datang pergi dan berlalu begitu saja.
Untungnya, Mawarni tak jadi digiring kekantor polisi. Minggu itu fihak kepolisian setempat memang sedang melakukan razia over stay alias BMI illegal. He…he… makane to War, ra sah macak ayu ayu, yen mung ngawe barang gratisan, xi..xi… Begitulah sobat PENAMPILAN BISA MENGUNDANG KECURIGAAN.
Rabu, 27 Februari 2008
MAWARNI DIINTROGASI APARAT
Gayanya modis abis. Lagaknya cuek saat memasuki toko Sasa di Paterson Street, Couseway Bay sekitar pukul 10.30 pagi. Sendirian ia melihat barang barang kosmetik yang terpajang di sana. Kadang ia berdiri sebentar, menghias wajahnya dengan kosmetik percobaan yang telah disediakan fihak toko.
Puas,memakaikosmetik gratis,Mawarni,25 keluar gedung membawa langkah kakinya yang terbalut sepatu putih. Sesekali ia membenahi letak tas punggung berwarna hitam yang ada di salah satu bahunya. Rupanya, tak satupun alat kecantikan yang dibeli. Begitu keluar dari ruangan ber-AC, -ini dia yang tidak di duga- Mawarni. Dua aparat kepolisian menghadangnya. Terang aja ia gelagapan. Apalagi Pak Pol langsung menyuruh mengeluarkan KTP dan meminta izin untuk mengeledahi barang barang yang ada di dalam ransel hitamnya, termasuk dompetnya.
Kejadian pagi itu mengundang perhatian banyak BMI, yang akhirnya merambat ke isu-isu yang tidak benar. Maklum…simpang jalan itu, gerbang “kampus” BMI. Ada yang mengatakan: seorang BMI tertangkap polisi karena ketahuan mengambil barang dagangan alat kecantikan, ada pula yang mengatakan, pelayang toko jengkel dengan ulah gadis itu. Yang katanya sering datang pergi dan berlalu begitu saja.
Untungnya, Mawarni tak jadi digiring kekantor polisi. Minggu itu fihak kepolisian setempat memang sedang melakukan razia over stay alias BMI illegal. He…he… makane to War, ra sah macak ayu ayu, yen mung ngawe barang gratisan, xi..xi… Begitulah sobat PENAMPILAN BISA MENGUNDANG KECURIGAAN.
Puas,memakaikosmetik gratis,Mawarni,25 keluar gedung membawa langkah kakinya yang terbalut sepatu putih. Sesekali ia membenahi letak tas punggung berwarna hitam yang ada di salah satu bahunya. Rupanya, tak satupun alat kecantikan yang dibeli. Begitu keluar dari ruangan ber-AC, -ini dia yang tidak di duga- Mawarni. Dua aparat kepolisian menghadangnya. Terang aja ia gelagapan. Apalagi Pak Pol langsung menyuruh mengeluarkan KTP dan meminta izin untuk mengeledahi barang barang yang ada di dalam ransel hitamnya, termasuk dompetnya.
Kejadian pagi itu mengundang perhatian banyak BMI, yang akhirnya merambat ke isu-isu yang tidak benar. Maklum…simpang jalan itu, gerbang “kampus” BMI. Ada yang mengatakan: seorang BMI tertangkap polisi karena ketahuan mengambil barang dagangan alat kecantikan, ada pula yang mengatakan, pelayang toko jengkel dengan ulah gadis itu. Yang katanya sering datang pergi dan berlalu begitu saja.
Untungnya, Mawarni tak jadi digiring kekantor polisi. Minggu itu fihak kepolisian setempat memang sedang melakukan razia over stay alias BMI illegal. He…he… makane to War, ra sah macak ayu ayu, yen mung ngawe barang gratisan, xi..xi… Begitulah sobat PENAMPILAN BISA MENGUNDANG KECURIGAAN.
Minggu, 24 Februari 2008
WAN CHAI DISCOTIQ
Oleh: Kristina Dian Safitry
Kemarin aku bersama ke-4 teman bermain ke Wanchai. Salah satu kota di Hong Kong yang dikenal sebagai tempat hiburan terbesar yang ada di Negara ini. Sekitar pukul 2 kami star dari Causeway Bay pakai jalan kaki, gak makai taksi seperti kebiasaan selama ini. Jaraknya hanya 10 menit dari Building House milik Yessy temanku. Hal itu aku sengaja, supaya aku bisa mengambil foto-foto disepanjang Lochard Road. Tentu saja sekalian ngelihat para BMI yang mayoritas berkelompok menuju Wanchai. Kemarin, aku sengaja pakai celana panjang yang mulai kedodoran. Badanku nyusut dua kg dalam sebulan ini. Ku padu dengan kaos ketat hijau tua. Rambut kubiarkan bergerai menyentuh ikat pinggang celana. Teman temanku semua tak ada yang pakai rok mini, sama seperti aku.Puas berkeliling, kami akhirnya melabuh di New Makati Discotig. Masuk tanpa dikenai biaya seperti para pengunjung lain sebesar 40-60 dollar HK. Pembedaan soal biaya diberlakukan fihak discotig dengan criteria: bukan bule, bukan pria, dan bukan tomboy.
Di sudut ruangan kami memilih tempat duduk. Tempat strategis untuk “memantau” aktifitas para pengunjung yang mayoritas berpasang-pasangan. Mataku sempat gerah ketika “turun hall” dikelilingi oleh pasangan-pasangan yang gak mau tahu dengan orang sekitar. Seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Mengutip kalimat ‘’kedai KOPISUSU” aku melihat banyak BUPATI beraksi. Maklum hari semakin merangkak, para pria hidung belang mulai bermunculan.
Bukan hanya sekali itu aku datang ke Wanchai. Aku masih ingat, pada tahun 2005 hampir setiap minggu selama 2 bulan aku bermain kesono. Waktu itu aku sedang nyelesin artikel Berita Fenomena (laporan khusus) di Tabloid Indonesian Helper. Dua bulan berita judul: MENYIKAPI LIBURAN DIKALANGAN BURUH MIGRANT baru bisa terpublikasi. Setahun kemudian aku bertandang lagi menemani Fransisca Ria Susanti, koresponden SINAR HARAPAN, Jkt. Menyusul lagi pada saat menemani Mas Asa, penulis freelance, sekaligus timku di Tabloid Apakabar yang bertugas di bagian Jawa Timur. Terakhir kali tahun kemarin ‘’memburu’’ narasumber atas tertangkapnya 2 TKW asal Malang yang kini khabarnya dijebloskan ke penjara Stanly.
Bukan karena putus cinta jika minggu kemarin aku ke discotiq. Sungguh bukan karena itu. Ada beberapa hal yang mendorongku mendatangi DuGem Wanchai. Yang pertama aku sedang observasi tema: Dampak Kebijakan Two Week Rule. Yang kedua: sekedar surve terhadap BMI pemakai narkoba. Syukur-syukur bisa membaur dengan kelompok-kelompok pekerja Indonesia yang sepertinya semakin banyak saja yang mengkonsumsi narkoba. Setidaknya ini menjadi sebagian dari tindak lanjut yang kulakukan atas ‘’tantangan’’ dari FAKTA NEWS.
Beruntung seandainya aku bisa mengkoordinir mereka membentuk komunitas, seperti yang pernah ku lakukan di tahun 2004 yang hingga kini masih bertahan dan dikenal BMIHK. Kreasi Seni Nusantara(KSN) nama organisasi yang kubentuk itu dan baru memakai nama ini pada Oktober 2006. Sebelumnya memakai nama Komunitas Tomboy Taipo(KTT). Karna kali pertama aku membentuk komunitas berangkat dari BMI BMI berpenampilan Tomboi yang keseluruhanya bekerja di daerah Taipo, New Territoris. Setelah berhasil mengkoordinir sekitar 60 anggota (pembentukan pertama) dan mereka sepakat mengarah pada kesenian-dua tahun kemudian- perubahan nama dan gebrakanpun dimulai.
Aku tak munafik, atas kecenderunganku ketempat hiburan berdampak buruk bagi kehidupanku secara pribadi maupun umum. Ya, konotasinya emang kurang bagus. Perempuan, masih gadis pula, keluyuran ke tempat hiburan. Anggapan tak sedap kerap aku terima, tetapi apakah aku akan menghentikan langkah hanya karena pandangan awam pada umumnya? "TAMAT"

WAN CHAI DISCOTIQ
Oleh: Kristina Dian Safitry
Kemarin aku bersama ke-4 teman bermain ke Wanchai. Salah satu kota di Hong Kong yang dikenal sebagai tempat hiburan terbesar yang ada di Negara ini. Sekitar pukul 2 kami star dari Causeway Bay pakai jalan kaki, gak makai taksi seperti kebiasaan selama ini. Jaraknya hanya 10 menit dari Building House milik Yessy temanku. Hal itu aku sengaja, supaya aku bisa mengambil foto-foto disepanjang Lochard Road. Tentu saja sekalian ngelihat para BMI yang mayoritas berkelompok menuju Wanchai. Kemarin, aku sengaja pakai celana panjang yang mulai kedodoran. Badanku nyusut dua kg dalam sebulan ini. Ku padu dengan kaos ketat hijau tua. Rambut kubiarkan bergerai menyentuh ikat pinggang celana. Teman temanku semua tak ada yang pakai rok mini, sama seperti aku.Puas berkeliling, kami akhirnya melabuh di New Makati Discotig. Masuk tanpa dikenai biaya seperti para pengunjung lain sebesar 40-60 dollar HK. Pembedaan soal biaya diberlakukan fihak discotig dengan criteria: bukan bule, bukan pria, dan bukan tomboy.
Di sudut ruangan kami memilih tempat duduk. Tempat strategis untuk “memantau” aktifitas para pengunjung yang mayoritas berpasang-pasangan. Mataku sempat gerah ketika “turun hall” dikelilingi oleh pasangan-pasangan yang gak mau tahu dengan orang sekitar. Seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Mengutip kalimat ‘’kedai KOPISUSU” aku melihat banyak BUPATI beraksi. Maklum hari semakin merangkak, para pria hidung belang mulai bermunculan.
Bukan hanya sekali itu aku datang ke Wanchai. Aku masih ingat, pada tahun 2005 hampir setiap minggu selama 2 bulan aku bermain kesono. Waktu itu aku sedang nyelesin artikel Berita Fenomena (laporan khusus) di Tabloid Indonesian Helper. Dua bulan berita judul: MENYIKAPI LIBURAN DIKALANGAN BURUH MIGRANT baru bisa terpublikasi. Setahun kemudian aku bertandang lagi menemani Fransisca Ria Susanti, koresponden SINAR HARAPAN, Jkt. Menyusul lagi pada saat menemani Mas Asa, penulis freelance, sekaligus timku di Tabloid Apakabar yang bertugas di bagian Jawa Timur. Terakhir kali tahun kemarin ‘’memburu’’ narasumber atas tertangkapnya 2 TKW asal Malang yang kini khabarnya dijebloskan ke penjara Stanly.
Bukan karena putus cinta jika minggu kemarin aku ke discotiq. Sungguh bukan karena itu. Ada beberapa hal yang mendorongku mendatangi DuGem Wanchai. Yang pertama aku sedang observasi tema: Dampak Kebijakan Two Week Rule. Yang kedua: sekedar surve terhadap BMI pemakai narkoba. Syukur-syukur bisa membaur dengan kelompok-kelompok pekerja Indonesia yang sepertinya semakin banyak saja yang mengkonsumsi narkoba. Setidaknya ini menjadi sebagian dari tindak lanjut yang kulakukan atas ‘’tantangan’’ dari FAKTA NEWS.
Beruntung seandainya aku bisa mengkoordinir mereka membentuk komunitas, seperti yang pernah ku lakukan di tahun 2004 yang hingga kini masih bertahan dan dikenal BMIHK. Kreasi Seni Nusantara(KSN) nama organisasi yang kubentuk itu dan baru memakai nama ini pada Oktober 2006. Sebelumnya memakai nama Komunitas Tomboy Taipo(KTT). Karna kali pertama aku membentuk komunitas berangkat dari BMI BMI berpenampilan Tomboi yang keseluruhanya bekerja di daerah Taipo, New Territoris. Setelah berhasil mengkoordinir sekitar 60 anggota (pembentukan pertama) dan mereka sepakat mengarah pada kesenian-dua tahun kemudian- perubahan nama dan gebrakanpun dimulai.
Aku tak munafik, atas kecenderunganku ketempat hiburan berdampak buruk bagi kehidupanku secara pribadi maupun umum. Ya, konotasinya emang kurang bagus. Perempuan, masih gadis pula, keluyuran ke tempat hiburan. Anggapan tak sedap kerap aku terima, tetapi apakah aku akan menghentikan langkah hanya karena pandangan awam pada umumnya? "TAMAT"

Rabu, 20 Februari 2008
CINTA DAN MAAF

CINTA DAN MAAF

Selasa, 19 Februari 2008
DIPERAS MAJIKAN DIKEJAR-KEJAR DEB COLECTOR

mengembang saat hakim menyatakan: tidak terbukti bersalah dan berhak memenangkan gugatan sebesar HK$ 9000. Kepada penulis yang menemuinya di shalter Koalisi Tenaga Kerja Indonesia (Kotkiho) Wiwik menuturkan perjalananya bekerja dirumah majikan, ditengah ia bersiap kembali ke tanah air(2/2)..
Namaku Wiwik Indriani(27tahun). Lahir sebagai anak ke-3 dari 7 bersaudara dari keluarga tani. Pada 2002, aku berangkat ke Taiwan melalui PT. Jaker Sari Buana, Jakarta Timur, sebagai pramuwisma di daerah Taipe. Baru satu tahun setengah bekerja, aku dan teman-temna harus rela di deportasi oleh pemerintahan Negara itu. konon, menurut keterangan PT, yang memberangkatkan kami, Taiwan menutup penerimaan migrasi dari Indonesia. Bahkan yang sudah berada di Negara itupun harus rela di pulangkan
Merasa tak mungkin kembali kenegara itu, aku yang Cuma lulusan SMA di Lampung ini akhirnya berangkat ke Hong Kong melalui PT Trigana, jakrta Barat. Dan di tempatkan di daerah Apre Chau, Abarden. Seperti kebanyakan domestic helper yang baru pertama kali bekerja di Negara ini, potongan tujuh bulan gaji (21juta) di berlakukan pula padaku.
Namun sayangnya, menginjak bulan ke-8 aku bekerja di tempat tersebut, terasa ada yang ganjil soal gajiku. Semestinya gaji yang ku terima sebesar HKD$3320 seperti bulan-bulan sebelumnya, namun ternyata bulan ke-8 seusai potongan tujuh bulan, justru gaji yang ku terima jadi menurun menjadi $2000(2juta). Sudah gitu, selama ini diriku tidak di beri hak libur oleh sang majikan dengan alasan sudah menjadi perjanjian antara agenku dan majikan. Jelas, semua tak sesuai dengan perjanjian yang ku tandatangani tempo hari. Oleh karenanya, aku tak terima gajiku di monopoli majikan dan agen.
Mendapatkan masalah yang seperti itu, aku meminta kejelasan soal gaji dan hak liburku pada mereka. Namun sayang, majikanku malah marah-marah hingga akhirnya mendeportasiku setelah bekerja di apartemennya selama delapan bulan. Angkat kaki dari rumah majikan dan kembali ke agen.
Top Mild, agenku, yang berdomisili di kota Mong Kok, mencarikan majikan baru buat aku yang eks Taiwan ini. Tak seberapa lama, majikan kudapat. Penandatanganan kesepakatan sesuai kontrak kerja pun berlangsung. Yang di antaranya juga menyangkut upah maupun hak libur yang sesuai dengan peraturan yang di berlakukan pemerintah setempat. Dengan harapan agar penipuan seperti majikan pertama tak terulang lagi.
Setelah terjadi kesepakatan antara aku, agen dan majikan, aku pulang ke Indonesia sambil menunggu visa. Sebulan di tanah air, visapun turun dan aku terbang lagi ke Negara tiarai bamboo. Hong Kong. Langsung menuju ke rumah majikan yang beralamat di 1/F no. 72 Jocky Club Road- Shueng Shoe.
Tak ada yang sulit bekerj adi tempat ynag baru itu. meskipun rumah itu berbentuk Villa. Hanya karena aku sedikit kesulitan berkomunikasi dengan bahasa Cantonish membuat kau beserta anggota keluarga jarang terjadi percakapan.
Hari-hari kau lalui dengan kesibukan monoton, yaitu antar jemput anak kesekolah, membersihkan rumah dan jug apekerjaan lainnya. Tapi tiap tanggal merah aku menikamti liburan seperti kebanyakan Buruh Migrant Indonesia (BMI) yang mengerti dan faham akan hak-haknya sebagai pekerja asing.
Menginjak 30 hari aku bekerja, gajian pertamapun aku terima. Tapi alangkah kagetnya aku, soalnya majikan Cuma memberiku gaji sebesar dua juta seperti halnya majikanku yang pertama. Aku pun protes pada majikan dan agen. Tapi ternyata, mereka adalah manusia-manusia yang licik dan keji. Pandai sekali mereka bersilat lidah. Buktinya kau kalah di dalam adu argument denganmereka. “ah, sudahlah. Lelah juga rasanya”kataku dalam hati.
Kekecewaanku pada mereka, ku simpan saja dalam hati dan aku tetap bekerj aseperti biasa. meski sejak itu tak lagi ada simpati buat mereka.
Masalah yang menderaku tak hanya sampai di situ. Pada bulan ketiga, majikanku yang tka tahu diri itu malah memperalatku untuk meminjam uang pada bangk perkeriditan yang berkantor di Causway Bay. Semula aku tak mengerti, manakala sang majikan mengajakku ke kantor Bank pada September 2005. sesampai di tempat itu, majikan menyuruhku menyerahkan dokumen penting pada staf agent. Urusan biodata dan mengisi form kelar, aku juga diminta menandatangi lampiran itu. setelah itu, aku menerima uang kontan sebesar $20.000(20juta). Saat itu aku memang hnaya manut saja pada perintah majikan. Dan baru sadar dari penipuan yang di lakukan majikan setelah sampai rumah. Dimana majikan meminta uang itu di serahkan seluruhnya kepadanya. Aku bertambah tak berkutik lagi, ketika majikan berjanji akan menyicil peminjaman uang tersebut dalam tenggang waktu setahun.
Masalah yang kian menghimpit kerap bermunculan menderaku. Bukan saja gaji yang sudah dimonopoli atau diperalatnya aku dalam peminjaman uang. Tapi pekerjaan sehari-haripun semakin meningkat dan berat. Di tambah lagi majikanku suka ngoceh dengan volume tinggi. akibatnya, kau sering sakit0sakitan. Baik demam maupun dada yang tiba-tiba terasa sesak. Berta badankupun menurun drastic setelah bekerja hamper empat bulan di tempat tersebut. Anehnya majikan asyik-asyik saja alias tak peduli dengan keadaan yang ku alami. Mencuri-curi waktu dengan biaya ke Dokter dengan biaya sendiri terpaksa ku lakukan karena majikan tak mahu tahu soal biaya pengobatan.
Dengan keadaan tak perdaya, aku akhirnya memilih lari dari rumah majikan dan menuju penampungan sementara yang didirikan organisasi BMI bagi buruh yang bermaslah. Kau kemudian, melaporkan tindakan majikan pada Labour Departemen. Terpaksa ku tempuh jalan itu, sebab aku tak ingin terus di jadikan bulan0-bulanan agen, majikan dan fihak bank perkeriditan.
Beruntung, Cuma sebulan urusanku dengan majikan kelar. Aku bisa pulang ke tanah air dengan membawa uang hasil gugatan yang ku menangkan terhadap majikan. Tobat rasanya, aku kerja di Hong Kong. Barangklai rezekiku ada di Taiwan. Mudah-mudahan aku bisa kembali bekerja di Negara itu. dengar-dengar pemerintah itu sudah membuka dan menerima pekerja dari Indonesia.
Kristina Dian S
Catatan: sudah di publikasi Majalah Liberty edisi 1-10 maret 2006 di kolom Kabar Dari Seberang.
Label:
Arsip Media,
Dokumen,
LiputanKu,
Shalter Story
DIPERAS MAJIKAN DIKEJAR-KEJAR DEB COLECTOR

mengembang saat hakim menyatakan: tidak terbukti bersalah dan berhak memenangkan gugatan sebesar HK$ 9000. Kepada penulis yang menemuinya di shalter Koalisi Tenaga Kerja Indonesia (Kotkiho) Wiwik menuturkan perjalananya bekerja dirumah majikan, ditengah ia bersiap kembali ke tanah air(2/2)..
Namaku Wiwik Indriani(27tahun). Lahir sebagai anak ke-3 dari 7 bersaudara dari keluarga tani. Pada 2002, aku berangkat ke Taiwan melalui PT. Jaker Sari Buana, Jakarta Timur, sebagai pramuwisma di daerah Taipe. Baru satu tahun setengah bekerja, aku dan teman-temna harus rela di deportasi oleh pemerintahan Negara itu. konon, menurut keterangan PT, yang memberangkatkan kami, Taiwan menutup penerimaan migrasi dari Indonesia. Bahkan yang sudah berada di Negara itupun harus rela di pulangkan
Merasa tak mungkin kembali kenegara itu, aku yang Cuma lulusan SMA di Lampung ini akhirnya berangkat ke Hong Kong melalui PT Trigana, jakrta Barat. Dan di tempatkan di daerah Apre Chau, Abarden. Seperti kebanyakan domestic helper yang baru pertama kali bekerja di Negara ini, potongan tujuh bulan gaji (21juta) di berlakukan pula padaku.
Namun sayangnya, menginjak bulan ke-8 aku bekerja di tempat tersebut, terasa ada yang ganjil soal gajiku. Semestinya gaji yang ku terima sebesar HKD$3320 seperti bulan-bulan sebelumnya, namun ternyata bulan ke-8 seusai potongan tujuh bulan, justru gaji yang ku terima jadi menurun menjadi $2000(2juta). Sudah gitu, selama ini diriku tidak di beri hak libur oleh sang majikan dengan alasan sudah menjadi perjanjian antara agenku dan majikan. Jelas, semua tak sesuai dengan perjanjian yang ku tandatangani tempo hari. Oleh karenanya, aku tak terima gajiku di monopoli majikan dan agen.
Mendapatkan masalah yang seperti itu, aku meminta kejelasan soal gaji dan hak liburku pada mereka. Namun sayang, majikanku malah marah-marah hingga akhirnya mendeportasiku setelah bekerja di apartemennya selama delapan bulan. Angkat kaki dari rumah majikan dan kembali ke agen.
Top Mild, agenku, yang berdomisili di kota Mong Kok, mencarikan majikan baru buat aku yang eks Taiwan ini. Tak seberapa lama, majikan kudapat. Penandatanganan kesepakatan sesuai kontrak kerja pun berlangsung. Yang di antaranya juga menyangkut upah maupun hak libur yang sesuai dengan peraturan yang di berlakukan pemerintah setempat. Dengan harapan agar penipuan seperti majikan pertama tak terulang lagi.
Setelah terjadi kesepakatan antara aku, agen dan majikan, aku pulang ke Indonesia sambil menunggu visa. Sebulan di tanah air, visapun turun dan aku terbang lagi ke Negara tiarai bamboo. Hong Kong. Langsung menuju ke rumah majikan yang beralamat di 1/F no. 72 Jocky Club Road- Shueng Shoe.
Tak ada yang sulit bekerj adi tempat ynag baru itu. meskipun rumah itu berbentuk Villa. Hanya karena aku sedikit kesulitan berkomunikasi dengan bahasa Cantonish membuat kau beserta anggota keluarga jarang terjadi percakapan.
Hari-hari kau lalui dengan kesibukan monoton, yaitu antar jemput anak kesekolah, membersihkan rumah dan jug apekerjaan lainnya. Tapi tiap tanggal merah aku menikamti liburan seperti kebanyakan Buruh Migrant Indonesia (BMI) yang mengerti dan faham akan hak-haknya sebagai pekerja asing.
Menginjak 30 hari aku bekerja, gajian pertamapun aku terima. Tapi alangkah kagetnya aku, soalnya majikan Cuma memberiku gaji sebesar dua juta seperti halnya majikanku yang pertama. Aku pun protes pada majikan dan agen. Tapi ternyata, mereka adalah manusia-manusia yang licik dan keji. Pandai sekali mereka bersilat lidah. Buktinya kau kalah di dalam adu argument denganmereka. “ah, sudahlah. Lelah juga rasanya”kataku dalam hati.
Kekecewaanku pada mereka, ku simpan saja dalam hati dan aku tetap bekerj aseperti biasa. meski sejak itu tak lagi ada simpati buat mereka.
Masalah yang menderaku tak hanya sampai di situ. Pada bulan ketiga, majikanku yang tka tahu diri itu malah memperalatku untuk meminjam uang pada bangk perkeriditan yang berkantor di Causway Bay. Semula aku tak mengerti, manakala sang majikan mengajakku ke kantor Bank pada September 2005. sesampai di tempat itu, majikan menyuruhku menyerahkan dokumen penting pada staf agent. Urusan biodata dan mengisi form kelar, aku juga diminta menandatangi lampiran itu. setelah itu, aku menerima uang kontan sebesar $20.000(20juta). Saat itu aku memang hnaya manut saja pada perintah majikan. Dan baru sadar dari penipuan yang di lakukan majikan setelah sampai rumah. Dimana majikan meminta uang itu di serahkan seluruhnya kepadanya. Aku bertambah tak berkutik lagi, ketika majikan berjanji akan menyicil peminjaman uang tersebut dalam tenggang waktu setahun.
Masalah yang kian menghimpit kerap bermunculan menderaku. Bukan saja gaji yang sudah dimonopoli atau diperalatnya aku dalam peminjaman uang. Tapi pekerjaan sehari-haripun semakin meningkat dan berat. Di tambah lagi majikanku suka ngoceh dengan volume tinggi. akibatnya, kau sering sakit0sakitan. Baik demam maupun dada yang tiba-tiba terasa sesak. Berta badankupun menurun drastic setelah bekerja hamper empat bulan di tempat tersebut. Anehnya majikan asyik-asyik saja alias tak peduli dengan keadaan yang ku alami. Mencuri-curi waktu dengan biaya ke Dokter dengan biaya sendiri terpaksa ku lakukan karena majikan tak mahu tahu soal biaya pengobatan.
Dengan keadaan tak perdaya, aku akhirnya memilih lari dari rumah majikan dan menuju penampungan sementara yang didirikan organisasi BMI bagi buruh yang bermaslah. Kau kemudian, melaporkan tindakan majikan pada Labour Departemen. Terpaksa ku tempuh jalan itu, sebab aku tak ingin terus di jadikan bulan0-bulanan agen, majikan dan fihak bank perkeriditan.
Beruntung, Cuma sebulan urusanku dengan majikan kelar. Aku bisa pulang ke tanah air dengan membawa uang hasil gugatan yang ku menangkan terhadap majikan. Tobat rasanya, aku kerja di Hong Kong. Barangklai rezekiku ada di Taiwan. Mudah-mudahan aku bisa kembali bekerja di Negara itu. dengar-dengar pemerintah itu sudah membuka dan menerima pekerja dari Indonesia.
Kristina Dian S
Catatan: sudah di publikasi Majalah Liberty edisi 1-10 maret 2006 di kolom Kabar Dari Seberang.
Label:
Arsip Media,
Dokumen,
LiputanKu,
Shalter Story
Minggu, 17 Februari 2008
KEPINCUT GRATISAN, INE GOLONG KOMENG
Oleh: Kristina Dian S
Bulan lalu, Ine di kasih HP merk LG secara gratis oleh salah satu temanya. Alasannya sih…terdorong rasa kasihan saja akan nasib Ine yang begitu setia ama hp keluaran lama. Kalo gak sering error maybe nggak apa-apa. Wong HP nya itu lho sering ngadat, wajar khan kalo teman temanya pada prihatin. He…he...
Mujur, begitu majikannya tahu, Ine punya HP model baru langsung menyarankan ke counter HP untuk pengaktifan GRPS. Majikannya juga bersyukur, pembantunya punya HP itu. Soalnya, ia tak perlu lagi meminjamkan komputernya kepada Ine yang getol internetan. (Tuh…hebatkan ada big bos sebaik itu..)
‘’Ah, yang bener saja’’begitu kata Ine sepulang dari counter. Katanya ia tak perlu mengeluarkan biaya pengaktifan itu. Bahkan –masih kata dia lho ya- dipakai untuk chating berjam-jam pun, tak jadi soal. Semuanya free. (Gak masuk akal khan sebenarnya, tapi karena Ine ngaku jadi pelanggan setia yang dicinta fihak telecom, ya kita manggut manggut aja. Masak sama teman sendiri gak percaya?..) Sejak itu, masanggernya online 24 jam.
Tapi tahukah anda, seminggu sejak mendapat gratisan?. Ine nangis golong komeng. Uang yang rencananya akan di kirim ke orang tua terpaksa masuk kantor telepon. Rupanya, gadis pinter itu salah tangkap menerima penjelasan fihak telepon yang disampaikan dalam bahasa Ingris campur cantonese. Oalah alah…gak faham bahasa kok isa nyampe Hong Kong…
Bulan lalu, Ine di kasih HP merk LG secara gratis oleh salah satu temanya. Alasannya sih…terdorong rasa kasihan saja akan nasib Ine yang begitu setia ama hp keluaran lama. Kalo gak sering error maybe nggak apa-apa. Wong HP nya itu lho sering ngadat, wajar khan kalo teman temanya pada prihatin. He…he...
Mujur, begitu majikannya tahu, Ine punya HP model baru langsung menyarankan ke counter HP untuk pengaktifan GRPS. Majikannya juga bersyukur, pembantunya punya HP itu. Soalnya, ia tak perlu lagi meminjamkan komputernya kepada Ine yang getol internetan. (Tuh…hebatkan ada big bos sebaik itu..)
‘’Ah, yang bener saja’’begitu kata Ine sepulang dari counter. Katanya ia tak perlu mengeluarkan biaya pengaktifan itu. Bahkan –masih kata dia lho ya- dipakai untuk chating berjam-jam pun, tak jadi soal. Semuanya free. (Gak masuk akal khan sebenarnya, tapi karena Ine ngaku jadi pelanggan setia yang dicinta fihak telecom, ya kita manggut manggut aja. Masak sama teman sendiri gak percaya?..) Sejak itu, masanggernya online 24 jam.
Tapi tahukah anda, seminggu sejak mendapat gratisan?. Ine nangis golong komeng. Uang yang rencananya akan di kirim ke orang tua terpaksa masuk kantor telepon. Rupanya, gadis pinter itu salah tangkap menerima penjelasan fihak telepon yang disampaikan dalam bahasa Ingris campur cantonese. Oalah alah…gak faham bahasa kok isa nyampe Hong Kong…
KEPINCUT GRATISAN, INE GOLONG KOMENG
Oleh: Kristina Dian S
Bulan lalu, Ine di kasih HP merk LG secara gratis oleh salah satu temanya. Alasannya sih…terdorong rasa kasihan saja akan nasib Ine yang begitu setia ama hp keluaran lama. Kalo gak sering error maybe nggak apa-apa. Wong HP nya itu lho sering ngadat, wajar khan kalo teman temanya pada prihatin. He…he...
Mujur, begitu majikannya tahu, Ine punya HP model baru langsung menyarankan ke counter HP untuk pengaktifan GRPS. Majikannya juga bersyukur, pembantunya punya HP itu. Soalnya, ia tak perlu lagi meminjamkan komputernya kepada Ine yang getol internetan. (Tuh…hebatkan ada big bos sebaik itu..)
‘’Ah, yang bener saja’’begitu kata Ine sepulang dari counter. Katanya ia tak perlu mengeluarkan biaya pengaktifan itu. Bahkan –masih kata dia lho ya- dipakai untuk chating berjam-jam pun, tak jadi soal. Semuanya free. (Gak masuk akal khan sebenarnya, tapi karena Ine ngaku jadi pelanggan setia yang dicinta fihak telecom, ya kita manggut manggut aja. Masak sama teman sendiri gak percaya?..) Sejak itu, masanggernya online 24 jam.
Tapi tahukah anda, seminggu sejak mendapat gratisan?. Ine nangis golong komeng. Uang yang rencananya akan di kirim ke orang tua terpaksa masuk kantor telepon. Rupanya, gadis pinter itu salah tangkap menerima penjelasan fihak telepon yang disampaikan dalam bahasa Ingris campur cantonese. Oalah alah…gak faham bahasa kok isa nyampe Hong Kong…
Bulan lalu, Ine di kasih HP merk LG secara gratis oleh salah satu temanya. Alasannya sih…terdorong rasa kasihan saja akan nasib Ine yang begitu setia ama hp keluaran lama. Kalo gak sering error maybe nggak apa-apa. Wong HP nya itu lho sering ngadat, wajar khan kalo teman temanya pada prihatin. He…he...
Mujur, begitu majikannya tahu, Ine punya HP model baru langsung menyarankan ke counter HP untuk pengaktifan GRPS. Majikannya juga bersyukur, pembantunya punya HP itu. Soalnya, ia tak perlu lagi meminjamkan komputernya kepada Ine yang getol internetan. (Tuh…hebatkan ada big bos sebaik itu..)
‘’Ah, yang bener saja’’begitu kata Ine sepulang dari counter. Katanya ia tak perlu mengeluarkan biaya pengaktifan itu. Bahkan –masih kata dia lho ya- dipakai untuk chating berjam-jam pun, tak jadi soal. Semuanya free. (Gak masuk akal khan sebenarnya, tapi karena Ine ngaku jadi pelanggan setia yang dicinta fihak telecom, ya kita manggut manggut aja. Masak sama teman sendiri gak percaya?..) Sejak itu, masanggernya online 24 jam.
Tapi tahukah anda, seminggu sejak mendapat gratisan?. Ine nangis golong komeng. Uang yang rencananya akan di kirim ke orang tua terpaksa masuk kantor telepon. Rupanya, gadis pinter itu salah tangkap menerima penjelasan fihak telepon yang disampaikan dalam bahasa Ingris campur cantonese. Oalah alah…gak faham bahasa kok isa nyampe Hong Kong…
Kamis, 14 Februari 2008
WANITA DIUJUNG SENJA
Oleh: Kristina Dian S
Selayang pandang, perempuan berusia 44 tahun di depanku itu mirip ibuku. Tinggi kurus, rambutnya keriting sebahu, kulitnya agak gelap. Nafasnya tersengal, matanya berkaca, saat menyapaku disimpang Sai Yeung Choi Street. '' Adik dari Indo, ya?'' aku yang baru pulang belanja mengangguk. Seketika bulu kudukku merinding melihat keadaannya. Kedua lenganya lebam, darah segar mengalir dari sela-sela bibirnya. "Sampeyan kenapa?"buru-buru kuletakkan barang belanjaan di tepi jalan.
Tiba-tiba aku ingat ibuku yang bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga sejak tiga tahun lalu. Setelah bapak meninggal dunia direngut penyakit asma. Apa yang bisa kulakukan jika ibuku mengalami nasib seperti BMI di depanku? berlari dari rumah majikan tanpa uang ditangan, tanpa alas kaki. Dulu, aku sempat menyesali keputusan Ibu. Tapi ibuku memang keras kepala, tak mau peduli betapa aku dan adik adik sangat membutuhkan kasih sayangnya. Di larang berangkat keluar negeri, masih saja nekat. Katanya mencari duit untuk menyekolahkan anak anaknya. Atas kepergian ibu penderitaan yang kualami malah lebih parah dari tidak makan nasi seminggu. Aku dan ketiga adikku jadi terlantar.
Terdorong ingin mengantikan posisi ibu, aku berangkat ke Hong Kong. Harapanku, setelah kelar membayar potongan jasa penyalur, aku meminta ibu kembali ketanah air. Mengurusi dan melimpahi kasih sayang pada adik-adik. Akankah keinginanku kesampaian? Berkali kali ibu mengontak, sejak aku mulai bekerja di rumah majikan, ibu selalu bilang belum ingin pulang. Katanya keluarga majikannya sunguh baik dan teramat perhatian. Tapi benarkah demikian? atau jangan jangan ibu sengaja menutupi penderitaanya dari anak. Karena menginjak bulan kedua aku bekerja di Mong Kok, tak ada lagi komunikasi. Terputus begitu saja. Ibu tak pernah lagi menghubungi anak-anaknya. Ingin menelepon tak tahu nomornya.
''apa yang harus ku lakukan?'tersentak diriku mendengar pertanyaan Bu Minah, seorang BMI yang barusan kabur dari rumah majikan. Melihat genangan air matanya membuatku ingin menangis. Kegugupannya, membuatku ingin memeluknya. Aku tak tega, orang seperti Bu Minah masih ingin bertahan mencari kerjaan di luar negeri. Entah sampai kapan ia akan berhenti merantau, yang katanya telah 14 tahun ia jalani. Dari majikan satu kemajikan yang lain. Dari negara satu kenegara yang lain. Sedikitpun tak ada gurat lelah terpancar dari wajahnya pada saat itu. Tapi kali ini, begitu tenaganya ingin mengecap nikmat dollar Hong Kong, ia kesandung batu masalah. '' Menenangkan diri langkah terbaik sebelum Bu Minah mengambil tindakan lain. Setelah agak tenang, barulah ke kantor polisi''saranku sambil menatap wajah dan lagaknya yang mirip ibuku. "Makasih ya, dik''
Belum sempat kakiku beranjak, Bu Minah yang rambutnya masih acak-acakan, memegang lenganku. "Setelah itu aku harus pergi kemana?'' Kuanggap pertanyaan konyol. Bagaimana mungkin Bu Minah yang katanya sudah malang melintang menjual jasa di luar negeri belum tahu ''jalan''. "Ke agen, dong'' jawabku sekenanya saja. Bola matanya berputar, keningnya berkerut.
"Aku tak yakin agen mau membantuku. Sedikitpun mereka tak mau mendengar penjelasanku. Bagaimana mungkin aku tertarik kembali ke agen?'' Ku garuk kepalaku yang tidak gatal.
"Bagaimana kalau Bu Minah langsung ke Konsulat?''mendengar pertanyaanku, lagi, lagi Bu Minah menunduk.
" Aku ragu lari kesana, aku ragu, apakah konsulat akan membantu ku dengan seadil adilnya?'' matanya kembali menerawang. Aku jadi jengkel, kedua saran yang ku sodorkan semua di sambut dengan keraguan. Aku tidak mengerti apa yang di inginkan. Aku tak tahu apa yang dimaui Bu Minah. Dan aku jadi lesu mendengar keraguannya. Sementara, aku mulai resah sudah waktunya pulang kerumah. Bagaimanapun, aku lebih memberatkan pekerjaanku ketimbang menemani BMI yang butuh pertolongan itu.
'' Kira- kira Bu Minah mau kemana nih?'' Aku yang masih potongan 5 bulan terpaksa mengulang pertanyaan.
" Belum tahu, dik"
"Saya sudah harus pulang, Bu. Sejam lagi waktunya menjemput anak''. Di simpan jalan itu ku tinggalkan Bu Minah dalam keadaan terombang-ambing.
Pukul 3 sore, aku turun dari rumah menuju gerbang Fortune Building. Sesampai di halaman apartemen kulihat Bu Minah duduk dikursi pos satpam sambil memainkan pikiranya. '' Bu Minah ngapain disini?'' ia tersenyum memamerkan gowangnya. '' Aku mengikuti dan menunggu dik Lina disini. Sambil mikir hendak kemana mencari perlindungan''. Sebel aku jadinya. Menghadapi masalah bukanya cepat di urus malah dibiarkan berlarut-larut. Dengan berat hati aku mengajaknya mencari tempat duduk didekat penurunan bus sekolah.
'' Guruku di PT emang benar. Bahasa kantonish salah satu modal utama bekerja di Hong Kong. Tak bisa bahasa, sama saja gak bisa bekerja. Waktu itu, aku menganggap enteng soal bahasa. Bukanya sombong, aku bisa bahasa mandarin, arab dan bahasa ingris meski just litlle bite. Aku isa ngomonge tapi ora isa nulise. Kupikir itu sudah bisa menjadi modal komunikasi dengan majikanku yang asli Chino Hong Kong. Eh, ndak tahunya....''baru mulai berkisah anak asuhku keburu datang. "kalau ada apa-apa bisa kontak saya'' kuberikan nomor telepon majikan.
'' Saya gak rela kalau Bu Minah pergi ketempat lain selain ke agen atau konsulat. Percayalah! mereka pasti membantu dan mengatasi masalah yang sedang Ibu hadapi'' sambungku sebelum berlari meninggalkanya.
Meski bahasa kantonisku pas-pasan dan baru pertama kali bekerja keluar negeri, tapi aku sangat disayangi majikan. Cuma sayangnya aku belum dikasih libur selama aku masih membayar potongan agen yang kurang dua kali pembayaran. Ada rasa tertekan memang tanpa ada celah melepas lelah bersama teman teman. Apalagi jika hari minggu bertepatan dengan tugasku mengelap jendela kamar majikan. Bisaku hanya berangan, berandai -andai, bertanya dalam hati: kapan aku bisa seperti mereka?
"Ling....... ada telepon mencarimu.....''teriakan nyonya dari kamar sebelah pada pukul 10 malam, ketika aku arep mapan turu.
'' Terima kasih, Nyah''aku beranjak keruang tamu, mengambil telepon yang juga tersambung di kamar majikan.
" Lina,ya?''aku diam sejenak mencoba mengingat-ingat suara asing di telingga. Tapi tetap saja, suara itu bukan suara Meli teman PT, bukan Wina tetangga apartemen yang sering meneleponku.
" Iya. Siapa ya?''
" Anu Lin. Aku I'is temanya Bu Minah.''suara kecil melengking itu terdengar gugup. Hampir mirip dengan kegugupan Bu Minah tiga hari lalu.
" Ada apa, ce?''
" Saya diminta Bu Minah menyampaikan pesan ke sampeyan. Bu Minah minta di bezuk, ia masuk rumah sakit tadi sore."
" Kenapa? Bu Minah sakit?''tak bisa lagi ku kekang perasaanku yang tiba tiba kalut dan binggung.
"Anu, Lin..."menyebalkan! setiap kali memulai bicara memakai kata anu. Pertanda ia ragu menyampaikan sesuatu.
''Saya gak tahu bagaimana awal kejadianya. Kata teman-teman sewaktu saya si kung, Bu Minah didatangi polisi dikantor agen. Bu Minah di tuduh membunuh nenek asuhnya. Karena nenek tua itu meninggal bertepatan dengan Bu Minah minggat dari rumah majikan''
" Astaga!. Lho katanya masuk rumah sakit. Apa ditembak polisi?''suara diseberang sana tertawa.
'' Bukan. Agen melemparkan kursi kayu ke badan Bu Binah. Kepalanya berdarah, dan katanya ia pusing melulu. Sama agen di antar langsung ke Rumah sakit terdekat''antara percaya dan tidak aku mendengar cerita tentang Bu Minah.
'' Masalahnya apa, ce?''
" Sepulang dari kantor polisi, Bu Minah gak mau ngaku telah membunuh neneknya. Ia memang ngaku sebelum kabur, Bu Minah sempat memberi lima buah kelengkeng ke nenek asuhnya. Tapi ia gak sempat mengupas dan membuang biji buah kesukaan nenek asuhnya itu. Katanya sih, neneknya meninggal karena kesedak biji buah itu''
'' Ya ampun sampai segitunya. Tindakan agen apa sudah dilaporin kepolisi?''
" Belum. Soale sama agen langsung dibawa ke rumah sakit. Tolong ya, Lina temuin Bu Minah di rumah sakit. Bu Minah ingin bertemu sampeyan"
"Akan ku usahakan''. Aku memang baru sekali bertemu dengan wanita kurus itu. Tapi wajah dan gayanya takkan pernah ku lupa. Seolah telah bertahun - tahun aku bersamanya. Medengarnya masuk rumah sakit, aku jadi tak tenang. Aku binggung bagaimana cara minta izin pada majikan. Karena aku tahu pasti, majikanku tak kan megizinkan. Wong cuma ngambil KTP ke imigrasi, atau ke agen saja aku dikawal nyonya.
Ku lirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek menunjuk angka 11.00. Sambil membawa keranjang belanjaan, aku hanya keliling pasar. Ingin mencari ikan dan sayur hanya muter muter doang. aku binggung, antara menemui Bu Minah ataukah aku belanja dan langsung pulang ke rumah. Akhirnya kuputuskan menemui Bu Minah. Rambut cepakku terasa dingin oleh hembusan angin. Setelah menyetop bus mini aku naik ke jurusan Rumah sakit dimana Bu Minah di rawat. Cuma bodohnya aku, setelah turun di terminal bus, aku tidak tahu jalan menuju rumah sakit. Nomor telepon agenya tak ku bawa. Bertanya kesana kemari, aku malah nyasar. Ketika bertemu dengan sesama BMI, aku minta ditunjukan RSU yang akan ku tuju. Parahnya, aku tak tahu di ruangan mana ia di rawat. Bertanya pada fihak RSU pakai bahasa ingris, mereka malah tak faham dengan yang aku katakan. Pakai bahasa kanton, rupanya bahasaku masih belepotan. Mereka tak mengerti dan aku kecewa. Akhirnya aku pulang kerumah.
Sehari dua hari kusimpan rasa kecewa di dada. Perasaanku semakin kalut jadinya. Aku ingin bertemu Bu Minah. Di telepon ke agennya, si agen berusaha tutup mulut meski aku sudah mengaku satu satunya keluarga Bu Minah. Aku semakin yakin ada apa apa dibalik ini semua. Bahkan keberadaan Bu Minah juga di sembunyikan dariku. Seminggu sudah aku tak lagi mendeng kabar soal Bu Minah. Namun tiba-tiba di siang hari bolong aku mendapat informasi dari seorang laki-laki yang mengaku dari badan bantuan hukum ketenaga kerjaan. '' Saya tidak bisa mengatakan banyak, lebih baik anda datang kemari karena cuma nama anda yang dipanggil panggil''aku terkesiap. Kenapa aku yang dicari cari Bu Minah? bukankah ia memiliki keluarga, atau barangkali teman se- PT?. Rasa penasaran ingin menguak siapa sebenarnya Bu Minah semakin menjadi-jadi. Dari awal aku sudah menduga, di gerbang senja itu adalah ibuku. Gerak langkahnya, nada bicaranya, juga bodinya. Hanya sedikit yang berubah. Kulit wajahnya!
" Saya segera kesana''aku bergegas pergi setelah meletakkan telepon majikan yang bebas kupakai.
Shalter Yaumatei hanya 200 langkah dari tempat kerjaku. Kebetulan pula tempat itu tak jauh dari pasar besar tempat biasa aku berbelanja. Kutekan tombol 20 dengan perasaan tak menentu. Ada rindu, ada haru, ada khawatir memenuhi rongga dadaku. Aku sampai gemetar sama persis ketika kakak kelasku bilang cinta 2 tahun lalu. Didepan apartemen, ku tarik kembali tangaku yang hampir saja menekan bel. Dari luar, terdengar suara gaduh, pekikan, jeritan bahkan suara alunan ayat-ayat suci. Tak seberapa lama ruangan itu sunyi sepi. Tak terdengar suara apapun dari dalam. "Asu!''aku terkejut bukan alang kepalang. Tiba tiba saja suara itu muncul dari kesunyian disaat telinggaku sedang nempel dipintu. Samar, aku mengenali suara itu. Suara perempuan teraniaya yang belum sempat menuntut kasusnya. "Bu Minah...'' Seketika ku tekan tombol apartemen. Ya Tuhan!
Semerbak bau balsem menusuk hidungku memasuki gedung penampungan sementara. 15 orang berkerudung khusuk membaca Yassin di sudut ruangan. Terbaring lemah tubuh Bu Minah di atas tikar dikelilingi kawan kawanya. Wajahnya seperti kapas. Bibirnya pucat pasi. Tangan dan kakinya sedingin es. Tatapanya nanar memandang kosong langit langit ruangan. Semakin jelas hilang hasratnya bertahan hidup. Ia pasrah tiada daya. Lemah, lemas.
"Bu Minah...''panggilku sambil memegang jari jemarinya. Berkali kali ku panggil di dekat telingganya pun ia seperti orang tuli. Hatiku trenyuh melihat keadaanya. Ku pandagi dari ujung kaki hingga ujung rambutnya yang sebagian memutih. Dan, selimut itu, membuatku semakin takut. Hampir mirip dengan selimut ibuku. Selendang batik peninggalan nenek. Apakah Bu Minah itu ibuku? tapi kenapa tak ada tahi lalat dipipi kirinya. Apakah ibuku operasi plastik? tapi dari mana ibuku dapat uang segitu banyaknya? Dan jika benar, ia ibuku, dimana ketegaran dan ketegasan yang ibu miliki?
"Ibu.....''tanpa sadar kupanggil nama ibuku. Perempuan dihadapanku itu tiba-tiba duduk dan menyibakkan kain selimutnya. Bola matanya lekat menatapku. Matanya teduh yang lama kelamaan berubah merah. Sangar! Seolah ia ingin menerkam dan melumat tubuhku. Aku takut. Entah siapa yang menarik tubuhku dari belakang, yang pasti tubuhku tlah keluar dari kerumunan orang orang yang mengelilingi Bu Minah. "Dasar anak tidak tahu diri. Di suruh sekolah malah menghamili anak orang. Mbok sing ngerti Opo'o Le."makian itu membuat linangan air mata orang orang yang mendengarnya. Ia gusar. Ia marah. Tapi perasaan tertekan itu hanya disimpanya seorang diri. Kerja di luar negeri mendapat penganiayaan dari majikan dan agen. Dapat tuduhan pula. Dalam waktu yang bersamaan anak keduanya mengabarkan si bungsu menghamili teman sekolah.
Aku bernafas lega dengan ratapan Bu Minah. Ya, setidaknya ia bukanlah ibu kandungku. Karena saudaraku semua berjenis kelamin perempuan. Tapi satu penyesalan tiada habisnya mengerogoti jiwaku. Ku salahkan diriku, kenapa memaksa Bu Minah lari ke agennya. Jika lari ketempat lain, barangkali nasib BU Minah tak sampai depresi. Kini mental Bu Minah terlanjur dwon. Apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya. Dan bagaiman menebus rasa bersalahku ini?Ku pejamkan mata rapat menahan air mata yang semakin sulit kubendung. Sekilas kulirik keadaan Bu Minah sebelum meninggalkan bouilding house khusus BMI berkasus. Ia mulai teriak menyebut asma allah, semakin lama semakin lirih yang kemudian di susul dengan tawa.
Sekeluar dari gerbang Yau Ma Tei, aku berlari kencang menerobos jalanan. Waktuku sudah mepet, sepuluh menit lagi anakku tiba di halte penjemputan. Tak peduli sendal jepit putus di tengah-tengah jalan, aku berlari dan berlari. Tanpa menuju rumah aku langsung ketempat penjemput. Semenit dua menit, belum juga datang. Di tunggu hampir 30 menit, bus sekolah tak juga nonggol. Akhirnya aku naik ke rumah berencana menelepon majikan memberitahukan soal Ervan yang belum pulang sekolah. Belum sempat membuka pintu apartemen, tuan yang menandatangi kontrak kerjaku telah berdiri di depan pintu. Sial! Aliran darahku seolah tersumbat seketika. Terpucat pasi aku dihadapan tuan dan anak asuh yang memakai baju tebal.
"Maaf tuan''kataku lirih sambil berdiri tegak seperti latihan baris berbaris.
'' Dari mana?''tanya majikan laki lakiku yang masih pakai seragam polisinya. Aku hanya diam seperti duduk di kursi pesakitan. Ku pandang jari jari kaki mencari sebuah alasan, but no reason. " Bereskan bajumu dan silahkan kembali ke agen''. Wajahku memerah ingin menangis, tapi aku tetap mencoba memberi seuntai senyum pada majikan. Tak seberapa lama aku tertawa ngakak seperti Bu Minah! '' Terima kasih aku di PHK''. Gendeng!
Mong Kok, 27 mei 2007
Selayang pandang, perempuan berusia 44 tahun di depanku itu mirip ibuku. Tinggi kurus, rambutnya keriting sebahu, kulitnya agak gelap. Nafasnya tersengal, matanya berkaca, saat menyapaku disimpang Sai Yeung Choi Street. '' Adik dari Indo, ya?'' aku yang baru pulang belanja mengangguk. Seketika bulu kudukku merinding melihat keadaannya. Kedua lenganya lebam, darah segar mengalir dari sela-sela bibirnya. "Sampeyan kenapa?"buru-buru kuletakkan barang belanjaan di tepi jalan.
Tiba-tiba aku ingat ibuku yang bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga sejak tiga tahun lalu. Setelah bapak meninggal dunia direngut penyakit asma. Apa yang bisa kulakukan jika ibuku mengalami nasib seperti BMI di depanku? berlari dari rumah majikan tanpa uang ditangan, tanpa alas kaki. Dulu, aku sempat menyesali keputusan Ibu. Tapi ibuku memang keras kepala, tak mau peduli betapa aku dan adik adik sangat membutuhkan kasih sayangnya. Di larang berangkat keluar negeri, masih saja nekat. Katanya mencari duit untuk menyekolahkan anak anaknya. Atas kepergian ibu penderitaan yang kualami malah lebih parah dari tidak makan nasi seminggu. Aku dan ketiga adikku jadi terlantar.
Terdorong ingin mengantikan posisi ibu, aku berangkat ke Hong Kong. Harapanku, setelah kelar membayar potongan jasa penyalur, aku meminta ibu kembali ketanah air. Mengurusi dan melimpahi kasih sayang pada adik-adik. Akankah keinginanku kesampaian? Berkali kali ibu mengontak, sejak aku mulai bekerja di rumah majikan, ibu selalu bilang belum ingin pulang. Katanya keluarga majikannya sunguh baik dan teramat perhatian. Tapi benarkah demikian? atau jangan jangan ibu sengaja menutupi penderitaanya dari anak. Karena menginjak bulan kedua aku bekerja di Mong Kok, tak ada lagi komunikasi. Terputus begitu saja. Ibu tak pernah lagi menghubungi anak-anaknya. Ingin menelepon tak tahu nomornya.
''apa yang harus ku lakukan?'tersentak diriku mendengar pertanyaan Bu Minah, seorang BMI yang barusan kabur dari rumah majikan. Melihat genangan air matanya membuatku ingin menangis. Kegugupannya, membuatku ingin memeluknya. Aku tak tega, orang seperti Bu Minah masih ingin bertahan mencari kerjaan di luar negeri. Entah sampai kapan ia akan berhenti merantau, yang katanya telah 14 tahun ia jalani. Dari majikan satu kemajikan yang lain. Dari negara satu kenegara yang lain. Sedikitpun tak ada gurat lelah terpancar dari wajahnya pada saat itu. Tapi kali ini, begitu tenaganya ingin mengecap nikmat dollar Hong Kong, ia kesandung batu masalah. '' Menenangkan diri langkah terbaik sebelum Bu Minah mengambil tindakan lain. Setelah agak tenang, barulah ke kantor polisi''saranku sambil menatap wajah dan lagaknya yang mirip ibuku. "Makasih ya, dik''
Belum sempat kakiku beranjak, Bu Minah yang rambutnya masih acak-acakan, memegang lenganku. "Setelah itu aku harus pergi kemana?'' Kuanggap pertanyaan konyol. Bagaimana mungkin Bu Minah yang katanya sudah malang melintang menjual jasa di luar negeri belum tahu ''jalan''. "Ke agen, dong'' jawabku sekenanya saja. Bola matanya berputar, keningnya berkerut.
"Aku tak yakin agen mau membantuku. Sedikitpun mereka tak mau mendengar penjelasanku. Bagaimana mungkin aku tertarik kembali ke agen?'' Ku garuk kepalaku yang tidak gatal.
"Bagaimana kalau Bu Minah langsung ke Konsulat?''mendengar pertanyaanku, lagi, lagi Bu Minah menunduk.
" Aku ragu lari kesana, aku ragu, apakah konsulat akan membantu ku dengan seadil adilnya?'' matanya kembali menerawang. Aku jadi jengkel, kedua saran yang ku sodorkan semua di sambut dengan keraguan. Aku tidak mengerti apa yang di inginkan. Aku tak tahu apa yang dimaui Bu Minah. Dan aku jadi lesu mendengar keraguannya. Sementara, aku mulai resah sudah waktunya pulang kerumah. Bagaimanapun, aku lebih memberatkan pekerjaanku ketimbang menemani BMI yang butuh pertolongan itu.
'' Kira- kira Bu Minah mau kemana nih?'' Aku yang masih potongan 5 bulan terpaksa mengulang pertanyaan.
" Belum tahu, dik"
"Saya sudah harus pulang, Bu. Sejam lagi waktunya menjemput anak''. Di simpan jalan itu ku tinggalkan Bu Minah dalam keadaan terombang-ambing.
Pukul 3 sore, aku turun dari rumah menuju gerbang Fortune Building. Sesampai di halaman apartemen kulihat Bu Minah duduk dikursi pos satpam sambil memainkan pikiranya. '' Bu Minah ngapain disini?'' ia tersenyum memamerkan gowangnya. '' Aku mengikuti dan menunggu dik Lina disini. Sambil mikir hendak kemana mencari perlindungan''. Sebel aku jadinya. Menghadapi masalah bukanya cepat di urus malah dibiarkan berlarut-larut. Dengan berat hati aku mengajaknya mencari tempat duduk didekat penurunan bus sekolah.
'' Guruku di PT emang benar. Bahasa kantonish salah satu modal utama bekerja di Hong Kong. Tak bisa bahasa, sama saja gak bisa bekerja. Waktu itu, aku menganggap enteng soal bahasa. Bukanya sombong, aku bisa bahasa mandarin, arab dan bahasa ingris meski just litlle bite. Aku isa ngomonge tapi ora isa nulise. Kupikir itu sudah bisa menjadi modal komunikasi dengan majikanku yang asli Chino Hong Kong. Eh, ndak tahunya....''baru mulai berkisah anak asuhku keburu datang. "kalau ada apa-apa bisa kontak saya'' kuberikan nomor telepon majikan.
'' Saya gak rela kalau Bu Minah pergi ketempat lain selain ke agen atau konsulat. Percayalah! mereka pasti membantu dan mengatasi masalah yang sedang Ibu hadapi'' sambungku sebelum berlari meninggalkanya.
Meski bahasa kantonisku pas-pasan dan baru pertama kali bekerja keluar negeri, tapi aku sangat disayangi majikan. Cuma sayangnya aku belum dikasih libur selama aku masih membayar potongan agen yang kurang dua kali pembayaran. Ada rasa tertekan memang tanpa ada celah melepas lelah bersama teman teman. Apalagi jika hari minggu bertepatan dengan tugasku mengelap jendela kamar majikan. Bisaku hanya berangan, berandai -andai, bertanya dalam hati: kapan aku bisa seperti mereka?
"Ling....... ada telepon mencarimu.....''teriakan nyonya dari kamar sebelah pada pukul 10 malam, ketika aku arep mapan turu.
'' Terima kasih, Nyah''aku beranjak keruang tamu, mengambil telepon yang juga tersambung di kamar majikan.
" Lina,ya?''aku diam sejenak mencoba mengingat-ingat suara asing di telingga. Tapi tetap saja, suara itu bukan suara Meli teman PT, bukan Wina tetangga apartemen yang sering meneleponku.
" Iya. Siapa ya?''
" Anu Lin. Aku I'is temanya Bu Minah.''suara kecil melengking itu terdengar gugup. Hampir mirip dengan kegugupan Bu Minah tiga hari lalu.
" Ada apa, ce?''
" Saya diminta Bu Minah menyampaikan pesan ke sampeyan. Bu Minah minta di bezuk, ia masuk rumah sakit tadi sore."
" Kenapa? Bu Minah sakit?''tak bisa lagi ku kekang perasaanku yang tiba tiba kalut dan binggung.
"Anu, Lin..."menyebalkan! setiap kali memulai bicara memakai kata anu. Pertanda ia ragu menyampaikan sesuatu.
''Saya gak tahu bagaimana awal kejadianya. Kata teman-teman sewaktu saya si kung, Bu Minah didatangi polisi dikantor agen. Bu Minah di tuduh membunuh nenek asuhnya. Karena nenek tua itu meninggal bertepatan dengan Bu Minah minggat dari rumah majikan''
" Astaga!. Lho katanya masuk rumah sakit. Apa ditembak polisi?''suara diseberang sana tertawa.
'' Bukan. Agen melemparkan kursi kayu ke badan Bu Binah. Kepalanya berdarah, dan katanya ia pusing melulu. Sama agen di antar langsung ke Rumah sakit terdekat''antara percaya dan tidak aku mendengar cerita tentang Bu Minah.
'' Masalahnya apa, ce?''
" Sepulang dari kantor polisi, Bu Minah gak mau ngaku telah membunuh neneknya. Ia memang ngaku sebelum kabur, Bu Minah sempat memberi lima buah kelengkeng ke nenek asuhnya. Tapi ia gak sempat mengupas dan membuang biji buah kesukaan nenek asuhnya itu. Katanya sih, neneknya meninggal karena kesedak biji buah itu''
'' Ya ampun sampai segitunya. Tindakan agen apa sudah dilaporin kepolisi?''
" Belum. Soale sama agen langsung dibawa ke rumah sakit. Tolong ya, Lina temuin Bu Minah di rumah sakit. Bu Minah ingin bertemu sampeyan"
"Akan ku usahakan''. Aku memang baru sekali bertemu dengan wanita kurus itu. Tapi wajah dan gayanya takkan pernah ku lupa. Seolah telah bertahun - tahun aku bersamanya. Medengarnya masuk rumah sakit, aku jadi tak tenang. Aku binggung bagaimana cara minta izin pada majikan. Karena aku tahu pasti, majikanku tak kan megizinkan. Wong cuma ngambil KTP ke imigrasi, atau ke agen saja aku dikawal nyonya.
Ku lirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek menunjuk angka 11.00. Sambil membawa keranjang belanjaan, aku hanya keliling pasar. Ingin mencari ikan dan sayur hanya muter muter doang. aku binggung, antara menemui Bu Minah ataukah aku belanja dan langsung pulang ke rumah. Akhirnya kuputuskan menemui Bu Minah. Rambut cepakku terasa dingin oleh hembusan angin. Setelah menyetop bus mini aku naik ke jurusan Rumah sakit dimana Bu Minah di rawat. Cuma bodohnya aku, setelah turun di terminal bus, aku tidak tahu jalan menuju rumah sakit. Nomor telepon agenya tak ku bawa. Bertanya kesana kemari, aku malah nyasar. Ketika bertemu dengan sesama BMI, aku minta ditunjukan RSU yang akan ku tuju. Parahnya, aku tak tahu di ruangan mana ia di rawat. Bertanya pada fihak RSU pakai bahasa ingris, mereka malah tak faham dengan yang aku katakan. Pakai bahasa kanton, rupanya bahasaku masih belepotan. Mereka tak mengerti dan aku kecewa. Akhirnya aku pulang kerumah.
Sehari dua hari kusimpan rasa kecewa di dada. Perasaanku semakin kalut jadinya. Aku ingin bertemu Bu Minah. Di telepon ke agennya, si agen berusaha tutup mulut meski aku sudah mengaku satu satunya keluarga Bu Minah. Aku semakin yakin ada apa apa dibalik ini semua. Bahkan keberadaan Bu Minah juga di sembunyikan dariku. Seminggu sudah aku tak lagi mendeng kabar soal Bu Minah. Namun tiba-tiba di siang hari bolong aku mendapat informasi dari seorang laki-laki yang mengaku dari badan bantuan hukum ketenaga kerjaan. '' Saya tidak bisa mengatakan banyak, lebih baik anda datang kemari karena cuma nama anda yang dipanggil panggil''aku terkesiap. Kenapa aku yang dicari cari Bu Minah? bukankah ia memiliki keluarga, atau barangkali teman se- PT?. Rasa penasaran ingin menguak siapa sebenarnya Bu Minah semakin menjadi-jadi. Dari awal aku sudah menduga, di gerbang senja itu adalah ibuku. Gerak langkahnya, nada bicaranya, juga bodinya. Hanya sedikit yang berubah. Kulit wajahnya!
" Saya segera kesana''aku bergegas pergi setelah meletakkan telepon majikan yang bebas kupakai.
Shalter Yaumatei hanya 200 langkah dari tempat kerjaku. Kebetulan pula tempat itu tak jauh dari pasar besar tempat biasa aku berbelanja. Kutekan tombol 20 dengan perasaan tak menentu. Ada rindu, ada haru, ada khawatir memenuhi rongga dadaku. Aku sampai gemetar sama persis ketika kakak kelasku bilang cinta 2 tahun lalu. Didepan apartemen, ku tarik kembali tangaku yang hampir saja menekan bel. Dari luar, terdengar suara gaduh, pekikan, jeritan bahkan suara alunan ayat-ayat suci. Tak seberapa lama ruangan itu sunyi sepi. Tak terdengar suara apapun dari dalam. "Asu!''aku terkejut bukan alang kepalang. Tiba tiba saja suara itu muncul dari kesunyian disaat telinggaku sedang nempel dipintu. Samar, aku mengenali suara itu. Suara perempuan teraniaya yang belum sempat menuntut kasusnya. "Bu Minah...'' Seketika ku tekan tombol apartemen. Ya Tuhan!
Semerbak bau balsem menusuk hidungku memasuki gedung penampungan sementara. 15 orang berkerudung khusuk membaca Yassin di sudut ruangan. Terbaring lemah tubuh Bu Minah di atas tikar dikelilingi kawan kawanya. Wajahnya seperti kapas. Bibirnya pucat pasi. Tangan dan kakinya sedingin es. Tatapanya nanar memandang kosong langit langit ruangan. Semakin jelas hilang hasratnya bertahan hidup. Ia pasrah tiada daya. Lemah, lemas.
"Bu Minah...''panggilku sambil memegang jari jemarinya. Berkali kali ku panggil di dekat telingganya pun ia seperti orang tuli. Hatiku trenyuh melihat keadaanya. Ku pandagi dari ujung kaki hingga ujung rambutnya yang sebagian memutih. Dan, selimut itu, membuatku semakin takut. Hampir mirip dengan selimut ibuku. Selendang batik peninggalan nenek. Apakah Bu Minah itu ibuku? tapi kenapa tak ada tahi lalat dipipi kirinya. Apakah ibuku operasi plastik? tapi dari mana ibuku dapat uang segitu banyaknya? Dan jika benar, ia ibuku, dimana ketegaran dan ketegasan yang ibu miliki?
"Ibu.....''tanpa sadar kupanggil nama ibuku. Perempuan dihadapanku itu tiba-tiba duduk dan menyibakkan kain selimutnya. Bola matanya lekat menatapku. Matanya teduh yang lama kelamaan berubah merah. Sangar! Seolah ia ingin menerkam dan melumat tubuhku. Aku takut. Entah siapa yang menarik tubuhku dari belakang, yang pasti tubuhku tlah keluar dari kerumunan orang orang yang mengelilingi Bu Minah. "Dasar anak tidak tahu diri. Di suruh sekolah malah menghamili anak orang. Mbok sing ngerti Opo'o Le."makian itu membuat linangan air mata orang orang yang mendengarnya. Ia gusar. Ia marah. Tapi perasaan tertekan itu hanya disimpanya seorang diri. Kerja di luar negeri mendapat penganiayaan dari majikan dan agen. Dapat tuduhan pula. Dalam waktu yang bersamaan anak keduanya mengabarkan si bungsu menghamili teman sekolah.
Aku bernafas lega dengan ratapan Bu Minah. Ya, setidaknya ia bukanlah ibu kandungku. Karena saudaraku semua berjenis kelamin perempuan. Tapi satu penyesalan tiada habisnya mengerogoti jiwaku. Ku salahkan diriku, kenapa memaksa Bu Minah lari ke agennya. Jika lari ketempat lain, barangkali nasib BU Minah tak sampai depresi. Kini mental Bu Minah terlanjur dwon. Apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya. Dan bagaiman menebus rasa bersalahku ini?Ku pejamkan mata rapat menahan air mata yang semakin sulit kubendung. Sekilas kulirik keadaan Bu Minah sebelum meninggalkan bouilding house khusus BMI berkasus. Ia mulai teriak menyebut asma allah, semakin lama semakin lirih yang kemudian di susul dengan tawa.
Sekeluar dari gerbang Yau Ma Tei, aku berlari kencang menerobos jalanan. Waktuku sudah mepet, sepuluh menit lagi anakku tiba di halte penjemputan. Tak peduli sendal jepit putus di tengah-tengah jalan, aku berlari dan berlari. Tanpa menuju rumah aku langsung ketempat penjemput. Semenit dua menit, belum juga datang. Di tunggu hampir 30 menit, bus sekolah tak juga nonggol. Akhirnya aku naik ke rumah berencana menelepon majikan memberitahukan soal Ervan yang belum pulang sekolah. Belum sempat membuka pintu apartemen, tuan yang menandatangi kontrak kerjaku telah berdiri di depan pintu. Sial! Aliran darahku seolah tersumbat seketika. Terpucat pasi aku dihadapan tuan dan anak asuh yang memakai baju tebal.
"Maaf tuan''kataku lirih sambil berdiri tegak seperti latihan baris berbaris.
'' Dari mana?''tanya majikan laki lakiku yang masih pakai seragam polisinya. Aku hanya diam seperti duduk di kursi pesakitan. Ku pandang jari jari kaki mencari sebuah alasan, but no reason. " Bereskan bajumu dan silahkan kembali ke agen''. Wajahku memerah ingin menangis, tapi aku tetap mencoba memberi seuntai senyum pada majikan. Tak seberapa lama aku tertawa ngakak seperti Bu Minah! '' Terima kasih aku di PHK''. Gendeng!
Mong Kok, 27 mei 2007
WANITA DIUJUNG SENJA
Oleh: Kristina Dian S
Selayang pandang, perempuan berusia 44 tahun di depanku itu mirip ibuku. Tinggi kurus, rambutnya keriting sebahu, kulitnya agak gelap. Nafasnya tersengal, matanya berkaca, saat menyapaku disimpang Sai Yeung Choi Street. '' Adik dari Indo, ya?'' aku yang baru pulang belanja mengangguk. Seketika bulu kudukku merinding melihat keadaannya. Kedua lenganya lebam, darah segar mengalir dari sela-sela bibirnya. "Sampeyan kenapa?"buru-buru kuletakkan barang belanjaan di tepi jalan.
Tiba-tiba aku ingat ibuku yang bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga sejak tiga tahun lalu. Setelah bapak meninggal dunia direngut penyakit asma. Apa yang bisa kulakukan jika ibuku mengalami nasib seperti BMI di depanku? berlari dari rumah majikan tanpa uang ditangan, tanpa alas kaki. Dulu, aku sempat menyesali keputusan Ibu. Tapi ibuku memang keras kepala, tak mau peduli betapa aku dan adik adik sangat membutuhkan kasih sayangnya. Di larang berangkat keluar negeri, masih saja nekat. Katanya mencari duit untuk menyekolahkan anak anaknya. Atas kepergian ibu penderitaan yang kualami malah lebih parah dari tidak makan nasi seminggu. Aku dan ketiga adikku jadi terlantar.
Terdorong ingin mengantikan posisi ibu, aku berangkat ke Hong Kong. Harapanku, setelah kelar membayar potongan jasa penyalur, aku meminta ibu kembali ketanah air. Mengurusi dan melimpahi kasih sayang pada adik-adik. Akankah keinginanku kesampaian? Berkali kali ibu mengontak, sejak aku mulai bekerja di rumah majikan, ibu selalu bilang belum ingin pulang. Katanya keluarga majikannya sunguh baik dan teramat perhatian. Tapi benarkah demikian? atau jangan jangan ibu sengaja menutupi penderitaanya dari anak. Karena menginjak bulan kedua aku bekerja di Mong Kok, tak ada lagi komunikasi. Terputus begitu saja. Ibu tak pernah lagi menghubungi anak-anaknya. Ingin menelepon tak tahu nomornya.
''apa yang harus ku lakukan?'tersentak diriku mendengar pertanyaan Bu Minah, seorang BMI yang barusan kabur dari rumah majikan. Melihat genangan air matanya membuatku ingin menangis. Kegugupannya, membuatku ingin memeluknya. Aku tak tega, orang seperti Bu Minah masih ingin bertahan mencari kerjaan di luar negeri. Entah sampai kapan ia akan berhenti merantau, yang katanya telah 14 tahun ia jalani. Dari majikan satu kemajikan yang lain. Dari negara satu kenegara yang lain. Sedikitpun tak ada gurat lelah terpancar dari wajahnya pada saat itu. Tapi kali ini, begitu tenaganya ingin mengecap nikmat dollar Hong Kong, ia kesandung batu masalah. '' Menenangkan diri langkah terbaik sebelum Bu Minah mengambil tindakan lain. Setelah agak tenang, barulah ke kantor polisi''saranku sambil menatap wajah dan lagaknya yang mirip ibuku. "Makasih ya, dik''
Belum sempat kakiku beranjak, Bu Minah yang rambutnya masih acak-acakan, memegang lenganku. "Setelah itu aku harus pergi kemana?'' Kuanggap pertanyaan konyol. Bagaimana mungkin Bu Minah yang katanya sudah malang melintang menjual jasa di luar negeri belum tahu ''jalan''. "Ke agen, dong'' jawabku sekenanya saja. Bola matanya berputar, keningnya berkerut.
"Aku tak yakin agen mau membantuku. Sedikitpun mereka tak mau mendengar penjelasanku. Bagaimana mungkin aku tertarik kembali ke agen?'' Ku garuk kepalaku yang tidak gatal.
"Bagaimana kalau Bu Minah langsung ke Konsulat?''mendengar pertanyaanku, lagi, lagi Bu Minah menunduk.
" Aku ragu lari kesana, aku ragu, apakah konsulat akan membantu ku dengan seadil adilnya?'' matanya kembali menerawang. Aku jadi jengkel, kedua saran yang ku sodorkan semua di sambut dengan keraguan. Aku tidak mengerti apa yang di inginkan. Aku tak tahu apa yang dimaui Bu Minah. Dan aku jadi lesu mendengar keraguannya. Sementara, aku mulai resah sudah waktunya pulang kerumah. Bagaimanapun, aku lebih memberatkan pekerjaanku ketimbang menemani BMI yang butuh pertolongan itu.
'' Kira- kira Bu Minah mau kemana nih?'' Aku yang masih potongan 5 bulan terpaksa mengulang pertanyaan.
" Belum tahu, dik"
"Saya sudah harus pulang, Bu. Sejam lagi waktunya menjemput anak''. Di simpan jalan itu ku tinggalkan Bu Minah dalam keadaan terombang-ambing.
Pukul 3 sore, aku turun dari rumah menuju gerbang Fortune Building. Sesampai di halaman apartemen kulihat Bu Minah duduk dikursi pos satpam sambil memainkan pikiranya. '' Bu Minah ngapain disini?'' ia tersenyum memamerkan gowangnya. '' Aku mengikuti dan menunggu dik Lina disini. Sambil mikir hendak kemana mencari perlindungan''. Sebel aku jadinya. Menghadapi masalah bukanya cepat di urus malah dibiarkan berlarut-larut. Dengan berat hati aku mengajaknya mencari tempat duduk didekat penurunan bus sekolah.
'' Guruku di PT emang benar. Bahasa kantonish salah satu modal utama bekerja di Hong Kong. Tak bisa bahasa, sama saja gak bisa bekerja. Waktu itu, aku menganggap enteng soal bahasa. Bukanya sombong, aku bisa bahasa mandarin, arab dan bahasa ingris meski just litlle bite. Aku isa ngomonge tapi ora isa nulise. Kupikir itu sudah bisa menjadi modal komunikasi dengan majikanku yang asli Chino Hong Kong. Eh, ndak tahunya....''baru mulai berkisah anak asuhku keburu datang. "kalau ada apa-apa bisa kontak saya'' kuberikan nomor telepon majikan.
'' Saya gak rela kalau Bu Minah pergi ketempat lain selain ke agen atau konsulat. Percayalah! mereka pasti membantu dan mengatasi masalah yang sedang Ibu hadapi'' sambungku sebelum berlari meninggalkanya.
Meski bahasa kantonisku pas-pasan dan baru pertama kali bekerja keluar negeri, tapi aku sangat disayangi majikan. Cuma sayangnya aku belum dikasih libur selama aku masih membayar potongan agen yang kurang dua kali pembayaran. Ada rasa tertekan memang tanpa ada celah melepas lelah bersama teman teman. Apalagi jika hari minggu bertepatan dengan tugasku mengelap jendela kamar majikan. Bisaku hanya berangan, berandai -andai, bertanya dalam hati: kapan aku bisa seperti mereka?
"Ling....... ada telepon mencarimu.....''teriakan nyonya dari kamar sebelah pada pukul 10 malam, ketika aku arep mapan turu.
'' Terima kasih, Nyah''aku beranjak keruang tamu, mengambil telepon yang juga tersambung di kamar majikan.
" Lina,ya?''aku diam sejenak mencoba mengingat-ingat suara asing di telingga. Tapi tetap saja, suara itu bukan suara Meli teman PT, bukan Wina tetangga apartemen yang sering meneleponku.
" Iya. Siapa ya?''
" Anu Lin. Aku I'is temanya Bu Minah.''suara kecil melengking itu terdengar gugup. Hampir mirip dengan kegugupan Bu Minah tiga hari lalu.
" Ada apa, ce?''
" Saya diminta Bu Minah menyampaikan pesan ke sampeyan. Bu Minah minta di bezuk, ia masuk rumah sakit tadi sore."
" Kenapa? Bu Minah sakit?''tak bisa lagi ku kekang perasaanku yang tiba tiba kalut dan binggung.
"Anu, Lin..."menyebalkan! setiap kali memulai bicara memakai kata anu. Pertanda ia ragu menyampaikan sesuatu.
''Saya gak tahu bagaimana awal kejadianya. Kata teman-teman sewaktu saya si kung, Bu Minah didatangi polisi dikantor agen. Bu Minah di tuduh membunuh nenek asuhnya. Karena nenek tua itu meninggal bertepatan dengan Bu Minah minggat dari rumah majikan''
" Astaga!. Lho katanya masuk rumah sakit. Apa ditembak polisi?''suara diseberang sana tertawa.
'' Bukan. Agen melemparkan kursi kayu ke badan Bu Binah. Kepalanya berdarah, dan katanya ia pusing melulu. Sama agen di antar langsung ke Rumah sakit terdekat''antara percaya dan tidak aku mendengar cerita tentang Bu Minah.
'' Masalahnya apa, ce?''
" Sepulang dari kantor polisi, Bu Minah gak mau ngaku telah membunuh neneknya. Ia memang ngaku sebelum kabur, Bu Minah sempat memberi lima buah kelengkeng ke nenek asuhnya. Tapi ia gak sempat mengupas dan membuang biji buah kesukaan nenek asuhnya itu. Katanya sih, neneknya meninggal karena kesedak biji buah itu''
'' Ya ampun sampai segitunya. Tindakan agen apa sudah dilaporin kepolisi?''
" Belum. Soale sama agen langsung dibawa ke rumah sakit. Tolong ya, Lina temuin Bu Minah di rumah sakit. Bu Minah ingin bertemu sampeyan"
"Akan ku usahakan''. Aku memang baru sekali bertemu dengan wanita kurus itu. Tapi wajah dan gayanya takkan pernah ku lupa. Seolah telah bertahun - tahun aku bersamanya. Medengarnya masuk rumah sakit, aku jadi tak tenang. Aku binggung bagaimana cara minta izin pada majikan. Karena aku tahu pasti, majikanku tak kan megizinkan. Wong cuma ngambil KTP ke imigrasi, atau ke agen saja aku dikawal nyonya.
Ku lirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek menunjuk angka 11.00. Sambil membawa keranjang belanjaan, aku hanya keliling pasar. Ingin mencari ikan dan sayur hanya muter muter doang. aku binggung, antara menemui Bu Minah ataukah aku belanja dan langsung pulang ke rumah. Akhirnya kuputuskan menemui Bu Minah. Rambut cepakku terasa dingin oleh hembusan angin. Setelah menyetop bus mini aku naik ke jurusan Rumah sakit dimana Bu Minah di rawat. Cuma bodohnya aku, setelah turun di terminal bus, aku tidak tahu jalan menuju rumah sakit. Nomor telepon agenya tak ku bawa. Bertanya kesana kemari, aku malah nyasar. Ketika bertemu dengan sesama BMI, aku minta ditunjukan RSU yang akan ku tuju. Parahnya, aku tak tahu di ruangan mana ia di rawat. Bertanya pada fihak RSU pakai bahasa ingris, mereka malah tak faham dengan yang aku katakan. Pakai bahasa kanton, rupanya bahasaku masih belepotan. Mereka tak mengerti dan aku kecewa. Akhirnya aku pulang kerumah.
Sehari dua hari kusimpan rasa kecewa di dada. Perasaanku semakin kalut jadinya. Aku ingin bertemu Bu Minah. Di telepon ke agennya, si agen berusaha tutup mulut meski aku sudah mengaku satu satunya keluarga Bu Minah. Aku semakin yakin ada apa apa dibalik ini semua. Bahkan keberadaan Bu Minah juga di sembunyikan dariku. Seminggu sudah aku tak lagi mendeng kabar soal Bu Minah. Namun tiba-tiba di siang hari bolong aku mendapat informasi dari seorang laki-laki yang mengaku dari badan bantuan hukum ketenaga kerjaan. '' Saya tidak bisa mengatakan banyak, lebih baik anda datang kemari karena cuma nama anda yang dipanggil panggil''aku terkesiap. Kenapa aku yang dicari cari Bu Minah? bukankah ia memiliki keluarga, atau barangkali teman se- PT?. Rasa penasaran ingin menguak siapa sebenarnya Bu Minah semakin menjadi-jadi. Dari awal aku sudah menduga, di gerbang senja itu adalah ibuku. Gerak langkahnya, nada bicaranya, juga bodinya. Hanya sedikit yang berubah. Kulit wajahnya!
" Saya segera kesana''aku bergegas pergi setelah meletakkan telepon majikan yang bebas kupakai.
Shalter Yaumatei hanya 200 langkah dari tempat kerjaku. Kebetulan pula tempat itu tak jauh dari pasar besar tempat biasa aku berbelanja. Kutekan tombol 20 dengan perasaan tak menentu. Ada rindu, ada haru, ada khawatir memenuhi rongga dadaku. Aku sampai gemetar sama persis ketika kakak kelasku bilang cinta 2 tahun lalu. Didepan apartemen, ku tarik kembali tangaku yang hampir saja menekan bel. Dari luar, terdengar suara gaduh, pekikan, jeritan bahkan suara alunan ayat-ayat suci. Tak seberapa lama ruangan itu sunyi sepi. Tak terdengar suara apapun dari dalam. "Asu!''aku terkejut bukan alang kepalang. Tiba tiba saja suara itu muncul dari kesunyian disaat telinggaku sedang nempel dipintu. Samar, aku mengenali suara itu. Suara perempuan teraniaya yang belum sempat menuntut kasusnya. "Bu Minah...'' Seketika ku tekan tombol apartemen. Ya Tuhan!
Semerbak bau balsem menusuk hidungku memasuki gedung penampungan sementara. 15 orang berkerudung khusuk membaca Yassin di sudut ruangan. Terbaring lemah tubuh Bu Minah di atas tikar dikelilingi kawan kawanya. Wajahnya seperti kapas. Bibirnya pucat pasi. Tangan dan kakinya sedingin es. Tatapanya nanar memandang kosong langit langit ruangan. Semakin jelas hilang hasratnya bertahan hidup. Ia pasrah tiada daya. Lemah, lemas.
"Bu Minah...''panggilku sambil memegang jari jemarinya. Berkali kali ku panggil di dekat telingganya pun ia seperti orang tuli. Hatiku trenyuh melihat keadaanya. Ku pandagi dari ujung kaki hingga ujung rambutnya yang sebagian memutih. Dan, selimut itu, membuatku semakin takut. Hampir mirip dengan selimut ibuku. Selendang batik peninggalan nenek. Apakah Bu Minah itu ibuku? tapi kenapa tak ada tahi lalat dipipi kirinya. Apakah ibuku operasi plastik? tapi dari mana ibuku dapat uang segitu banyaknya? Dan jika benar, ia ibuku, dimana ketegaran dan ketegasan yang ibu miliki?
"Ibu.....''tanpa sadar kupanggil nama ibuku. Perempuan dihadapanku itu tiba-tiba duduk dan menyibakkan kain selimutnya. Bola matanya lekat menatapku. Matanya teduh yang lama kelamaan berubah merah. Sangar! Seolah ia ingin menerkam dan melumat tubuhku. Aku takut. Entah siapa yang menarik tubuhku dari belakang, yang pasti tubuhku tlah keluar dari kerumunan orang orang yang mengelilingi Bu Minah. "Dasar anak tidak tahu diri. Di suruh sekolah malah menghamili anak orang. Mbok sing ngerti Opo'o Le."makian itu membuat linangan air mata orang orang yang mendengarnya. Ia gusar. Ia marah. Tapi perasaan tertekan itu hanya disimpanya seorang diri. Kerja di luar negeri mendapat penganiayaan dari majikan dan agen. Dapat tuduhan pula. Dalam waktu yang bersamaan anak keduanya mengabarkan si bungsu menghamili teman sekolah.
Aku bernafas lega dengan ratapan Bu Minah. Ya, setidaknya ia bukanlah ibu kandungku. Karena saudaraku semua berjenis kelamin perempuan. Tapi satu penyesalan tiada habisnya mengerogoti jiwaku. Ku salahkan diriku, kenapa memaksa Bu Minah lari ke agennya. Jika lari ketempat lain, barangkali nasib BU Minah tak sampai depresi. Kini mental Bu Minah terlanjur dwon. Apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya. Dan bagaiman menebus rasa bersalahku ini?Ku pejamkan mata rapat menahan air mata yang semakin sulit kubendung. Sekilas kulirik keadaan Bu Minah sebelum meninggalkan bouilding house khusus BMI berkasus. Ia mulai teriak menyebut asma allah, semakin lama semakin lirih yang kemudian di susul dengan tawa.
Sekeluar dari gerbang Yau Ma Tei, aku berlari kencang menerobos jalanan. Waktuku sudah mepet, sepuluh menit lagi anakku tiba di halte penjemputan. Tak peduli sendal jepit putus di tengah-tengah jalan, aku berlari dan berlari. Tanpa menuju rumah aku langsung ketempat penjemput. Semenit dua menit, belum juga datang. Di tunggu hampir 30 menit, bus sekolah tak juga nonggol. Akhirnya aku naik ke rumah berencana menelepon majikan memberitahukan soal Ervan yang belum pulang sekolah. Belum sempat membuka pintu apartemen, tuan yang menandatangi kontrak kerjaku telah berdiri di depan pintu. Sial! Aliran darahku seolah tersumbat seketika. Terpucat pasi aku dihadapan tuan dan anak asuh yang memakai baju tebal.
"Maaf tuan''kataku lirih sambil berdiri tegak seperti latihan baris berbaris.
'' Dari mana?''tanya majikan laki lakiku yang masih pakai seragam polisinya. Aku hanya diam seperti duduk di kursi pesakitan. Ku pandang jari jari kaki mencari sebuah alasan, but no reason. " Bereskan bajumu dan silahkan kembali ke agen''. Wajahku memerah ingin menangis, tapi aku tetap mencoba memberi seuntai senyum pada majikan. Tak seberapa lama aku tertawa ngakak seperti Bu Minah! '' Terima kasih aku di PHK''. Gendeng!
Mong Kok, 27 mei 2007
Selayang pandang, perempuan berusia 44 tahun di depanku itu mirip ibuku. Tinggi kurus, rambutnya keriting sebahu, kulitnya agak gelap. Nafasnya tersengal, matanya berkaca, saat menyapaku disimpang Sai Yeung Choi Street. '' Adik dari Indo, ya?'' aku yang baru pulang belanja mengangguk. Seketika bulu kudukku merinding melihat keadaannya. Kedua lenganya lebam, darah segar mengalir dari sela-sela bibirnya. "Sampeyan kenapa?"buru-buru kuletakkan barang belanjaan di tepi jalan.
Tiba-tiba aku ingat ibuku yang bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga sejak tiga tahun lalu. Setelah bapak meninggal dunia direngut penyakit asma. Apa yang bisa kulakukan jika ibuku mengalami nasib seperti BMI di depanku? berlari dari rumah majikan tanpa uang ditangan, tanpa alas kaki. Dulu, aku sempat menyesali keputusan Ibu. Tapi ibuku memang keras kepala, tak mau peduli betapa aku dan adik adik sangat membutuhkan kasih sayangnya. Di larang berangkat keluar negeri, masih saja nekat. Katanya mencari duit untuk menyekolahkan anak anaknya. Atas kepergian ibu penderitaan yang kualami malah lebih parah dari tidak makan nasi seminggu. Aku dan ketiga adikku jadi terlantar.
Terdorong ingin mengantikan posisi ibu, aku berangkat ke Hong Kong. Harapanku, setelah kelar membayar potongan jasa penyalur, aku meminta ibu kembali ketanah air. Mengurusi dan melimpahi kasih sayang pada adik-adik. Akankah keinginanku kesampaian? Berkali kali ibu mengontak, sejak aku mulai bekerja di rumah majikan, ibu selalu bilang belum ingin pulang. Katanya keluarga majikannya sunguh baik dan teramat perhatian. Tapi benarkah demikian? atau jangan jangan ibu sengaja menutupi penderitaanya dari anak. Karena menginjak bulan kedua aku bekerja di Mong Kok, tak ada lagi komunikasi. Terputus begitu saja. Ibu tak pernah lagi menghubungi anak-anaknya. Ingin menelepon tak tahu nomornya.
''apa yang harus ku lakukan?'tersentak diriku mendengar pertanyaan Bu Minah, seorang BMI yang barusan kabur dari rumah majikan. Melihat genangan air matanya membuatku ingin menangis. Kegugupannya, membuatku ingin memeluknya. Aku tak tega, orang seperti Bu Minah masih ingin bertahan mencari kerjaan di luar negeri. Entah sampai kapan ia akan berhenti merantau, yang katanya telah 14 tahun ia jalani. Dari majikan satu kemajikan yang lain. Dari negara satu kenegara yang lain. Sedikitpun tak ada gurat lelah terpancar dari wajahnya pada saat itu. Tapi kali ini, begitu tenaganya ingin mengecap nikmat dollar Hong Kong, ia kesandung batu masalah. '' Menenangkan diri langkah terbaik sebelum Bu Minah mengambil tindakan lain. Setelah agak tenang, barulah ke kantor polisi''saranku sambil menatap wajah dan lagaknya yang mirip ibuku. "Makasih ya, dik''
Belum sempat kakiku beranjak, Bu Minah yang rambutnya masih acak-acakan, memegang lenganku. "Setelah itu aku harus pergi kemana?'' Kuanggap pertanyaan konyol. Bagaimana mungkin Bu Minah yang katanya sudah malang melintang menjual jasa di luar negeri belum tahu ''jalan''. "Ke agen, dong'' jawabku sekenanya saja. Bola matanya berputar, keningnya berkerut.
"Aku tak yakin agen mau membantuku. Sedikitpun mereka tak mau mendengar penjelasanku. Bagaimana mungkin aku tertarik kembali ke agen?'' Ku garuk kepalaku yang tidak gatal.
"Bagaimana kalau Bu Minah langsung ke Konsulat?''mendengar pertanyaanku, lagi, lagi Bu Minah menunduk.
" Aku ragu lari kesana, aku ragu, apakah konsulat akan membantu ku dengan seadil adilnya?'' matanya kembali menerawang. Aku jadi jengkel, kedua saran yang ku sodorkan semua di sambut dengan keraguan. Aku tidak mengerti apa yang di inginkan. Aku tak tahu apa yang dimaui Bu Minah. Dan aku jadi lesu mendengar keraguannya. Sementara, aku mulai resah sudah waktunya pulang kerumah. Bagaimanapun, aku lebih memberatkan pekerjaanku ketimbang menemani BMI yang butuh pertolongan itu.
'' Kira- kira Bu Minah mau kemana nih?'' Aku yang masih potongan 5 bulan terpaksa mengulang pertanyaan.
" Belum tahu, dik"
"Saya sudah harus pulang, Bu. Sejam lagi waktunya menjemput anak''. Di simpan jalan itu ku tinggalkan Bu Minah dalam keadaan terombang-ambing.
Pukul 3 sore, aku turun dari rumah menuju gerbang Fortune Building. Sesampai di halaman apartemen kulihat Bu Minah duduk dikursi pos satpam sambil memainkan pikiranya. '' Bu Minah ngapain disini?'' ia tersenyum memamerkan gowangnya. '' Aku mengikuti dan menunggu dik Lina disini. Sambil mikir hendak kemana mencari perlindungan''. Sebel aku jadinya. Menghadapi masalah bukanya cepat di urus malah dibiarkan berlarut-larut. Dengan berat hati aku mengajaknya mencari tempat duduk didekat penurunan bus sekolah.
'' Guruku di PT emang benar. Bahasa kantonish salah satu modal utama bekerja di Hong Kong. Tak bisa bahasa, sama saja gak bisa bekerja. Waktu itu, aku menganggap enteng soal bahasa. Bukanya sombong, aku bisa bahasa mandarin, arab dan bahasa ingris meski just litlle bite. Aku isa ngomonge tapi ora isa nulise. Kupikir itu sudah bisa menjadi modal komunikasi dengan majikanku yang asli Chino Hong Kong. Eh, ndak tahunya....''baru mulai berkisah anak asuhku keburu datang. "kalau ada apa-apa bisa kontak saya'' kuberikan nomor telepon majikan.
'' Saya gak rela kalau Bu Minah pergi ketempat lain selain ke agen atau konsulat. Percayalah! mereka pasti membantu dan mengatasi masalah yang sedang Ibu hadapi'' sambungku sebelum berlari meninggalkanya.
Meski bahasa kantonisku pas-pasan dan baru pertama kali bekerja keluar negeri, tapi aku sangat disayangi majikan. Cuma sayangnya aku belum dikasih libur selama aku masih membayar potongan agen yang kurang dua kali pembayaran. Ada rasa tertekan memang tanpa ada celah melepas lelah bersama teman teman. Apalagi jika hari minggu bertepatan dengan tugasku mengelap jendela kamar majikan. Bisaku hanya berangan, berandai -andai, bertanya dalam hati: kapan aku bisa seperti mereka?
"Ling....... ada telepon mencarimu.....''teriakan nyonya dari kamar sebelah pada pukul 10 malam, ketika aku arep mapan turu.
'' Terima kasih, Nyah''aku beranjak keruang tamu, mengambil telepon yang juga tersambung di kamar majikan.
" Lina,ya?''aku diam sejenak mencoba mengingat-ingat suara asing di telingga. Tapi tetap saja, suara itu bukan suara Meli teman PT, bukan Wina tetangga apartemen yang sering meneleponku.
" Iya. Siapa ya?''
" Anu Lin. Aku I'is temanya Bu Minah.''suara kecil melengking itu terdengar gugup. Hampir mirip dengan kegugupan Bu Minah tiga hari lalu.
" Ada apa, ce?''
" Saya diminta Bu Minah menyampaikan pesan ke sampeyan. Bu Minah minta di bezuk, ia masuk rumah sakit tadi sore."
" Kenapa? Bu Minah sakit?''tak bisa lagi ku kekang perasaanku yang tiba tiba kalut dan binggung.
"Anu, Lin..."menyebalkan! setiap kali memulai bicara memakai kata anu. Pertanda ia ragu menyampaikan sesuatu.
''Saya gak tahu bagaimana awal kejadianya. Kata teman-teman sewaktu saya si kung, Bu Minah didatangi polisi dikantor agen. Bu Minah di tuduh membunuh nenek asuhnya. Karena nenek tua itu meninggal bertepatan dengan Bu Minah minggat dari rumah majikan''
" Astaga!. Lho katanya masuk rumah sakit. Apa ditembak polisi?''suara diseberang sana tertawa.
'' Bukan. Agen melemparkan kursi kayu ke badan Bu Binah. Kepalanya berdarah, dan katanya ia pusing melulu. Sama agen di antar langsung ke Rumah sakit terdekat''antara percaya dan tidak aku mendengar cerita tentang Bu Minah.
'' Masalahnya apa, ce?''
" Sepulang dari kantor polisi, Bu Minah gak mau ngaku telah membunuh neneknya. Ia memang ngaku sebelum kabur, Bu Minah sempat memberi lima buah kelengkeng ke nenek asuhnya. Tapi ia gak sempat mengupas dan membuang biji buah kesukaan nenek asuhnya itu. Katanya sih, neneknya meninggal karena kesedak biji buah itu''
'' Ya ampun sampai segitunya. Tindakan agen apa sudah dilaporin kepolisi?''
" Belum. Soale sama agen langsung dibawa ke rumah sakit. Tolong ya, Lina temuin Bu Minah di rumah sakit. Bu Minah ingin bertemu sampeyan"
"Akan ku usahakan''. Aku memang baru sekali bertemu dengan wanita kurus itu. Tapi wajah dan gayanya takkan pernah ku lupa. Seolah telah bertahun - tahun aku bersamanya. Medengarnya masuk rumah sakit, aku jadi tak tenang. Aku binggung bagaimana cara minta izin pada majikan. Karena aku tahu pasti, majikanku tak kan megizinkan. Wong cuma ngambil KTP ke imigrasi, atau ke agen saja aku dikawal nyonya.
Ku lirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek menunjuk angka 11.00. Sambil membawa keranjang belanjaan, aku hanya keliling pasar. Ingin mencari ikan dan sayur hanya muter muter doang. aku binggung, antara menemui Bu Minah ataukah aku belanja dan langsung pulang ke rumah. Akhirnya kuputuskan menemui Bu Minah. Rambut cepakku terasa dingin oleh hembusan angin. Setelah menyetop bus mini aku naik ke jurusan Rumah sakit dimana Bu Minah di rawat. Cuma bodohnya aku, setelah turun di terminal bus, aku tidak tahu jalan menuju rumah sakit. Nomor telepon agenya tak ku bawa. Bertanya kesana kemari, aku malah nyasar. Ketika bertemu dengan sesama BMI, aku minta ditunjukan RSU yang akan ku tuju. Parahnya, aku tak tahu di ruangan mana ia di rawat. Bertanya pada fihak RSU pakai bahasa ingris, mereka malah tak faham dengan yang aku katakan. Pakai bahasa kanton, rupanya bahasaku masih belepotan. Mereka tak mengerti dan aku kecewa. Akhirnya aku pulang kerumah.
Sehari dua hari kusimpan rasa kecewa di dada. Perasaanku semakin kalut jadinya. Aku ingin bertemu Bu Minah. Di telepon ke agennya, si agen berusaha tutup mulut meski aku sudah mengaku satu satunya keluarga Bu Minah. Aku semakin yakin ada apa apa dibalik ini semua. Bahkan keberadaan Bu Minah juga di sembunyikan dariku. Seminggu sudah aku tak lagi mendeng kabar soal Bu Minah. Namun tiba-tiba di siang hari bolong aku mendapat informasi dari seorang laki-laki yang mengaku dari badan bantuan hukum ketenaga kerjaan. '' Saya tidak bisa mengatakan banyak, lebih baik anda datang kemari karena cuma nama anda yang dipanggil panggil''aku terkesiap. Kenapa aku yang dicari cari Bu Minah? bukankah ia memiliki keluarga, atau barangkali teman se- PT?. Rasa penasaran ingin menguak siapa sebenarnya Bu Minah semakin menjadi-jadi. Dari awal aku sudah menduga, di gerbang senja itu adalah ibuku. Gerak langkahnya, nada bicaranya, juga bodinya. Hanya sedikit yang berubah. Kulit wajahnya!
" Saya segera kesana''aku bergegas pergi setelah meletakkan telepon majikan yang bebas kupakai.
Shalter Yaumatei hanya 200 langkah dari tempat kerjaku. Kebetulan pula tempat itu tak jauh dari pasar besar tempat biasa aku berbelanja. Kutekan tombol 20 dengan perasaan tak menentu. Ada rindu, ada haru, ada khawatir memenuhi rongga dadaku. Aku sampai gemetar sama persis ketika kakak kelasku bilang cinta 2 tahun lalu. Didepan apartemen, ku tarik kembali tangaku yang hampir saja menekan bel. Dari luar, terdengar suara gaduh, pekikan, jeritan bahkan suara alunan ayat-ayat suci. Tak seberapa lama ruangan itu sunyi sepi. Tak terdengar suara apapun dari dalam. "Asu!''aku terkejut bukan alang kepalang. Tiba tiba saja suara itu muncul dari kesunyian disaat telinggaku sedang nempel dipintu. Samar, aku mengenali suara itu. Suara perempuan teraniaya yang belum sempat menuntut kasusnya. "Bu Minah...'' Seketika ku tekan tombol apartemen. Ya Tuhan!
Semerbak bau balsem menusuk hidungku memasuki gedung penampungan sementara. 15 orang berkerudung khusuk membaca Yassin di sudut ruangan. Terbaring lemah tubuh Bu Minah di atas tikar dikelilingi kawan kawanya. Wajahnya seperti kapas. Bibirnya pucat pasi. Tangan dan kakinya sedingin es. Tatapanya nanar memandang kosong langit langit ruangan. Semakin jelas hilang hasratnya bertahan hidup. Ia pasrah tiada daya. Lemah, lemas.
"Bu Minah...''panggilku sambil memegang jari jemarinya. Berkali kali ku panggil di dekat telingganya pun ia seperti orang tuli. Hatiku trenyuh melihat keadaanya. Ku pandagi dari ujung kaki hingga ujung rambutnya yang sebagian memutih. Dan, selimut itu, membuatku semakin takut. Hampir mirip dengan selimut ibuku. Selendang batik peninggalan nenek. Apakah Bu Minah itu ibuku? tapi kenapa tak ada tahi lalat dipipi kirinya. Apakah ibuku operasi plastik? tapi dari mana ibuku dapat uang segitu banyaknya? Dan jika benar, ia ibuku, dimana ketegaran dan ketegasan yang ibu miliki?
"Ibu.....''tanpa sadar kupanggil nama ibuku. Perempuan dihadapanku itu tiba-tiba duduk dan menyibakkan kain selimutnya. Bola matanya lekat menatapku. Matanya teduh yang lama kelamaan berubah merah. Sangar! Seolah ia ingin menerkam dan melumat tubuhku. Aku takut. Entah siapa yang menarik tubuhku dari belakang, yang pasti tubuhku tlah keluar dari kerumunan orang orang yang mengelilingi Bu Minah. "Dasar anak tidak tahu diri. Di suruh sekolah malah menghamili anak orang. Mbok sing ngerti Opo'o Le."makian itu membuat linangan air mata orang orang yang mendengarnya. Ia gusar. Ia marah. Tapi perasaan tertekan itu hanya disimpanya seorang diri. Kerja di luar negeri mendapat penganiayaan dari majikan dan agen. Dapat tuduhan pula. Dalam waktu yang bersamaan anak keduanya mengabarkan si bungsu menghamili teman sekolah.
Aku bernafas lega dengan ratapan Bu Minah. Ya, setidaknya ia bukanlah ibu kandungku. Karena saudaraku semua berjenis kelamin perempuan. Tapi satu penyesalan tiada habisnya mengerogoti jiwaku. Ku salahkan diriku, kenapa memaksa Bu Minah lari ke agennya. Jika lari ketempat lain, barangkali nasib BU Minah tak sampai depresi. Kini mental Bu Minah terlanjur dwon. Apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya. Dan bagaiman menebus rasa bersalahku ini?Ku pejamkan mata rapat menahan air mata yang semakin sulit kubendung. Sekilas kulirik keadaan Bu Minah sebelum meninggalkan bouilding house khusus BMI berkasus. Ia mulai teriak menyebut asma allah, semakin lama semakin lirih yang kemudian di susul dengan tawa.
Sekeluar dari gerbang Yau Ma Tei, aku berlari kencang menerobos jalanan. Waktuku sudah mepet, sepuluh menit lagi anakku tiba di halte penjemputan. Tak peduli sendal jepit putus di tengah-tengah jalan, aku berlari dan berlari. Tanpa menuju rumah aku langsung ketempat penjemput. Semenit dua menit, belum juga datang. Di tunggu hampir 30 menit, bus sekolah tak juga nonggol. Akhirnya aku naik ke rumah berencana menelepon majikan memberitahukan soal Ervan yang belum pulang sekolah. Belum sempat membuka pintu apartemen, tuan yang menandatangi kontrak kerjaku telah berdiri di depan pintu. Sial! Aliran darahku seolah tersumbat seketika. Terpucat pasi aku dihadapan tuan dan anak asuh yang memakai baju tebal.
"Maaf tuan''kataku lirih sambil berdiri tegak seperti latihan baris berbaris.
'' Dari mana?''tanya majikan laki lakiku yang masih pakai seragam polisinya. Aku hanya diam seperti duduk di kursi pesakitan. Ku pandang jari jari kaki mencari sebuah alasan, but no reason. " Bereskan bajumu dan silahkan kembali ke agen''. Wajahku memerah ingin menangis, tapi aku tetap mencoba memberi seuntai senyum pada majikan. Tak seberapa lama aku tertawa ngakak seperti Bu Minah! '' Terima kasih aku di PHK''. Gendeng!
Mong Kok, 27 mei 2007
KALA BULAN TERGODA
Oleh: Kristina Dian Safitry
'' Bulan, izinkan aku menemanimu. Ku ingin bersamamu mengusir kesunyian malam ini''.
Dea tersenyum membaca SMS dari sahabat udara yang baru dikenalnya sebulan lalu. Cowok itu memanggilnya Bulan. Dea memanggilnya Bintang.
Bagi gadis berlesung pipit ini, Nicol sungguh sangat nakal. Meski Dea sudah jujur punya kekasih di tanah air, Nicol tak mau peduli. Bahkan Dea mengatakan: akan menikah pada pertengahan september tahun ini. Tetapi cowok berkaca mata asal Surabaya itu tetap saja usil.
'' Bulan, kenapa kau diam? Lihatlah! Cahayaku semakin redup. Kurindukan sapamu, bulan''Dea ragu membalas SMS dari Nicol. Ketikan SMS yang hampir terkirim dibatalkan seketika. Seharian ini, sudah lebih dari sepuluh SMS yang di kirimkan kepadanya. Telepon tanpa nomor sampai rela tidak diangkatnya. Takut telepon itu dari Nicol.
" Biarpun hanya dalam angan biarkan aku menyayangmu. Izinkan aku mendengar suaramu. Itu sangat berarti bagiku. Malam tanpa bulan terasa sunyi sepi dan gulita. Entah kemana bulan. Hanya bintang yang setia berkelap kelip diangkasa. Tak mampu berbuat apa apa. Bintang menganggumi mu, tegakah kau melihat bintang merana?Oh my god, what is that mind all of these? Is it mistery of life?. ''rentetan SMS dari Nicol tak jua berakhir walau tak ada jawaban.
Dea yang bekerja pada tujuh anggota keluarga, berusaha menolak perasaanya. Mengantikan keresahan dengan memandang potret Rian, calon suaminya. Tapi tetap tak bisa mengubah rasa resah. Di akuinya, Nicol memiliki kelebihan jika dibandingkan Rian. Tidak manja. Tidak merajuk ketika SMS lambat terbalas. Jauh beda dengan Rian yang gampang ngambek. Hingga terkesan tak memberikan waktu pada Dea sibuk dengan urusannya. Kalaupun hingga kini masih bertahan semata keluarga Rian telah datang melamar setahun sebelum Dea memilih jadi BMI.
Kini Dea terjerat, terkulai dalam kekaguman suara Nicol. Suara yang memberi sketsa atas kepribadian si pemilik. Ya, suara itu terkesan dewasa, pengertian, puitis dan enak di dengar. Dea menduga, Nicol pasti cowok cakep, gagah, tampan dan tidak memalukan jika kelak jalan bersamanya. Akankah dirinya dibiarkan hanyut dalam rasa yang semakin tak menentu? Ataukah di hindari saja, seorang cowok yang menjadi TKI Australi itu?. Begitu yang ia pikirkan seharian ini. Jika saja di dalam hati Dea belum ada sesosok kekasih yang bakal jadi pendampingnya kelak, tentu Dea tak sampai seresah itu. "Aku tak boleh menggaguminya. Tidak boleh''katanya dalam hati.
''Bintang, izinkan bulan sendirian malam ini. Tidakkah kau lihat, betapa malam ini sungguh pekat. Bulan tak kan bersinar malam ini. Enggan menyapa bumi''jawab Dea sambil menghempaskan tubuh kurusnya di atas ranjang. Di pandangnya langit-langit kamar yang hanya bisa dinikmati pada tengah malam. Ia satu-satunya saksi akan keresahanya akhir-akhir ini.
"Bulan, meski cahayaku tak seterang cahayamu, yakinlah kegelapan ini akan berlalu asal kau izinkan aku melangkah disampingmu''SMS Nicol semakin membuat pusing kepala gadis berambut pirang ini.
Dea kadang merasa tak sanggup jauh dari Rian. Godaan yang datang membuatnya sering patah arang. Sementara waktu, Dea memang masih sanggup menghancurkan semua godaan itu. Mempertahan kesetiaan meski harus bermandikan air mata. Tapi sampai kapan? sementara taburan bintang-bintang diangkasa begitu indah. Bersinar, berputar, dan menari gemulai dihadapannya. Sebagian bintang itu mengoda menggelilinginya, mengajaknya menikmati alam malam.
" Aku lelah''keluhnya pada tumpukan baju-baju yang selama ini dijadikan bantal. Lelah diburu, di hantui bahkan nyaris terhempas dalam perselingkuhan. Namun sejauh itu, Dea tetap ingin bertahan di Hong KOng yang telah ia tinggali selama tiga tahun. Sedikitpun tak ada rencana pulang tanah air sebelum asanya kesampaian. Ia ingin memiliki masa depan cemerlang. Menginggat gaji Rian sebagai PNS di kantor kecamatan tak dapat di andalkan.
Tapi sejak Nicol mengirimkan SMS salam perkenalan, bahkan beberapa kali mengontak, Hati Dea mulai berubah. Dea tergoda pada lelaki dalam bayangan. Seharian Dea bisa kebinggungan jika tak di telepon Nicol. Untungnya, Dea termasuk cewek yang pandai menyimpan perasaan. Ia tak pernah kirim SMS duluan. Apalagi nelepon. No Way! Ia tak mau buang buang pulsa, yang itu artinya juga buang buang uang.
"Bintang, usah usik diri ini. Telah ada bintang lain yang lebih indah dan lebih terang dari cahayamu. Hanya satu bintang yang aku pilih dalam hidup ini. Engkau tau, aku sangat bahagia bersamanya. Tak sedetikpun ia mengizinkan mendung bergelayut di depanku. Dan mengertilah bintang, tak kan ku ambil dua bintang dalam hatiku''
Terpaksa Dea mengucapkan kata itu. Menyadari Nicol semakin tak dapat memahaminya.
" Bulan tak mengapa kau pilih satu bintang dalam malammu. Tapi bagaimana dengan hatiku ini? aku terlanjur terpesona. Aku damai jika bisa bersamamu seperti ini. Jujur saja bulan, kuinginkan dirimu menjadi pendamping hidupku. Kau bisa menyinari alam luas ini. Tapi kenapa tak kau beri sinarmu yang indah itu untukku? aku membutuhkanmu bulan''
'' Bintang, angap saja diriku di takdirkan bukan untuk dimiliki. Apalagi olehmu. Met tidur'' setelah mengirim SMS itu Dea mematikan HP. Dea menyadari jika hal itu dibiarkan berlarut-larut maka bahaya akan datang menghempas kehidupannya.
Dea gadis cantik. Anak tunggal dari pasangan pegawai pemerintah. Pendidikan Dea juga bukan tergolong rendah untuk ukuran orang desa. Tetapi itu tadi, ingin lekas mandiri Dea milih merantau ke Hong Kong dari pada menyelesaikan pendidikanya di sebuah perguruan yang ada di kotanya. Sejak kecil, kedua orang tuanya mendidik Dea menjadi seorang gadis yang kuat, disiplin dan cerdas dalam berfikir. Soal berpakain juga demikian. Selalu diajari berpakaian rapi. Tak heran, jika sesampai di Hong Kong Dea tetap dengan gaya berpakaian yang demikian. Kaos ketat di padu celana panjang. Meski pakaiannya mayoritas -bahkan tidak -ada yang bermerk, tetapi gadis manis ini kelihatan seksi dengan baju-baju kesukaannya itu.
Siapapun yang memandangnya, jarang ada sepintas lalu. Apa yang ada dalam diri Dea menjadi magnet tersendiri. Bukan hanya kaum perempuan, kaum laki-lakipun bisa terpesona. Tak ketinggalan sang majikan laki-laki juga bersikap seperti kebanyakan tatapan yang lain. Sering didapatinya sedang mencuri-ciri pandang. Inilah salah satu yang membuat Dea berniat enyah dari tempat kerjanya. Karena bukan hanya sekali dua, si nyonya terbakar cemburu. Anehnya, Dea malah dipertahankan oleh nyonyanya itu. Alasan majikan perempuannya: Dea pintar onbai sikan, pai sam ke dan meng pak.Tutur kata Dea sangat lembut dan sopan. Meski murah senyum tak menghilangkan sifat Dea yang sebenarnya. Tegas.
***************
Nicol, cowok berhidung bangir ini kebinggungan. Sudah hampir seminggu cewek pujaannya mematikan HP. Ingin mengirim surat tak tahu alamat. Kirim Email, tak dibalas. Beberapa hari pikiranya kalut. Karena Dea tak bisa dihubungi, membuatnya tak betah berlama-lama di tempat kerjanya. Sebelum usai jam kerja, Nicol selalu terburu-buru pulang ke rumah kontrakan. Ia ingin lekas mandi, duduk diayunan sambil berandai-andai. Hobi baru yang memeras otak. Karena tipe cewek setia seperti Dea tidak mudah dijerat.
" Aku akan terus berusaha mendaptkanya. Harus!'' tekat Nicol.
Dalam seminggu sudah dua kali ia dapat teguran mandor kebun cokelat, tempat Nikol mengadu nasib. Nicol yang masih terpuruk oleh bayangan pengkhianatan calon istrinya tak hirau.
Nicol sendiri tak habis mengerti kenapa ia bisa jatuh cinta pada Dea. Padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Gambaran Dea pun tak pernah ia dapatkan. Yang ia raba dari pikiranya, Dea pasti gadis cantik yang enerjik, lembut, rada manja serta cerdas. Nyambung diajak ngobrol apapun. Makanya Nicol mati-matiin berusaha menjerat Dea. Karena cewek seperti Dea lah yang diyakini bisa membuatnya bahagia. '' Gila! gue bisa jatuh hati sama Dea''makinya dalam hati.
Mendapatkan Dea akan membuatnya berhenti mempermiankan cewek-cewek yang tergila-gila padanya. Ia akan berhenti memanfaatkan cewek-cewek itu sebagai pelampiasan rasa dendamnya terhadap kaum perempuan.Kelak jika berhasil mendapatkan cinta Dea, Nicol bersumpah tidak akan pernah menyakiti gadis itu. Semenitpun tak kan pernah ia tinggalkan. Kemanapun ia pergi, berharap Dea selalu menemaninya. Agar kejadian pertama tak terulang lagi.
Di buang pandangan matanya jauh-jauh menembus taman bunga di halaman rumah kontraknya.
Pohon-pohon di tepi jalan berjajar rapi, melambai di tiup angin. Semilir senja itu mampu membawa Nicol dalam lamunan panjang. Membayangkan Dea jadi miliknya. Ketika ia pulang kerja, istri cantik berambut panjang akan menyambutnya. Memberikan seuntai senyum pada dirinya. Tanpa sadar, tubuh Nicol tersandar lemah di ayunan. Matanya terpejam. Sementara sigaret yang ada di sela jari nya turut terjuntai ketanah.
***********************
Sendiri, Dea menikmati hangat mentari di tepi sungai Tai Po, New Territories East pada minggu itu. Ia sengaja meninggalkan rumah majikan lebih pagi dari biasanya. Menyelusuri Ting Kok Road sudah menjadi kebiasaan setiap ada masalah. Pun panoramanya tak seindah Star Ferry atau taman victory yang selalu penuh pekerja asing dari Indo. Tetapi di wilayah pedesaan ini mampu membuatnya tenang. Meski hanya memandang sekumpulan ikan-ikan, atau memperhatikan keramaian pasar yang dibangun diatas sungai berair jernih. Lalu lalang pejalan kaki memberi arti tersendiri.
" Tolong di hidupin hpnya dong''SMS dari Voni temanya nyasar ke nomor pribadi Dea. Voni sempat sewot dengan teman yang paling cantik dan super cuek ini. Beberapa hari nomor HPnya tak bisa dihubungi. Teman-teman sekomunitas sampai geger. Bagaimana tidak, dana untuk perlombaan menyambut HUTRI, seluruhnya di bawa Dea. Waktunya bayar sewa tempat, juga beli kebutuhan perlombaan. Karna ulah Dea, perlombaan gagal dilaksanakan digedung kota Wan Chai. Untungnya Dea disegani anggota komunitas Teratai Merah.
" Sorry deh, Von. Lagi ada masalah pribadi nih. Harap maklum deh''balas Dea. Yang tak lama kemudian menghidupkan hp satunya. " Ya ampun"pekik Dea. Sangking banyak SMS membuat memory HP nya penuh. Dibaca sekilas SMS itu satu persatu. Begitu ada nomor dari Nicol ia tertegun sesaat. Keningnya berkerut.
" Bulan. Dimana dirimu? kenapa kau pergi tanpa pamit padaku. Katakan bila aku bersalah padamu. Please bulan, jangan siksa diriku ini. Jangan kau redupkan cahaya hatiku.". Terabaikan! Sedikitpun tak ada niat membalas SMS itu.
'' Dea chayank. Apa yang telah terjadi padamu? Kenapa mematikan HP hinga berhari -hari lamanya? Apa Dea ada masalah?. Atau.,..tagihan telepon bengkak lagi?''SMS Rian membuat Dea tersenyum. Ia ingat, pernah mematikan HP gara-gara belum bayar tagihan telepon. Rian sampai rela mengirimkan uang dari Indo, takut tak bisa komunikasi. Kadang Rian memang begitu dewasa dan pengertian meski tak sepuitis Nicol. Tapi tak jarang jika penyakit manja Rian kambuh, Uhg... Dea pasti sueeebel setengah mati. Maklum, Rian anak bungsu dari 6 bersaudara.
Belum terbaca semua SMS, telepon tanpa nomor masuk. Begitu diangkat rupaya Nicol yang lagi kangen berat.
" Dea, elu kejam banget sich sama gue?''kata arek surabaya yang dibesarkan di kota metropolitan, Jakarta.
" Sorry Nic. Dea nggak ingin kita semakin jauh terhanyut di aliran fatamorgana. Kita belum saling kenal khan? tidakkah engkau khan berfikir. Apakah aku ini sama seperti yang ada dalam bayanganmu atau malah sebaliknya. Lagian Dea sudah punya calon suami. Dea tak ingin menodainya Nic. Marilah kita berhenti dan bangun dari rasa ini. Kita berteman saja. Kalau ingin menjadikan aku sebagai pacarmu, lebih baik aku mundur. Usah lagi kita berteman.''ungkap Dea panjang lebar. Berusaha dengan segala kekuatan menekan dan menyembunyikan perasaan.
Bagaimanapun juga Nicol memang sulit di kasih pengertian. Sekilas diawal kenal kesanya Nicol begitu memahaminya. Faktanya, semakin lama kepribadian Nicol terbuka dengan sendirinya. Angkuh, egois dan suka memaksakan kehendak orang lain. Rasa simpati yang ada dalam diri Dea perlahan memudar.
" Apapun keadaan elu, guwe bisa nerimanya. Gue gak peduli elu bekas pacarnya Rian. Gue ingin miliki elo, Dea''
" Nicol. Berfikir pakai otak dong. Andalkan logikamu.''. Dea sedikit bicara keras.
" Lusa gue mau beli teket berangkat ke Hong Kong. Akan gue buktiin. Selama ini gue nggak main-main'' ''Kamu jangan gila. And please, dont mike me be grazy. Tolong dong jangan ubah perasaanku jadi benci.''
" Soalnya elo gak mau ngerti dengan perasaan gue''
''Kamu yang nggak ngerti aku. Dah berapa kali kubilang aku sudah punya cowok''
Pertengkaran hampir saja meledak ketika tiba-tiba ada nada telepon masuk.
"Sorry Nic ada telepon masuk'' setelah berkata dengan ketus, Dea mematikan telepon dari Nicol.
" Yank, gimana khabarnya? kenapa yayank matiin telepon? ada masalah? aku mengkhawatirkan keadaan mu''suara Rian terdengar panik. Membuat Dea semakin merasa bersalah. Salah membiarkan hatinya menyukai seseorang selain dirinya. Salah membiarkan hatinya hanyut begitu saja.
" Mas, Dea ingin pulang''tiba-tiba Dea mengatakan hal itu tanpa menjawab pertanyaan pacarnya. Rian tersentak, meski hati berbunga. Dan Rian yakin, gadisnya pasti mendapat masalah.
" Katakan, ada masalah apa?''Meski bertanya seperti itu, tapi Rian bahagia mendegar kekasihnya tiba tiba ingin pulang. Baginya, Dea termasuk cewek yang keras kepala. Tak bisa di cegah atau dilarang jika punya kemauan. Dalam rangka cuti tahun lalu, Dea minta izin setahun lagi. Di larang bagaimanapun ia tetap berangkat. Sekarang baru setahun sudah ingin pulang.
" Dea nggak sanggup Mas. Ternyata cobaan ini lebih berat. Sangat berat jika dibandingkan pekerjaan yang Dea jalani. Mas jangan marah ya, jika Dea jujur''
''Katakan chayank. Dari dulu aku tak pernah marah padamu.''
" Dea hampir menyukai seseorang mas.''
Rian tersentak kaget. Seketika ia ingin marah. Tapi ia hanya mampu mengelus dada. Rian yakin, kekasihnya cewek yang tak mudah jatuh. Rian yakin itu. Tapi kenapa Dea tiba-tiba bilang meyukai seseorang. Siapa gerangan? tapi itu sudah tak penting untuk di ketahui oleh Rian. Ia malah berharap tak tahu siapa dan dimana gerangan orang yang di sukai Dea. Kalau boleh jujur, ia justru bersyukur. Tanpa dapat masalah itu, mustahil gadis ayu kekasihnya itu ingin segera pulang.
" Pulanglah Dea. Bukankah jalan menuju masa depan tinggal kita langkahi. Jalan itu sudah terbentang. Kiriman uang dari yayank sudah kubelikan sebuah toko. Dan sejak yayang kembali ke Hong Kong, toko itu sudah berfungsi. Keuntunganya sudah cukup untuk kehidupan kita, bahkan untuk anak anak kita nanti.''
''Benarkah?''
Nokia dan sony yang selama 3 tahun menemaninya kini melayang diatas sungai perbatasan Tai Po - Tai Wo. " Aku akan pulang''teriaknya tanpa sadar.
Just for An and An, 30 july 2007
'' Bulan, izinkan aku menemanimu. Ku ingin bersamamu mengusir kesunyian malam ini''.
Dea tersenyum membaca SMS dari sahabat udara yang baru dikenalnya sebulan lalu. Cowok itu memanggilnya Bulan. Dea memanggilnya Bintang.
Bagi gadis berlesung pipit ini, Nicol sungguh sangat nakal. Meski Dea sudah jujur punya kekasih di tanah air, Nicol tak mau peduli. Bahkan Dea mengatakan: akan menikah pada pertengahan september tahun ini. Tetapi cowok berkaca mata asal Surabaya itu tetap saja usil.
'' Bulan, kenapa kau diam? Lihatlah! Cahayaku semakin redup. Kurindukan sapamu, bulan''Dea ragu membalas SMS dari Nicol. Ketikan SMS yang hampir terkirim dibatalkan seketika. Seharian ini, sudah lebih dari sepuluh SMS yang di kirimkan kepadanya. Telepon tanpa nomor sampai rela tidak diangkatnya. Takut telepon itu dari Nicol.
" Biarpun hanya dalam angan biarkan aku menyayangmu. Izinkan aku mendengar suaramu. Itu sangat berarti bagiku. Malam tanpa bulan terasa sunyi sepi dan gulita. Entah kemana bulan. Hanya bintang yang setia berkelap kelip diangkasa. Tak mampu berbuat apa apa. Bintang menganggumi mu, tegakah kau melihat bintang merana?Oh my god, what is that mind all of these? Is it mistery of life?. ''rentetan SMS dari Nicol tak jua berakhir walau tak ada jawaban.
Dea yang bekerja pada tujuh anggota keluarga, berusaha menolak perasaanya. Mengantikan keresahan dengan memandang potret Rian, calon suaminya. Tapi tetap tak bisa mengubah rasa resah. Di akuinya, Nicol memiliki kelebihan jika dibandingkan Rian. Tidak manja. Tidak merajuk ketika SMS lambat terbalas. Jauh beda dengan Rian yang gampang ngambek. Hingga terkesan tak memberikan waktu pada Dea sibuk dengan urusannya. Kalaupun hingga kini masih bertahan semata keluarga Rian telah datang melamar setahun sebelum Dea memilih jadi BMI.
Kini Dea terjerat, terkulai dalam kekaguman suara Nicol. Suara yang memberi sketsa atas kepribadian si pemilik. Ya, suara itu terkesan dewasa, pengertian, puitis dan enak di dengar. Dea menduga, Nicol pasti cowok cakep, gagah, tampan dan tidak memalukan jika kelak jalan bersamanya. Akankah dirinya dibiarkan hanyut dalam rasa yang semakin tak menentu? Ataukah di hindari saja, seorang cowok yang menjadi TKI Australi itu?. Begitu yang ia pikirkan seharian ini. Jika saja di dalam hati Dea belum ada sesosok kekasih yang bakal jadi pendampingnya kelak, tentu Dea tak sampai seresah itu. "Aku tak boleh menggaguminya. Tidak boleh''katanya dalam hati.
''Bintang, izinkan bulan sendirian malam ini. Tidakkah kau lihat, betapa malam ini sungguh pekat. Bulan tak kan bersinar malam ini. Enggan menyapa bumi''jawab Dea sambil menghempaskan tubuh kurusnya di atas ranjang. Di pandangnya langit-langit kamar yang hanya bisa dinikmati pada tengah malam. Ia satu-satunya saksi akan keresahanya akhir-akhir ini.
"Bulan, meski cahayaku tak seterang cahayamu, yakinlah kegelapan ini akan berlalu asal kau izinkan aku melangkah disampingmu''SMS Nicol semakin membuat pusing kepala gadis berambut pirang ini.
Dea kadang merasa tak sanggup jauh dari Rian. Godaan yang datang membuatnya sering patah arang. Sementara waktu, Dea memang masih sanggup menghancurkan semua godaan itu. Mempertahan kesetiaan meski harus bermandikan air mata. Tapi sampai kapan? sementara taburan bintang-bintang diangkasa begitu indah. Bersinar, berputar, dan menari gemulai dihadapannya. Sebagian bintang itu mengoda menggelilinginya, mengajaknya menikmati alam malam.
" Aku lelah''keluhnya pada tumpukan baju-baju yang selama ini dijadikan bantal. Lelah diburu, di hantui bahkan nyaris terhempas dalam perselingkuhan. Namun sejauh itu, Dea tetap ingin bertahan di Hong KOng yang telah ia tinggali selama tiga tahun. Sedikitpun tak ada rencana pulang tanah air sebelum asanya kesampaian. Ia ingin memiliki masa depan cemerlang. Menginggat gaji Rian sebagai PNS di kantor kecamatan tak dapat di andalkan.
Tapi sejak Nicol mengirimkan SMS salam perkenalan, bahkan beberapa kali mengontak, Hati Dea mulai berubah. Dea tergoda pada lelaki dalam bayangan. Seharian Dea bisa kebinggungan jika tak di telepon Nicol. Untungnya, Dea termasuk cewek yang pandai menyimpan perasaan. Ia tak pernah kirim SMS duluan. Apalagi nelepon. No Way! Ia tak mau buang buang pulsa, yang itu artinya juga buang buang uang.
"Bintang, usah usik diri ini. Telah ada bintang lain yang lebih indah dan lebih terang dari cahayamu. Hanya satu bintang yang aku pilih dalam hidup ini. Engkau tau, aku sangat bahagia bersamanya. Tak sedetikpun ia mengizinkan mendung bergelayut di depanku. Dan mengertilah bintang, tak kan ku ambil dua bintang dalam hatiku''
Terpaksa Dea mengucapkan kata itu. Menyadari Nicol semakin tak dapat memahaminya.
" Bulan tak mengapa kau pilih satu bintang dalam malammu. Tapi bagaimana dengan hatiku ini? aku terlanjur terpesona. Aku damai jika bisa bersamamu seperti ini. Jujur saja bulan, kuinginkan dirimu menjadi pendamping hidupku. Kau bisa menyinari alam luas ini. Tapi kenapa tak kau beri sinarmu yang indah itu untukku? aku membutuhkanmu bulan''
'' Bintang, angap saja diriku di takdirkan bukan untuk dimiliki. Apalagi olehmu. Met tidur'' setelah mengirim SMS itu Dea mematikan HP. Dea menyadari jika hal itu dibiarkan berlarut-larut maka bahaya akan datang menghempas kehidupannya.
Dea gadis cantik. Anak tunggal dari pasangan pegawai pemerintah. Pendidikan Dea juga bukan tergolong rendah untuk ukuran orang desa. Tetapi itu tadi, ingin lekas mandiri Dea milih merantau ke Hong Kong dari pada menyelesaikan pendidikanya di sebuah perguruan yang ada di kotanya. Sejak kecil, kedua orang tuanya mendidik Dea menjadi seorang gadis yang kuat, disiplin dan cerdas dalam berfikir. Soal berpakain juga demikian. Selalu diajari berpakaian rapi. Tak heran, jika sesampai di Hong Kong Dea tetap dengan gaya berpakaian yang demikian. Kaos ketat di padu celana panjang. Meski pakaiannya mayoritas -bahkan tidak -ada yang bermerk, tetapi gadis manis ini kelihatan seksi dengan baju-baju kesukaannya itu.
Siapapun yang memandangnya, jarang ada sepintas lalu. Apa yang ada dalam diri Dea menjadi magnet tersendiri. Bukan hanya kaum perempuan, kaum laki-lakipun bisa terpesona. Tak ketinggalan sang majikan laki-laki juga bersikap seperti kebanyakan tatapan yang lain. Sering didapatinya sedang mencuri-ciri pandang. Inilah salah satu yang membuat Dea berniat enyah dari tempat kerjanya. Karena bukan hanya sekali dua, si nyonya terbakar cemburu. Anehnya, Dea malah dipertahankan oleh nyonyanya itu. Alasan majikan perempuannya: Dea pintar onbai sikan, pai sam ke dan meng pak.Tutur kata Dea sangat lembut dan sopan. Meski murah senyum tak menghilangkan sifat Dea yang sebenarnya. Tegas.
***************
Nicol, cowok berhidung bangir ini kebinggungan. Sudah hampir seminggu cewek pujaannya mematikan HP. Ingin mengirim surat tak tahu alamat. Kirim Email, tak dibalas. Beberapa hari pikiranya kalut. Karena Dea tak bisa dihubungi, membuatnya tak betah berlama-lama di tempat kerjanya. Sebelum usai jam kerja, Nicol selalu terburu-buru pulang ke rumah kontrakan. Ia ingin lekas mandi, duduk diayunan sambil berandai-andai. Hobi baru yang memeras otak. Karena tipe cewek setia seperti Dea tidak mudah dijerat.
" Aku akan terus berusaha mendaptkanya. Harus!'' tekat Nicol.
Dalam seminggu sudah dua kali ia dapat teguran mandor kebun cokelat, tempat Nikol mengadu nasib. Nicol yang masih terpuruk oleh bayangan pengkhianatan calon istrinya tak hirau.
Nicol sendiri tak habis mengerti kenapa ia bisa jatuh cinta pada Dea. Padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Gambaran Dea pun tak pernah ia dapatkan. Yang ia raba dari pikiranya, Dea pasti gadis cantik yang enerjik, lembut, rada manja serta cerdas. Nyambung diajak ngobrol apapun. Makanya Nicol mati-matiin berusaha menjerat Dea. Karena cewek seperti Dea lah yang diyakini bisa membuatnya bahagia. '' Gila! gue bisa jatuh hati sama Dea''makinya dalam hati.
Mendapatkan Dea akan membuatnya berhenti mempermiankan cewek-cewek yang tergila-gila padanya. Ia akan berhenti memanfaatkan cewek-cewek itu sebagai pelampiasan rasa dendamnya terhadap kaum perempuan.Kelak jika berhasil mendapatkan cinta Dea, Nicol bersumpah tidak akan pernah menyakiti gadis itu. Semenitpun tak kan pernah ia tinggalkan. Kemanapun ia pergi, berharap Dea selalu menemaninya. Agar kejadian pertama tak terulang lagi.
Di buang pandangan matanya jauh-jauh menembus taman bunga di halaman rumah kontraknya.
Pohon-pohon di tepi jalan berjajar rapi, melambai di tiup angin. Semilir senja itu mampu membawa Nicol dalam lamunan panjang. Membayangkan Dea jadi miliknya. Ketika ia pulang kerja, istri cantik berambut panjang akan menyambutnya. Memberikan seuntai senyum pada dirinya. Tanpa sadar, tubuh Nicol tersandar lemah di ayunan. Matanya terpejam. Sementara sigaret yang ada di sela jari nya turut terjuntai ketanah.
***********************
Sendiri, Dea menikmati hangat mentari di tepi sungai Tai Po, New Territories East pada minggu itu. Ia sengaja meninggalkan rumah majikan lebih pagi dari biasanya. Menyelusuri Ting Kok Road sudah menjadi kebiasaan setiap ada masalah. Pun panoramanya tak seindah Star Ferry atau taman victory yang selalu penuh pekerja asing dari Indo. Tetapi di wilayah pedesaan ini mampu membuatnya tenang. Meski hanya memandang sekumpulan ikan-ikan, atau memperhatikan keramaian pasar yang dibangun diatas sungai berair jernih. Lalu lalang pejalan kaki memberi arti tersendiri.
" Tolong di hidupin hpnya dong''SMS dari Voni temanya nyasar ke nomor pribadi Dea. Voni sempat sewot dengan teman yang paling cantik dan super cuek ini. Beberapa hari nomor HPnya tak bisa dihubungi. Teman-teman sekomunitas sampai geger. Bagaimana tidak, dana untuk perlombaan menyambut HUTRI, seluruhnya di bawa Dea. Waktunya bayar sewa tempat, juga beli kebutuhan perlombaan. Karna ulah Dea, perlombaan gagal dilaksanakan digedung kota Wan Chai. Untungnya Dea disegani anggota komunitas Teratai Merah.
" Sorry deh, Von. Lagi ada masalah pribadi nih. Harap maklum deh''balas Dea. Yang tak lama kemudian menghidupkan hp satunya. " Ya ampun"pekik Dea. Sangking banyak SMS membuat memory HP nya penuh. Dibaca sekilas SMS itu satu persatu. Begitu ada nomor dari Nicol ia tertegun sesaat. Keningnya berkerut.
" Bulan. Dimana dirimu? kenapa kau pergi tanpa pamit padaku. Katakan bila aku bersalah padamu. Please bulan, jangan siksa diriku ini. Jangan kau redupkan cahaya hatiku.". Terabaikan! Sedikitpun tak ada niat membalas SMS itu.
'' Dea chayank. Apa yang telah terjadi padamu? Kenapa mematikan HP hinga berhari -hari lamanya? Apa Dea ada masalah?. Atau.,..tagihan telepon bengkak lagi?''SMS Rian membuat Dea tersenyum. Ia ingat, pernah mematikan HP gara-gara belum bayar tagihan telepon. Rian sampai rela mengirimkan uang dari Indo, takut tak bisa komunikasi. Kadang Rian memang begitu dewasa dan pengertian meski tak sepuitis Nicol. Tapi tak jarang jika penyakit manja Rian kambuh, Uhg... Dea pasti sueeebel setengah mati. Maklum, Rian anak bungsu dari 6 bersaudara.
Belum terbaca semua SMS, telepon tanpa nomor masuk. Begitu diangkat rupaya Nicol yang lagi kangen berat.
" Dea, elu kejam banget sich sama gue?''kata arek surabaya yang dibesarkan di kota metropolitan, Jakarta.
" Sorry Nic. Dea nggak ingin kita semakin jauh terhanyut di aliran fatamorgana. Kita belum saling kenal khan? tidakkah engkau khan berfikir. Apakah aku ini sama seperti yang ada dalam bayanganmu atau malah sebaliknya. Lagian Dea sudah punya calon suami. Dea tak ingin menodainya Nic. Marilah kita berhenti dan bangun dari rasa ini. Kita berteman saja. Kalau ingin menjadikan aku sebagai pacarmu, lebih baik aku mundur. Usah lagi kita berteman.''ungkap Dea panjang lebar. Berusaha dengan segala kekuatan menekan dan menyembunyikan perasaan.
Bagaimanapun juga Nicol memang sulit di kasih pengertian. Sekilas diawal kenal kesanya Nicol begitu memahaminya. Faktanya, semakin lama kepribadian Nicol terbuka dengan sendirinya. Angkuh, egois dan suka memaksakan kehendak orang lain. Rasa simpati yang ada dalam diri Dea perlahan memudar.
" Apapun keadaan elu, guwe bisa nerimanya. Gue gak peduli elu bekas pacarnya Rian. Gue ingin miliki elo, Dea''
" Nicol. Berfikir pakai otak dong. Andalkan logikamu.''. Dea sedikit bicara keras.
" Lusa gue mau beli teket berangkat ke Hong Kong. Akan gue buktiin. Selama ini gue nggak main-main'' ''Kamu jangan gila. And please, dont mike me be grazy. Tolong dong jangan ubah perasaanku jadi benci.''
" Soalnya elo gak mau ngerti dengan perasaan gue''
''Kamu yang nggak ngerti aku. Dah berapa kali kubilang aku sudah punya cowok''
Pertengkaran hampir saja meledak ketika tiba-tiba ada nada telepon masuk.
"Sorry Nic ada telepon masuk'' setelah berkata dengan ketus, Dea mematikan telepon dari Nicol.
" Yank, gimana khabarnya? kenapa yayank matiin telepon? ada masalah? aku mengkhawatirkan keadaan mu''suara Rian terdengar panik. Membuat Dea semakin merasa bersalah. Salah membiarkan hatinya menyukai seseorang selain dirinya. Salah membiarkan hatinya hanyut begitu saja.
" Mas, Dea ingin pulang''tiba-tiba Dea mengatakan hal itu tanpa menjawab pertanyaan pacarnya. Rian tersentak, meski hati berbunga. Dan Rian yakin, gadisnya pasti mendapat masalah.
" Katakan, ada masalah apa?''Meski bertanya seperti itu, tapi Rian bahagia mendegar kekasihnya tiba tiba ingin pulang. Baginya, Dea termasuk cewek yang keras kepala. Tak bisa di cegah atau dilarang jika punya kemauan. Dalam rangka cuti tahun lalu, Dea minta izin setahun lagi. Di larang bagaimanapun ia tetap berangkat. Sekarang baru setahun sudah ingin pulang.
" Dea nggak sanggup Mas. Ternyata cobaan ini lebih berat. Sangat berat jika dibandingkan pekerjaan yang Dea jalani. Mas jangan marah ya, jika Dea jujur''
''Katakan chayank. Dari dulu aku tak pernah marah padamu.''
" Dea hampir menyukai seseorang mas.''
Rian tersentak kaget. Seketika ia ingin marah. Tapi ia hanya mampu mengelus dada. Rian yakin, kekasihnya cewek yang tak mudah jatuh. Rian yakin itu. Tapi kenapa Dea tiba-tiba bilang meyukai seseorang. Siapa gerangan? tapi itu sudah tak penting untuk di ketahui oleh Rian. Ia malah berharap tak tahu siapa dan dimana gerangan orang yang di sukai Dea. Kalau boleh jujur, ia justru bersyukur. Tanpa dapat masalah itu, mustahil gadis ayu kekasihnya itu ingin segera pulang.
" Pulanglah Dea. Bukankah jalan menuju masa depan tinggal kita langkahi. Jalan itu sudah terbentang. Kiriman uang dari yayank sudah kubelikan sebuah toko. Dan sejak yayang kembali ke Hong Kong, toko itu sudah berfungsi. Keuntunganya sudah cukup untuk kehidupan kita, bahkan untuk anak anak kita nanti.''
''Benarkah?''
Nokia dan sony yang selama 3 tahun menemaninya kini melayang diatas sungai perbatasan Tai Po - Tai Wo. " Aku akan pulang''teriaknya tanpa sadar.
Just for An and An, 30 july 2007
Label:
Arsip Blog,
Cerita Cinta,
Cerita Pendek
KALA BULAN TERGODA
Oleh: Kristina Dian Safitry
'' Bulan, izinkan aku menemanimu. Ku ingin bersamamu mengusir kesunyian malam ini''.
Dea tersenyum membaca SMS dari sahabat udara yang baru dikenalnya sebulan lalu. Cowok itu memanggilnya Bulan. Dea memanggilnya Bintang.
Bagi gadis berlesung pipit ini, Nicol sungguh sangat nakal. Meski Dea sudah jujur punya kekasih di tanah air, Nicol tak mau peduli. Bahkan Dea mengatakan: akan menikah pada pertengahan september tahun ini. Tetapi cowok berkaca mata asal Surabaya itu tetap saja usil.
'' Bulan, kenapa kau diam? Lihatlah! Cahayaku semakin redup. Kurindukan sapamu, bulan''Dea ragu membalas SMS dari Nicol. Ketikan SMS yang hampir terkirim dibatalkan seketika. Seharian ini, sudah lebih dari sepuluh SMS yang di kirimkan kepadanya. Telepon tanpa nomor sampai rela tidak diangkatnya. Takut telepon itu dari Nicol.
" Biarpun hanya dalam angan biarkan aku menyayangmu. Izinkan aku mendengar suaramu. Itu sangat berarti bagiku. Malam tanpa bulan terasa sunyi sepi dan gulita. Entah kemana bulan. Hanya bintang yang setia berkelap kelip diangkasa. Tak mampu berbuat apa apa. Bintang menganggumi mu, tegakah kau melihat bintang merana?Oh my god, what is that mind all of these? Is it mistery of life?. ''rentetan SMS dari Nicol tak jua berakhir walau tak ada jawaban.
Dea yang bekerja pada tujuh anggota keluarga, berusaha menolak perasaanya. Mengantikan keresahan dengan memandang potret Rian, calon suaminya. Tapi tetap tak bisa mengubah rasa resah. Di akuinya, Nicol memiliki kelebihan jika dibandingkan Rian. Tidak manja. Tidak merajuk ketika SMS lambat terbalas. Jauh beda dengan Rian yang gampang ngambek. Hingga terkesan tak memberikan waktu pada Dea sibuk dengan urusannya. Kalaupun hingga kini masih bertahan semata keluarga Rian telah datang melamar setahun sebelum Dea memilih jadi BMI.
Kini Dea terjerat, terkulai dalam kekaguman suara Nicol. Suara yang memberi sketsa atas kepribadian si pemilik. Ya, suara itu terkesan dewasa, pengertian, puitis dan enak di dengar. Dea menduga, Nicol pasti cowok cakep, gagah, tampan dan tidak memalukan jika kelak jalan bersamanya. Akankah dirinya dibiarkan hanyut dalam rasa yang semakin tak menentu? Ataukah di hindari saja, seorang cowok yang menjadi TKI Australi itu?. Begitu yang ia pikirkan seharian ini. Jika saja di dalam hati Dea belum ada sesosok kekasih yang bakal jadi pendampingnya kelak, tentu Dea tak sampai seresah itu. "Aku tak boleh menggaguminya. Tidak boleh''katanya dalam hati.
''Bintang, izinkan bulan sendirian malam ini. Tidakkah kau lihat, betapa malam ini sungguh pekat. Bulan tak kan bersinar malam ini. Enggan menyapa bumi''jawab Dea sambil menghempaskan tubuh kurusnya di atas ranjang. Di pandangnya langit-langit kamar yang hanya bisa dinikmati pada tengah malam. Ia satu-satunya saksi akan keresahanya akhir-akhir ini.
"Bulan, meski cahayaku tak seterang cahayamu, yakinlah kegelapan ini akan berlalu asal kau izinkan aku melangkah disampingmu''SMS Nicol semakin membuat pusing kepala gadis berambut pirang ini.
Dea kadang merasa tak sanggup jauh dari Rian. Godaan yang datang membuatnya sering patah arang. Sementara waktu, Dea memang masih sanggup menghancurkan semua godaan itu. Mempertahan kesetiaan meski harus bermandikan air mata. Tapi sampai kapan? sementara taburan bintang-bintang diangkasa begitu indah. Bersinar, berputar, dan menari gemulai dihadapannya. Sebagian bintang itu mengoda menggelilinginya, mengajaknya menikmati alam malam.
" Aku lelah''keluhnya pada tumpukan baju-baju yang selama ini dijadikan bantal. Lelah diburu, di hantui bahkan nyaris terhempas dalam perselingkuhan. Namun sejauh itu, Dea tetap ingin bertahan di Hong KOng yang telah ia tinggali selama tiga tahun. Sedikitpun tak ada rencana pulang tanah air sebelum asanya kesampaian. Ia ingin memiliki masa depan cemerlang. Menginggat gaji Rian sebagai PNS di kantor kecamatan tak dapat di andalkan.
Tapi sejak Nicol mengirimkan SMS salam perkenalan, bahkan beberapa kali mengontak, Hati Dea mulai berubah. Dea tergoda pada lelaki dalam bayangan. Seharian Dea bisa kebinggungan jika tak di telepon Nicol. Untungnya, Dea termasuk cewek yang pandai menyimpan perasaan. Ia tak pernah kirim SMS duluan. Apalagi nelepon. No Way! Ia tak mau buang buang pulsa, yang itu artinya juga buang buang uang.
"Bintang, usah usik diri ini. Telah ada bintang lain yang lebih indah dan lebih terang dari cahayamu. Hanya satu bintang yang aku pilih dalam hidup ini. Engkau tau, aku sangat bahagia bersamanya. Tak sedetikpun ia mengizinkan mendung bergelayut di depanku. Dan mengertilah bintang, tak kan ku ambil dua bintang dalam hatiku''
Terpaksa Dea mengucapkan kata itu. Menyadari Nicol semakin tak dapat memahaminya.
" Bulan tak mengapa kau pilih satu bintang dalam malammu. Tapi bagaimana dengan hatiku ini? aku terlanjur terpesona. Aku damai jika bisa bersamamu seperti ini. Jujur saja bulan, kuinginkan dirimu menjadi pendamping hidupku. Kau bisa menyinari alam luas ini. Tapi kenapa tak kau beri sinarmu yang indah itu untukku? aku membutuhkanmu bulan''
'' Bintang, angap saja diriku di takdirkan bukan untuk dimiliki. Apalagi olehmu. Met tidur'' setelah mengirim SMS itu Dea mematikan HP. Dea menyadari jika hal itu dibiarkan berlarut-larut maka bahaya akan datang menghempas kehidupannya.
Dea gadis cantik. Anak tunggal dari pasangan pegawai pemerintah. Pendidikan Dea juga bukan tergolong rendah untuk ukuran orang desa. Tetapi itu tadi, ingin lekas mandiri Dea milih merantau ke Hong Kong dari pada menyelesaikan pendidikanya di sebuah perguruan yang ada di kotanya. Sejak kecil, kedua orang tuanya mendidik Dea menjadi seorang gadis yang kuat, disiplin dan cerdas dalam berfikir. Soal berpakain juga demikian. Selalu diajari berpakaian rapi. Tak heran, jika sesampai di Hong Kong Dea tetap dengan gaya berpakaian yang demikian. Kaos ketat di padu celana panjang. Meski pakaiannya mayoritas -bahkan tidak -ada yang bermerk, tetapi gadis manis ini kelihatan seksi dengan baju-baju kesukaannya itu.
Siapapun yang memandangnya, jarang ada sepintas lalu. Apa yang ada dalam diri Dea menjadi magnet tersendiri. Bukan hanya kaum perempuan, kaum laki-lakipun bisa terpesona. Tak ketinggalan sang majikan laki-laki juga bersikap seperti kebanyakan tatapan yang lain. Sering didapatinya sedang mencuri-ciri pandang. Inilah salah satu yang membuat Dea berniat enyah dari tempat kerjanya. Karena bukan hanya sekali dua, si nyonya terbakar cemburu. Anehnya, Dea malah dipertahankan oleh nyonyanya itu. Alasan majikan perempuannya: Dea pintar onbai sikan, pai sam ke dan meng pak.Tutur kata Dea sangat lembut dan sopan. Meski murah senyum tak menghilangkan sifat Dea yang sebenarnya. Tegas.
***************
Nicol, cowok berhidung bangir ini kebinggungan. Sudah hampir seminggu cewek pujaannya mematikan HP. Ingin mengirim surat tak tahu alamat. Kirim Email, tak dibalas. Beberapa hari pikiranya kalut. Karena Dea tak bisa dihubungi, membuatnya tak betah berlama-lama di tempat kerjanya. Sebelum usai jam kerja, Nicol selalu terburu-buru pulang ke rumah kontrakan. Ia ingin lekas mandi, duduk diayunan sambil berandai-andai. Hobi baru yang memeras otak. Karena tipe cewek setia seperti Dea tidak mudah dijerat.
" Aku akan terus berusaha mendaptkanya. Harus!'' tekat Nicol.
Dalam seminggu sudah dua kali ia dapat teguran mandor kebun cokelat, tempat Nikol mengadu nasib. Nicol yang masih terpuruk oleh bayangan pengkhianatan calon istrinya tak hirau.
Nicol sendiri tak habis mengerti kenapa ia bisa jatuh cinta pada Dea. Padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Gambaran Dea pun tak pernah ia dapatkan. Yang ia raba dari pikiranya, Dea pasti gadis cantik yang enerjik, lembut, rada manja serta cerdas. Nyambung diajak ngobrol apapun. Makanya Nicol mati-matiin berusaha menjerat Dea. Karena cewek seperti Dea lah yang diyakini bisa membuatnya bahagia. '' Gila! gue bisa jatuh hati sama Dea''makinya dalam hati.
Mendapatkan Dea akan membuatnya berhenti mempermiankan cewek-cewek yang tergila-gila padanya. Ia akan berhenti memanfaatkan cewek-cewek itu sebagai pelampiasan rasa dendamnya terhadap kaum perempuan.Kelak jika berhasil mendapatkan cinta Dea, Nicol bersumpah tidak akan pernah menyakiti gadis itu. Semenitpun tak kan pernah ia tinggalkan. Kemanapun ia pergi, berharap Dea selalu menemaninya. Agar kejadian pertama tak terulang lagi.
Di buang pandangan matanya jauh-jauh menembus taman bunga di halaman rumah kontraknya.
Pohon-pohon di tepi jalan berjajar rapi, melambai di tiup angin. Semilir senja itu mampu membawa Nicol dalam lamunan panjang. Membayangkan Dea jadi miliknya. Ketika ia pulang kerja, istri cantik berambut panjang akan menyambutnya. Memberikan seuntai senyum pada dirinya. Tanpa sadar, tubuh Nicol tersandar lemah di ayunan. Matanya terpejam. Sementara sigaret yang ada di sela jari nya turut terjuntai ketanah.
***********************
Sendiri, Dea menikmati hangat mentari di tepi sungai Tai Po, New Territories East pada minggu itu. Ia sengaja meninggalkan rumah majikan lebih pagi dari biasanya. Menyelusuri Ting Kok Road sudah menjadi kebiasaan setiap ada masalah. Pun panoramanya tak seindah Star Ferry atau taman victory yang selalu penuh pekerja asing dari Indo. Tetapi di wilayah pedesaan ini mampu membuatnya tenang. Meski hanya memandang sekumpulan ikan-ikan, atau memperhatikan keramaian pasar yang dibangun diatas sungai berair jernih. Lalu lalang pejalan kaki memberi arti tersendiri.
" Tolong di hidupin hpnya dong''SMS dari Voni temanya nyasar ke nomor pribadi Dea. Voni sempat sewot dengan teman yang paling cantik dan super cuek ini. Beberapa hari nomor HPnya tak bisa dihubungi. Teman-teman sekomunitas sampai geger. Bagaimana tidak, dana untuk perlombaan menyambut HUTRI, seluruhnya di bawa Dea. Waktunya bayar sewa tempat, juga beli kebutuhan perlombaan. Karna ulah Dea, perlombaan gagal dilaksanakan digedung kota Wan Chai. Untungnya Dea disegani anggota komunitas Teratai Merah.
" Sorry deh, Von. Lagi ada masalah pribadi nih. Harap maklum deh''balas Dea. Yang tak lama kemudian menghidupkan hp satunya. " Ya ampun"pekik Dea. Sangking banyak SMS membuat memory HP nya penuh. Dibaca sekilas SMS itu satu persatu. Begitu ada nomor dari Nicol ia tertegun sesaat. Keningnya berkerut.
" Bulan. Dimana dirimu? kenapa kau pergi tanpa pamit padaku. Katakan bila aku bersalah padamu. Please bulan, jangan siksa diriku ini. Jangan kau redupkan cahaya hatiku.". Terabaikan! Sedikitpun tak ada niat membalas SMS itu.
'' Dea chayank. Apa yang telah terjadi padamu? Kenapa mematikan HP hinga berhari -hari lamanya? Apa Dea ada masalah?. Atau.,..tagihan telepon bengkak lagi?''SMS Rian membuat Dea tersenyum. Ia ingat, pernah mematikan HP gara-gara belum bayar tagihan telepon. Rian sampai rela mengirimkan uang dari Indo, takut tak bisa komunikasi. Kadang Rian memang begitu dewasa dan pengertian meski tak sepuitis Nicol. Tapi tak jarang jika penyakit manja Rian kambuh, Uhg... Dea pasti sueeebel setengah mati. Maklum, Rian anak bungsu dari 6 bersaudara.
Belum terbaca semua SMS, telepon tanpa nomor masuk. Begitu diangkat rupaya Nicol yang lagi kangen berat.
" Dea, elu kejam banget sich sama gue?''kata arek surabaya yang dibesarkan di kota metropolitan, Jakarta.
" Sorry Nic. Dea nggak ingin kita semakin jauh terhanyut di aliran fatamorgana. Kita belum saling kenal khan? tidakkah engkau khan berfikir. Apakah aku ini sama seperti yang ada dalam bayanganmu atau malah sebaliknya. Lagian Dea sudah punya calon suami. Dea tak ingin menodainya Nic. Marilah kita berhenti dan bangun dari rasa ini. Kita berteman saja. Kalau ingin menjadikan aku sebagai pacarmu, lebih baik aku mundur. Usah lagi kita berteman.''ungkap Dea panjang lebar. Berusaha dengan segala kekuatan menekan dan menyembunyikan perasaan.
Bagaimanapun juga Nicol memang sulit di kasih pengertian. Sekilas diawal kenal kesanya Nicol begitu memahaminya. Faktanya, semakin lama kepribadian Nicol terbuka dengan sendirinya. Angkuh, egois dan suka memaksakan kehendak orang lain. Rasa simpati yang ada dalam diri Dea perlahan memudar.
" Apapun keadaan elu, guwe bisa nerimanya. Gue gak peduli elu bekas pacarnya Rian. Gue ingin miliki elo, Dea''
" Nicol. Berfikir pakai otak dong. Andalkan logikamu.''. Dea sedikit bicara keras.
" Lusa gue mau beli teket berangkat ke Hong Kong. Akan gue buktiin. Selama ini gue nggak main-main'' ''Kamu jangan gila. And please, dont mike me be grazy. Tolong dong jangan ubah perasaanku jadi benci.''
" Soalnya elo gak mau ngerti dengan perasaan gue''
''Kamu yang nggak ngerti aku. Dah berapa kali kubilang aku sudah punya cowok''
Pertengkaran hampir saja meledak ketika tiba-tiba ada nada telepon masuk.
"Sorry Nic ada telepon masuk'' setelah berkata dengan ketus, Dea mematikan telepon dari Nicol.
" Yank, gimana khabarnya? kenapa yayank matiin telepon? ada masalah? aku mengkhawatirkan keadaan mu''suara Rian terdengar panik. Membuat Dea semakin merasa bersalah. Salah membiarkan hatinya menyukai seseorang selain dirinya. Salah membiarkan hatinya hanyut begitu saja.
" Mas, Dea ingin pulang''tiba-tiba Dea mengatakan hal itu tanpa menjawab pertanyaan pacarnya. Rian tersentak, meski hati berbunga. Dan Rian yakin, gadisnya pasti mendapat masalah.
" Katakan, ada masalah apa?''Meski bertanya seperti itu, tapi Rian bahagia mendegar kekasihnya tiba tiba ingin pulang. Baginya, Dea termasuk cewek yang keras kepala. Tak bisa di cegah atau dilarang jika punya kemauan. Dalam rangka cuti tahun lalu, Dea minta izin setahun lagi. Di larang bagaimanapun ia tetap berangkat. Sekarang baru setahun sudah ingin pulang.
" Dea nggak sanggup Mas. Ternyata cobaan ini lebih berat. Sangat berat jika dibandingkan pekerjaan yang Dea jalani. Mas jangan marah ya, jika Dea jujur''
''Katakan chayank. Dari dulu aku tak pernah marah padamu.''
" Dea hampir menyukai seseorang mas.''
Rian tersentak kaget. Seketika ia ingin marah. Tapi ia hanya mampu mengelus dada. Rian yakin, kekasihnya cewek yang tak mudah jatuh. Rian yakin itu. Tapi kenapa Dea tiba-tiba bilang meyukai seseorang. Siapa gerangan? tapi itu sudah tak penting untuk di ketahui oleh Rian. Ia malah berharap tak tahu siapa dan dimana gerangan orang yang di sukai Dea. Kalau boleh jujur, ia justru bersyukur. Tanpa dapat masalah itu, mustahil gadis ayu kekasihnya itu ingin segera pulang.
" Pulanglah Dea. Bukankah jalan menuju masa depan tinggal kita langkahi. Jalan itu sudah terbentang. Kiriman uang dari yayank sudah kubelikan sebuah toko. Dan sejak yayang kembali ke Hong Kong, toko itu sudah berfungsi. Keuntunganya sudah cukup untuk kehidupan kita, bahkan untuk anak anak kita nanti.''
''Benarkah?''
Nokia dan sony yang selama 3 tahun menemaninya kini melayang diatas sungai perbatasan Tai Po - Tai Wo. " Aku akan pulang''teriaknya tanpa sadar.
Just for An and An, 30 july 2007
'' Bulan, izinkan aku menemanimu. Ku ingin bersamamu mengusir kesunyian malam ini''.
Dea tersenyum membaca SMS dari sahabat udara yang baru dikenalnya sebulan lalu. Cowok itu memanggilnya Bulan. Dea memanggilnya Bintang.
Bagi gadis berlesung pipit ini, Nicol sungguh sangat nakal. Meski Dea sudah jujur punya kekasih di tanah air, Nicol tak mau peduli. Bahkan Dea mengatakan: akan menikah pada pertengahan september tahun ini. Tetapi cowok berkaca mata asal Surabaya itu tetap saja usil.
'' Bulan, kenapa kau diam? Lihatlah! Cahayaku semakin redup. Kurindukan sapamu, bulan''Dea ragu membalas SMS dari Nicol. Ketikan SMS yang hampir terkirim dibatalkan seketika. Seharian ini, sudah lebih dari sepuluh SMS yang di kirimkan kepadanya. Telepon tanpa nomor sampai rela tidak diangkatnya. Takut telepon itu dari Nicol.
" Biarpun hanya dalam angan biarkan aku menyayangmu. Izinkan aku mendengar suaramu. Itu sangat berarti bagiku. Malam tanpa bulan terasa sunyi sepi dan gulita. Entah kemana bulan. Hanya bintang yang setia berkelap kelip diangkasa. Tak mampu berbuat apa apa. Bintang menganggumi mu, tegakah kau melihat bintang merana?Oh my god, what is that mind all of these? Is it mistery of life?. ''rentetan SMS dari Nicol tak jua berakhir walau tak ada jawaban.
Dea yang bekerja pada tujuh anggota keluarga, berusaha menolak perasaanya. Mengantikan keresahan dengan memandang potret Rian, calon suaminya. Tapi tetap tak bisa mengubah rasa resah. Di akuinya, Nicol memiliki kelebihan jika dibandingkan Rian. Tidak manja. Tidak merajuk ketika SMS lambat terbalas. Jauh beda dengan Rian yang gampang ngambek. Hingga terkesan tak memberikan waktu pada Dea sibuk dengan urusannya. Kalaupun hingga kini masih bertahan semata keluarga Rian telah datang melamar setahun sebelum Dea memilih jadi BMI.
Kini Dea terjerat, terkulai dalam kekaguman suara Nicol. Suara yang memberi sketsa atas kepribadian si pemilik. Ya, suara itu terkesan dewasa, pengertian, puitis dan enak di dengar. Dea menduga, Nicol pasti cowok cakep, gagah, tampan dan tidak memalukan jika kelak jalan bersamanya. Akankah dirinya dibiarkan hanyut dalam rasa yang semakin tak menentu? Ataukah di hindari saja, seorang cowok yang menjadi TKI Australi itu?. Begitu yang ia pikirkan seharian ini. Jika saja di dalam hati Dea belum ada sesosok kekasih yang bakal jadi pendampingnya kelak, tentu Dea tak sampai seresah itu. "Aku tak boleh menggaguminya. Tidak boleh''katanya dalam hati.
''Bintang, izinkan bulan sendirian malam ini. Tidakkah kau lihat, betapa malam ini sungguh pekat. Bulan tak kan bersinar malam ini. Enggan menyapa bumi''jawab Dea sambil menghempaskan tubuh kurusnya di atas ranjang. Di pandangnya langit-langit kamar yang hanya bisa dinikmati pada tengah malam. Ia satu-satunya saksi akan keresahanya akhir-akhir ini.
"Bulan, meski cahayaku tak seterang cahayamu, yakinlah kegelapan ini akan berlalu asal kau izinkan aku melangkah disampingmu''SMS Nicol semakin membuat pusing kepala gadis berambut pirang ini.
Dea kadang merasa tak sanggup jauh dari Rian. Godaan yang datang membuatnya sering patah arang. Sementara waktu, Dea memang masih sanggup menghancurkan semua godaan itu. Mempertahan kesetiaan meski harus bermandikan air mata. Tapi sampai kapan? sementara taburan bintang-bintang diangkasa begitu indah. Bersinar, berputar, dan menari gemulai dihadapannya. Sebagian bintang itu mengoda menggelilinginya, mengajaknya menikmati alam malam.
" Aku lelah''keluhnya pada tumpukan baju-baju yang selama ini dijadikan bantal. Lelah diburu, di hantui bahkan nyaris terhempas dalam perselingkuhan. Namun sejauh itu, Dea tetap ingin bertahan di Hong KOng yang telah ia tinggali selama tiga tahun. Sedikitpun tak ada rencana pulang tanah air sebelum asanya kesampaian. Ia ingin memiliki masa depan cemerlang. Menginggat gaji Rian sebagai PNS di kantor kecamatan tak dapat di andalkan.
Tapi sejak Nicol mengirimkan SMS salam perkenalan, bahkan beberapa kali mengontak, Hati Dea mulai berubah. Dea tergoda pada lelaki dalam bayangan. Seharian Dea bisa kebinggungan jika tak di telepon Nicol. Untungnya, Dea termasuk cewek yang pandai menyimpan perasaan. Ia tak pernah kirim SMS duluan. Apalagi nelepon. No Way! Ia tak mau buang buang pulsa, yang itu artinya juga buang buang uang.
"Bintang, usah usik diri ini. Telah ada bintang lain yang lebih indah dan lebih terang dari cahayamu. Hanya satu bintang yang aku pilih dalam hidup ini. Engkau tau, aku sangat bahagia bersamanya. Tak sedetikpun ia mengizinkan mendung bergelayut di depanku. Dan mengertilah bintang, tak kan ku ambil dua bintang dalam hatiku''
Terpaksa Dea mengucapkan kata itu. Menyadari Nicol semakin tak dapat memahaminya.
" Bulan tak mengapa kau pilih satu bintang dalam malammu. Tapi bagaimana dengan hatiku ini? aku terlanjur terpesona. Aku damai jika bisa bersamamu seperti ini. Jujur saja bulan, kuinginkan dirimu menjadi pendamping hidupku. Kau bisa menyinari alam luas ini. Tapi kenapa tak kau beri sinarmu yang indah itu untukku? aku membutuhkanmu bulan''
'' Bintang, angap saja diriku di takdirkan bukan untuk dimiliki. Apalagi olehmu. Met tidur'' setelah mengirim SMS itu Dea mematikan HP. Dea menyadari jika hal itu dibiarkan berlarut-larut maka bahaya akan datang menghempas kehidupannya.
Dea gadis cantik. Anak tunggal dari pasangan pegawai pemerintah. Pendidikan Dea juga bukan tergolong rendah untuk ukuran orang desa. Tetapi itu tadi, ingin lekas mandiri Dea milih merantau ke Hong Kong dari pada menyelesaikan pendidikanya di sebuah perguruan yang ada di kotanya. Sejak kecil, kedua orang tuanya mendidik Dea menjadi seorang gadis yang kuat, disiplin dan cerdas dalam berfikir. Soal berpakain juga demikian. Selalu diajari berpakaian rapi. Tak heran, jika sesampai di Hong Kong Dea tetap dengan gaya berpakaian yang demikian. Kaos ketat di padu celana panjang. Meski pakaiannya mayoritas -bahkan tidak -ada yang bermerk, tetapi gadis manis ini kelihatan seksi dengan baju-baju kesukaannya itu.
Siapapun yang memandangnya, jarang ada sepintas lalu. Apa yang ada dalam diri Dea menjadi magnet tersendiri. Bukan hanya kaum perempuan, kaum laki-lakipun bisa terpesona. Tak ketinggalan sang majikan laki-laki juga bersikap seperti kebanyakan tatapan yang lain. Sering didapatinya sedang mencuri-ciri pandang. Inilah salah satu yang membuat Dea berniat enyah dari tempat kerjanya. Karena bukan hanya sekali dua, si nyonya terbakar cemburu. Anehnya, Dea malah dipertahankan oleh nyonyanya itu. Alasan majikan perempuannya: Dea pintar onbai sikan, pai sam ke dan meng pak.Tutur kata Dea sangat lembut dan sopan. Meski murah senyum tak menghilangkan sifat Dea yang sebenarnya. Tegas.
***************
Nicol, cowok berhidung bangir ini kebinggungan. Sudah hampir seminggu cewek pujaannya mematikan HP. Ingin mengirim surat tak tahu alamat. Kirim Email, tak dibalas. Beberapa hari pikiranya kalut. Karena Dea tak bisa dihubungi, membuatnya tak betah berlama-lama di tempat kerjanya. Sebelum usai jam kerja, Nicol selalu terburu-buru pulang ke rumah kontrakan. Ia ingin lekas mandi, duduk diayunan sambil berandai-andai. Hobi baru yang memeras otak. Karena tipe cewek setia seperti Dea tidak mudah dijerat.
" Aku akan terus berusaha mendaptkanya. Harus!'' tekat Nicol.
Dalam seminggu sudah dua kali ia dapat teguran mandor kebun cokelat, tempat Nikol mengadu nasib. Nicol yang masih terpuruk oleh bayangan pengkhianatan calon istrinya tak hirau.
Nicol sendiri tak habis mengerti kenapa ia bisa jatuh cinta pada Dea. Padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Gambaran Dea pun tak pernah ia dapatkan. Yang ia raba dari pikiranya, Dea pasti gadis cantik yang enerjik, lembut, rada manja serta cerdas. Nyambung diajak ngobrol apapun. Makanya Nicol mati-matiin berusaha menjerat Dea. Karena cewek seperti Dea lah yang diyakini bisa membuatnya bahagia. '' Gila! gue bisa jatuh hati sama Dea''makinya dalam hati.
Mendapatkan Dea akan membuatnya berhenti mempermiankan cewek-cewek yang tergila-gila padanya. Ia akan berhenti memanfaatkan cewek-cewek itu sebagai pelampiasan rasa dendamnya terhadap kaum perempuan.Kelak jika berhasil mendapatkan cinta Dea, Nicol bersumpah tidak akan pernah menyakiti gadis itu. Semenitpun tak kan pernah ia tinggalkan. Kemanapun ia pergi, berharap Dea selalu menemaninya. Agar kejadian pertama tak terulang lagi.
Di buang pandangan matanya jauh-jauh menembus taman bunga di halaman rumah kontraknya.
Pohon-pohon di tepi jalan berjajar rapi, melambai di tiup angin. Semilir senja itu mampu membawa Nicol dalam lamunan panjang. Membayangkan Dea jadi miliknya. Ketika ia pulang kerja, istri cantik berambut panjang akan menyambutnya. Memberikan seuntai senyum pada dirinya. Tanpa sadar, tubuh Nicol tersandar lemah di ayunan. Matanya terpejam. Sementara sigaret yang ada di sela jari nya turut terjuntai ketanah.
***********************
Sendiri, Dea menikmati hangat mentari di tepi sungai Tai Po, New Territories East pada minggu itu. Ia sengaja meninggalkan rumah majikan lebih pagi dari biasanya. Menyelusuri Ting Kok Road sudah menjadi kebiasaan setiap ada masalah. Pun panoramanya tak seindah Star Ferry atau taman victory yang selalu penuh pekerja asing dari Indo. Tetapi di wilayah pedesaan ini mampu membuatnya tenang. Meski hanya memandang sekumpulan ikan-ikan, atau memperhatikan keramaian pasar yang dibangun diatas sungai berair jernih. Lalu lalang pejalan kaki memberi arti tersendiri.
" Tolong di hidupin hpnya dong''SMS dari Voni temanya nyasar ke nomor pribadi Dea. Voni sempat sewot dengan teman yang paling cantik dan super cuek ini. Beberapa hari nomor HPnya tak bisa dihubungi. Teman-teman sekomunitas sampai geger. Bagaimana tidak, dana untuk perlombaan menyambut HUTRI, seluruhnya di bawa Dea. Waktunya bayar sewa tempat, juga beli kebutuhan perlombaan. Karna ulah Dea, perlombaan gagal dilaksanakan digedung kota Wan Chai. Untungnya Dea disegani anggota komunitas Teratai Merah.
" Sorry deh, Von. Lagi ada masalah pribadi nih. Harap maklum deh''balas Dea. Yang tak lama kemudian menghidupkan hp satunya. " Ya ampun"pekik Dea. Sangking banyak SMS membuat memory HP nya penuh. Dibaca sekilas SMS itu satu persatu. Begitu ada nomor dari Nicol ia tertegun sesaat. Keningnya berkerut.
" Bulan. Dimana dirimu? kenapa kau pergi tanpa pamit padaku. Katakan bila aku bersalah padamu. Please bulan, jangan siksa diriku ini. Jangan kau redupkan cahaya hatiku.". Terabaikan! Sedikitpun tak ada niat membalas SMS itu.
'' Dea chayank. Apa yang telah terjadi padamu? Kenapa mematikan HP hinga berhari -hari lamanya? Apa Dea ada masalah?. Atau.,..tagihan telepon bengkak lagi?''SMS Rian membuat Dea tersenyum. Ia ingat, pernah mematikan HP gara-gara belum bayar tagihan telepon. Rian sampai rela mengirimkan uang dari Indo, takut tak bisa komunikasi. Kadang Rian memang begitu dewasa dan pengertian meski tak sepuitis Nicol. Tapi tak jarang jika penyakit manja Rian kambuh, Uhg... Dea pasti sueeebel setengah mati. Maklum, Rian anak bungsu dari 6 bersaudara.
Belum terbaca semua SMS, telepon tanpa nomor masuk. Begitu diangkat rupaya Nicol yang lagi kangen berat.
" Dea, elu kejam banget sich sama gue?''kata arek surabaya yang dibesarkan di kota metropolitan, Jakarta.
" Sorry Nic. Dea nggak ingin kita semakin jauh terhanyut di aliran fatamorgana. Kita belum saling kenal khan? tidakkah engkau khan berfikir. Apakah aku ini sama seperti yang ada dalam bayanganmu atau malah sebaliknya. Lagian Dea sudah punya calon suami. Dea tak ingin menodainya Nic. Marilah kita berhenti dan bangun dari rasa ini. Kita berteman saja. Kalau ingin menjadikan aku sebagai pacarmu, lebih baik aku mundur. Usah lagi kita berteman.''ungkap Dea panjang lebar. Berusaha dengan segala kekuatan menekan dan menyembunyikan perasaan.
Bagaimanapun juga Nicol memang sulit di kasih pengertian. Sekilas diawal kenal kesanya Nicol begitu memahaminya. Faktanya, semakin lama kepribadian Nicol terbuka dengan sendirinya. Angkuh, egois dan suka memaksakan kehendak orang lain. Rasa simpati yang ada dalam diri Dea perlahan memudar.
" Apapun keadaan elu, guwe bisa nerimanya. Gue gak peduli elu bekas pacarnya Rian. Gue ingin miliki elo, Dea''
" Nicol. Berfikir pakai otak dong. Andalkan logikamu.''. Dea sedikit bicara keras.
" Lusa gue mau beli teket berangkat ke Hong Kong. Akan gue buktiin. Selama ini gue nggak main-main'' ''Kamu jangan gila. And please, dont mike me be grazy. Tolong dong jangan ubah perasaanku jadi benci.''
" Soalnya elo gak mau ngerti dengan perasaan gue''
''Kamu yang nggak ngerti aku. Dah berapa kali kubilang aku sudah punya cowok''
Pertengkaran hampir saja meledak ketika tiba-tiba ada nada telepon masuk.
"Sorry Nic ada telepon masuk'' setelah berkata dengan ketus, Dea mematikan telepon dari Nicol.
" Yank, gimana khabarnya? kenapa yayank matiin telepon? ada masalah? aku mengkhawatirkan keadaan mu''suara Rian terdengar panik. Membuat Dea semakin merasa bersalah. Salah membiarkan hatinya menyukai seseorang selain dirinya. Salah membiarkan hatinya hanyut begitu saja.
" Mas, Dea ingin pulang''tiba-tiba Dea mengatakan hal itu tanpa menjawab pertanyaan pacarnya. Rian tersentak, meski hati berbunga. Dan Rian yakin, gadisnya pasti mendapat masalah.
" Katakan, ada masalah apa?''Meski bertanya seperti itu, tapi Rian bahagia mendegar kekasihnya tiba tiba ingin pulang. Baginya, Dea termasuk cewek yang keras kepala. Tak bisa di cegah atau dilarang jika punya kemauan. Dalam rangka cuti tahun lalu, Dea minta izin setahun lagi. Di larang bagaimanapun ia tetap berangkat. Sekarang baru setahun sudah ingin pulang.
" Dea nggak sanggup Mas. Ternyata cobaan ini lebih berat. Sangat berat jika dibandingkan pekerjaan yang Dea jalani. Mas jangan marah ya, jika Dea jujur''
''Katakan chayank. Dari dulu aku tak pernah marah padamu.''
" Dea hampir menyukai seseorang mas.''
Rian tersentak kaget. Seketika ia ingin marah. Tapi ia hanya mampu mengelus dada. Rian yakin, kekasihnya cewek yang tak mudah jatuh. Rian yakin itu. Tapi kenapa Dea tiba-tiba bilang meyukai seseorang. Siapa gerangan? tapi itu sudah tak penting untuk di ketahui oleh Rian. Ia malah berharap tak tahu siapa dan dimana gerangan orang yang di sukai Dea. Kalau boleh jujur, ia justru bersyukur. Tanpa dapat masalah itu, mustahil gadis ayu kekasihnya itu ingin segera pulang.
" Pulanglah Dea. Bukankah jalan menuju masa depan tinggal kita langkahi. Jalan itu sudah terbentang. Kiriman uang dari yayank sudah kubelikan sebuah toko. Dan sejak yayang kembali ke Hong Kong, toko itu sudah berfungsi. Keuntunganya sudah cukup untuk kehidupan kita, bahkan untuk anak anak kita nanti.''
''Benarkah?''
Nokia dan sony yang selama 3 tahun menemaninya kini melayang diatas sungai perbatasan Tai Po - Tai Wo. " Aku akan pulang''teriaknya tanpa sadar.
Just for An and An, 30 july 2007
Label:
Arsip Blog,
Cerita Cinta,
Cerita Pendek
Rabu, 13 Februari 2008
CAHAYA DIAN
Aku terlahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara. disalah satu dusun, wilayah Malang Jawa Timur. Keluargaku biasa biasa saja, tetapi cukup disegani masyarakat sekitar. Ayahku seorang ustad, meski ibuku keturunan Nasrani. Bnyak hal yang diajarkan ayah dan bunda dalam menyikapi arti hidup, meski kelak aku tak lagi menjadi tanggung jawab mereka. Kata ayah: hidup adalah perjuangan. dan kata ayah lagi, bahwa tak semua orang bisa memaknai arti sepenggal kata ini. itulah yang kemudian, banyak orang yang mengeluh karena kehidupan.
Ayah mendidikku menjadi seorang yang pemberani. dalam arti aku tak boleh takut gelap *he..he..dulu aku memang takut yang namanya gelap*. arti gelap yang ayah maksud adalah: gelap dalam kehidupan, gelap dalam pemikiran karena pesoalan. untuk itu, ayah selalu mengajarkan kepadaku, untuk menyiapkan lentera hati, seselit apapun hidup ini. dan lentera itu harus dijaga agar tetap menyala.
jika kita memiliki lentera hati, maka dengan lentera itu kita akan mampu menerangi jiwa jiwa suram disekitar kita. ah, apa yang kitakan ayah memang benar. adakalanya kita bertemu ddengan manusia manusia yang tak memiliki lentera dalam hatinya. jika sudah demikian, maka orang itu akan mudah terjatuh kepada rasa iri, dengki dan tidak suka akan kebahagiaan orang lain. lalu, apakah kita akan menghindari jiwa2 yang demikian? ketetapan hati ada pada kita masing masing. apakah kita akan membiarkan ataukah kita akan memberikan separuh cahaya dalam diri kita untuk membuat orang itu memiliki lentera. apakah karena ini, ayah dan bunda kemudian memberiku nama Dian?aku tak tahu,karena aku tak pernah bertanya.
Ayah mendidikku menjadi seorang yang pemberani. dalam arti aku tak boleh takut gelap *he..he..dulu aku memang takut yang namanya gelap*. arti gelap yang ayah maksud adalah: gelap dalam kehidupan, gelap dalam pemikiran karena pesoalan. untuk itu, ayah selalu mengajarkan kepadaku, untuk menyiapkan lentera hati, seselit apapun hidup ini. dan lentera itu harus dijaga agar tetap menyala.
jika kita memiliki lentera hati, maka dengan lentera itu kita akan mampu menerangi jiwa jiwa suram disekitar kita. ah, apa yang kitakan ayah memang benar. adakalanya kita bertemu ddengan manusia manusia yang tak memiliki lentera dalam hatinya. jika sudah demikian, maka orang itu akan mudah terjatuh kepada rasa iri, dengki dan tidak suka akan kebahagiaan orang lain. lalu, apakah kita akan menghindari jiwa2 yang demikian? ketetapan hati ada pada kita masing masing. apakah kita akan membiarkan ataukah kita akan memberikan separuh cahaya dalam diri kita untuk membuat orang itu memiliki lentera. apakah karena ini, ayah dan bunda kemudian memberiku nama Dian?aku tak tahu,karena aku tak pernah bertanya.
CAHAYA DIAN
Aku terlahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara. disalah satu dusun, wilayah Malang Jawa Timur. Keluargaku biasa biasa saja, tetapi cukup disegani masyarakat sekitar. Ayahku seorang ustad, meski ibuku keturunan Nasrani. Bnyak hal yang diajarkan ayah dan bunda dalam menyikapi arti hidup, meski kelak aku tak lagi menjadi tanggung jawab mereka. Kata ayah: hidup adalah perjuangan. dan kata ayah lagi, bahwa tak semua orang bisa memaknai arti sepenggal kata ini. itulah yang kemudian, banyak orang yang mengeluh karena kehidupan.
Ayah mendidikku menjadi seorang yang pemberani. dalam arti aku tak boleh takut gelap *he..he..dulu aku memang takut yang namanya gelap*. arti gelap yang ayah maksud adalah: gelap dalam kehidupan, gelap dalam pemikiran karena pesoalan. untuk itu, ayah selalu mengajarkan kepadaku, untuk menyiapkan lentera hati, seselit apapun hidup ini. dan lentera itu harus dijaga agar tetap menyala.
jika kita memiliki lentera hati, maka dengan lentera itu kita akan mampu menerangi jiwa jiwa suram disekitar kita. ah, apa yang kitakan ayah memang benar. adakalanya kita bertemu ddengan manusia manusia yang tak memiliki lentera dalam hatinya. jika sudah demikian, maka orang itu akan mudah terjatuh kepada rasa iri, dengki dan tidak suka akan kebahagiaan orang lain. lalu, apakah kita akan menghindari jiwa2 yang demikian? ketetapan hati ada pada kita masing masing. apakah kita akan membiarkan ataukah kita akan memberikan separuh cahaya dalam diri kita untuk membuat orang itu memiliki lentera. apakah karena ini, ayah dan bunda kemudian memberiku nama Dian?aku tak tahu,karena aku tak pernah bertanya.
Ayah mendidikku menjadi seorang yang pemberani. dalam arti aku tak boleh takut gelap *he..he..dulu aku memang takut yang namanya gelap*. arti gelap yang ayah maksud adalah: gelap dalam kehidupan, gelap dalam pemikiran karena pesoalan. untuk itu, ayah selalu mengajarkan kepadaku, untuk menyiapkan lentera hati, seselit apapun hidup ini. dan lentera itu harus dijaga agar tetap menyala.
jika kita memiliki lentera hati, maka dengan lentera itu kita akan mampu menerangi jiwa jiwa suram disekitar kita. ah, apa yang kitakan ayah memang benar. adakalanya kita bertemu ddengan manusia manusia yang tak memiliki lentera dalam hatinya. jika sudah demikian, maka orang itu akan mudah terjatuh kepada rasa iri, dengki dan tidak suka akan kebahagiaan orang lain. lalu, apakah kita akan menghindari jiwa2 yang demikian? ketetapan hati ada pada kita masing masing. apakah kita akan membiarkan ataukah kita akan memberikan separuh cahaya dalam diri kita untuk membuat orang itu memiliki lentera. apakah karena ini, ayah dan bunda kemudian memberiku nama Dian?aku tak tahu,karena aku tak pernah bertanya.
KEASYIKAN NYAMBI, AKU DIDEPORTASI
Segala kegiatan, jika dilakukan dengan senang hati dan penuh konsentrasi, hasilnya tentu akan baik. Tetapi jika konsentrasi terbagi-bagi, pekerjaan pun bisa menjadi kedodoran. Itu yang dialami Ima, pekerja indo, 23 tahun, yang sengaja menemui Apakabar menjelang dideportasi majikan. Kata Ima, majikannya sungguh baik. Lalu, kenapa ia dideportasi?
”Ingin menjadi orang sukses, aku harus bekerja keras dan punya impian hidup. Tanpa itu, ibarat perjalanan tanpa tujuan. Begitulah, aku yang, hanya dengan bondho nekat, berangkat ke luar negeri sebagai seorang tenaga kerja wanita (TKW). Negara pertama yang kutuju adalah Singapura.
Di rumah majikan yang menghuni Bukit Batok Flat 1, aku bekerja sebagai baby sitter untuk seorang bayi yang baru lahir. Meski pengalaman kerjaku di bidang ini sangat minim, namun aku yang kelahiran 1984 ini mampu menyelesaikan dua tahun masa kontrak dengan apik.
Belakangan, karena mendengar gaji di Hong Kong lebih gede, aku pun kembali mendaftar ke salah satu PJTKI di Kota Bandung. Namun, selama di penampungan, aku menemukan keganjilan terkait dengan proses pemberangkatan ke negara tujuan.
Benar-benar ganjil. Seluruh biodataku dipalsukan. Mulai dari nama hingga alamat rumah. Padahal, rilis dari majikanku di Singapura juga aku jadikan lampiran untuk mendaftar masuk PT. Isi rilis tersebut menyatakan: aku telah finish kontrak bekerja di Singapura.
Tidak salah kalau aku kemudian minta keterangan dari pihak PT. Bagaimana pun, aku harus tahu alasan jasa penyalur ini memanipulasi dokumen anak buah. Sebab, menurutku, mengadu nasib ke luar negeri, nyawa jadi taruhannya.
Jawaban mereka? ”Agar namamu mudah diingat. Soalnya, banyak calon nakerwan yang namanya sama dengan kamu.” Lantaran biodata ”imitasi” sudah telanjur dibuat, aku pun berusaha menerima. Walaupun, bayangan ketakutan kerap mengganggu tidurku. Takut akan ada berdampak di kemudian hari.
Tak lama di PT, aku diberangkatkan ke Hong Kong dan ditempatkan di apartemen South Horizons, Aberden. Order yang kuterima hampir sama dengan di Singapura dulu, merawat dua anak asuh. Setiap hari, aku dan keluarga majikanku yang asli Malaysia ini, berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Hanya sesekali pakai bahasa Melayu. Di majikan kedua ini, aku diperlakukan dengan baik. Gaji dan libur pun diberikan sesuai dengan prosedur.
Ya, dalam penilaianku, majikan yang satu ini memang baik. Kalau tidak baik, mustahil ia mau mempekerjakan aku di rumahnya. Nah, pada saat libur, waktuku lebih banyak kuisi dengan menekuni aktivitas multi level marketing (MLM). Aku berharap, kegiatan ini bisa menjadi modal buatku untuk menuju masa depan yang gemilang. Sebab, tidak mungkin selamanya kerja ikut orang ’kan?
Aktivitasku nyambi berbisnis MLM semakin berkembang. Terlebih, majikan memberiku waktu untuk memprospek atau bertemu klien pada hari-hari biasa. Padahal, pada hari dan jam itu, semestinya aku konsentrasi bekerja di rumah majikan. Ujung-ujungnya, relasi dan rekanku sangat banyak sejak aku menggeluti kesibukan baru ini. Mungkin karena punya kenalan dari berbagai kalangan, wawasan dan pergaulanku pun menjadi semakin luas.
Setiap hari teleponku berdering. Tetapi jika ada majikan, telepon aku silent. Cuma, entah dari mana, majikanku tahu kalau aku sering telepon-teleponan. Dan, ini yang membuat majikan murka. Suatu hari, secara tiba-tiba si bos menyuruhku kembali ke agen. Alasannya: tidak puas dengan hasil kerjaku selama aku bekerja 1,3 bulan.
Itu alasan resmi yang disampaikan ke agen. Namun, menurut anak-anak asuhku, mereka sekeluarga memang hendak kembali ke negaranya: Malaysia. Entah mengapa, mereka mengkambinghitamkan diriku dengan menyebutku tidak benar dalam bekerja... Atau, aku memang ”tidak benar” seperti yang dikatakan majikan?
Sedikit banyak, aku memang membenarkan alasan majikan. Gara-gara nyambi bekerja dan keasyikan mengurusi pekerjaan di marketing, aku sering lupa waktu. Lupa mengerjakan urusan rumah. Bahkan, pernah aku terlambat menjemput anak di sekolah.
Tetapi, setiap kali aku melakukan kesalahan, serta merta aku meminta maaf dan majikan pun memaafkan. Beruntung, majikanku memang bukan tergolong orang yang pendendam. Marahnya akan hilang seketika, bila aku menyatakan permintaan maafku dan bilang: ”haji o em hai kamyong co”.
Hingga kini, aku sebenarnya masih belum memahami dan tak dapat menerima kenyataan ini. Itu di luar fakta, bahwa hidup manusia tak ubahnya roda berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Aku yang pernah berjaya, ternyata harus mengalami petaka yang datangnya tak terduga: di-terminate majikan. Ya, mau bagaimana lagi? Hakku telah diberikan majikan, otomatis aku tidak bisa menuntut apa-apa.” (Kristina Dian S)
”Ingin menjadi orang sukses, aku harus bekerja keras dan punya impian hidup. Tanpa itu, ibarat perjalanan tanpa tujuan. Begitulah, aku yang, hanya dengan bondho nekat, berangkat ke luar negeri sebagai seorang tenaga kerja wanita (TKW). Negara pertama yang kutuju adalah Singapura.
Di rumah majikan yang menghuni Bukit Batok Flat 1, aku bekerja sebagai baby sitter untuk seorang bayi yang baru lahir. Meski pengalaman kerjaku di bidang ini sangat minim, namun aku yang kelahiran 1984 ini mampu menyelesaikan dua tahun masa kontrak dengan apik.
Belakangan, karena mendengar gaji di Hong Kong lebih gede, aku pun kembali mendaftar ke salah satu PJTKI di Kota Bandung. Namun, selama di penampungan, aku menemukan keganjilan terkait dengan proses pemberangkatan ke negara tujuan.
Benar-benar ganjil. Seluruh biodataku dipalsukan. Mulai dari nama hingga alamat rumah. Padahal, rilis dari majikanku di Singapura juga aku jadikan lampiran untuk mendaftar masuk PT. Isi rilis tersebut menyatakan: aku telah finish kontrak bekerja di Singapura.
Tidak salah kalau aku kemudian minta keterangan dari pihak PT. Bagaimana pun, aku harus tahu alasan jasa penyalur ini memanipulasi dokumen anak buah. Sebab, menurutku, mengadu nasib ke luar negeri, nyawa jadi taruhannya.
Jawaban mereka? ”Agar namamu mudah diingat. Soalnya, banyak calon nakerwan yang namanya sama dengan kamu.” Lantaran biodata ”imitasi” sudah telanjur dibuat, aku pun berusaha menerima. Walaupun, bayangan ketakutan kerap mengganggu tidurku. Takut akan ada berdampak di kemudian hari.
Tak lama di PT, aku diberangkatkan ke Hong Kong dan ditempatkan di apartemen South Horizons, Aberden. Order yang kuterima hampir sama dengan di Singapura dulu, merawat dua anak asuh. Setiap hari, aku dan keluarga majikanku yang asli Malaysia ini, berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Hanya sesekali pakai bahasa Melayu. Di majikan kedua ini, aku diperlakukan dengan baik. Gaji dan libur pun diberikan sesuai dengan prosedur.
Ya, dalam penilaianku, majikan yang satu ini memang baik. Kalau tidak baik, mustahil ia mau mempekerjakan aku di rumahnya. Nah, pada saat libur, waktuku lebih banyak kuisi dengan menekuni aktivitas multi level marketing (MLM). Aku berharap, kegiatan ini bisa menjadi modal buatku untuk menuju masa depan yang gemilang. Sebab, tidak mungkin selamanya kerja ikut orang ’kan?
Aktivitasku nyambi berbisnis MLM semakin berkembang. Terlebih, majikan memberiku waktu untuk memprospek atau bertemu klien pada hari-hari biasa. Padahal, pada hari dan jam itu, semestinya aku konsentrasi bekerja di rumah majikan. Ujung-ujungnya, relasi dan rekanku sangat banyak sejak aku menggeluti kesibukan baru ini. Mungkin karena punya kenalan dari berbagai kalangan, wawasan dan pergaulanku pun menjadi semakin luas.
Setiap hari teleponku berdering. Tetapi jika ada majikan, telepon aku silent. Cuma, entah dari mana, majikanku tahu kalau aku sering telepon-teleponan. Dan, ini yang membuat majikan murka. Suatu hari, secara tiba-tiba si bos menyuruhku kembali ke agen. Alasannya: tidak puas dengan hasil kerjaku selama aku bekerja 1,3 bulan.
Itu alasan resmi yang disampaikan ke agen. Namun, menurut anak-anak asuhku, mereka sekeluarga memang hendak kembali ke negaranya: Malaysia. Entah mengapa, mereka mengkambinghitamkan diriku dengan menyebutku tidak benar dalam bekerja... Atau, aku memang ”tidak benar” seperti yang dikatakan majikan?
Sedikit banyak, aku memang membenarkan alasan majikan. Gara-gara nyambi bekerja dan keasyikan mengurusi pekerjaan di marketing, aku sering lupa waktu. Lupa mengerjakan urusan rumah. Bahkan, pernah aku terlambat menjemput anak di sekolah.
Tetapi, setiap kali aku melakukan kesalahan, serta merta aku meminta maaf dan majikan pun memaafkan. Beruntung, majikanku memang bukan tergolong orang yang pendendam. Marahnya akan hilang seketika, bila aku menyatakan permintaan maafku dan bilang: ”haji o em hai kamyong co”.
Hingga kini, aku sebenarnya masih belum memahami dan tak dapat menerima kenyataan ini. Itu di luar fakta, bahwa hidup manusia tak ubahnya roda berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Aku yang pernah berjaya, ternyata harus mengalami petaka yang datangnya tak terduga: di-terminate majikan. Ya, mau bagaimana lagi? Hakku telah diberikan majikan, otomatis aku tidak bisa menuntut apa-apa.” (Kristina Dian S)
Label:
Arsip Media,
LiputanKu,
Shalter Story
Langganan:
Postingan (Atom)