Minggu, 27 April 2008

NO FREE SEX, FREE TAG, FINAL!

PR ini aku terima dari Reski dan merupakan PR kedua yang aku
kerjakan. PR yang ketiga, lom sempat aku kerjakan. Mudah mudahan untuk kedepanya, tak ada yang ngasih “tugas” lagi. he..he…maap banget ya? Coz, aku gak punya tenaga nyari korban berikutnya. Takut ditolak mentah mentah. Hi..hi..itu khan sudah kebiasaan anak muda. Btw, silahkan simak sepuluh hal yang tidak kusukai. Tret..tre..re..ret….

1: Ulang Tahun:
Hari ulang tahunku bersamaan dengan Hari Buruh Sedunia. Tanggal Satu Bulan Lima. Sangat tak mengenakkan hari kelahiran bertepatan dengan public holiday.
Berkali, aku mencoba menyusun jadwal buat ngeramein acara pribadi. Tetapi, waktu dan tempat tak mengizinkan. Karena pada hari itu, aku harus “turun jalan”. Kalau tidak untuk liputan, jelas ikut dalam barisan aksi unjuk rasa. Sudah beberapa kali aku menikmati hari ulang tahun diantara ribuan masa , diantara debu debu jalanan, diantara pekik nyanyian demonstran. Kapan aku bisa menikmati hanya berduaan dengan pujaan? entahlah, beberapa hari lagi ulang tahunku tiba.
2: Waktu:
Ia teramat cepat berlalu seolah tak memberiku kesempatan untuk memikirkan sesuatu. Disaat aku ada masalah, ia berbisik: ambil tindakan sebelum waktu menggilas semuanya.
3: Makanan:
Aku paling sulit memilih menu makanan, bahkan aku memilih tak makan dari pada dipaksakan makan makanan Negara setempat. Pualing tak aku sukai, jika perut keroncongan, masih harus pergi ke toko Indonesia, dan begitu tiba ditempat sudah kehabisan.

4: Tata Rias:
Teman teman disekitarku rata rata cantik. Ada yang polos dari sononya, ada pula yang karena riasan. Teman-temanku yg suka make up, memiliki alat kecantikan yg sangat lengkap. Kalo dah ngumpul aku pasti disarankan belajar berdandan biar kelihatan tambah manis. Tapi tahukah mereka, betapa aku ingin tampil apa adanya. No lipstick, no eye shadow, and no “pelangi” diwajah pucatku.
5: Rambut:
Tiap kali aku mau masuk salon potong rambut (panjang sepinggang), teman yg sedang bersamaku menghadang atau menarik tanganku sambil bilang: Jangan dipotong! Sebel. Betapa aku gerah dengan rambut yg terlalu panjang.
6: Kamera:
Paling jengkel ketika lagi liputan tiba tiba baterai kamera digitalku drop. Dan seingatku udah sering kali ini terjadi meski kamera hp bisa menjadi alternative. Sebenarnya bukan aku tak memperhatikan atau tidak tahu kalo baterai dah mau kosong, tapi karena hampir setiap hari dipakai, dan pulang “lapangan” langsung urus diri, akhirnya aku gak ngurusi lagi soal baterai.
7: Wawancara:
Ada kalanya, wawancara dilakukan secara mendadak. Karena informasi yang perlu diberitakan paling sering terjadi secara dadakan pula. Misalnya: kematian BMI (bunuh diri, sengaja di bunuh atau meninggal karena kecelakaan kerja), BMI kabur dari tempat kerja karena mendapat perlakuan diskriminatif, pelecehan seksual, penganiayaan dan berbagai perlakuan buruk lainya. Menghadapi narasumber seperti ini menuntut ekstra hati hati dalam melontarkan tanya. Sering aku harus menunggu hanya untuk satu kata saja hingga bermenit menit lamanya. Bahkan tak jarang mataku ikut berkaca kaca “menghadapi” korban kesewenang wenangan. Air mata atau menangis sesuatu yang tak aku inginkan, tetapi kenapa air mataku sering tak bisa dibendung? Betapa aku tak suka dengan “kebiasaan” itu.
8: Bobo’:
Benci! Tak sekali dua perintah membangunkan tidurku.
9: Sex:
Berada diantara pasangan berumah tangga sebenarnya sangat menyenangkan. Dan aku bahagia sekali mengenal beberapa pasang keluarga yang menganggapku layaknya anak sendiri. Meski sudah hampir enam tahun aku bekerja jauh dari keluarga kandung, tapi aku merasa mendapat perhatian tulus dari mereka mereka ini. Tapi ada yg tak kusuka, ketika para istri yg kukenal ini mulai ngerumpi. Pasalnya, sharing soal sex seolah menjadi menu dari makanan terlezat sekalipun! Ugh! Aku tak dilibatkan.
10: Cowok:
Gak suka cowok yg terlalu cakep, kekanak kanakan, minta dicintai sampe rela berkorban, dan ambisius. Jika sudah sepakat putus, di tengah jalan ngajak baikan lagi.Hal itu bisa membunuh rasa simpatiku. Aku menggagumi cowok misterius, yang mengatakan cinta lewat bola lampu. Eh, salah…bola mata. He..he…

NO FREE SEX, FREE TAG, FINAL!

PR ini aku terima dari Reski dan merupakan PR kedua yang aku
kerjakan. PR yang ketiga, lom sempat aku kerjakan. Mudah mudahan untuk kedepanya, tak ada yang ngasih “tugas” lagi. he..he…maap banget ya? Coz, aku gak punya tenaga nyari korban berikutnya. Takut ditolak mentah mentah. Hi..hi..itu khan sudah kebiasaan anak muda. Btw, silahkan simak sepuluh hal yang tidak kusukai. Tret..tre..re..ret….

1: Ulang Tahun:
Hari ulang tahunku bersamaan dengan Hari Buruh Sedunia. Tanggal Satu Bulan Lima. Sangat tak mengenakkan hari kelahiran bertepatan dengan public holiday.
Berkali, aku mencoba menyusun jadwal buat ngeramein acara pribadi. Tetapi, waktu dan tempat tak mengizinkan. Karena pada hari itu, aku harus “turun jalan”. Kalau tidak untuk liputan, jelas ikut dalam barisan aksi unjuk rasa. Sudah beberapa kali aku menikmati hari ulang tahun diantara ribuan masa , diantara debu debu jalanan, diantara pekik nyanyian demonstran. Kapan aku bisa menikmati hanya berduaan dengan pujaan? entahlah, beberapa hari lagi ulang tahunku tiba.
2: Waktu:
Ia teramat cepat berlalu seolah tak memberiku kesempatan untuk memikirkan sesuatu. Disaat aku ada masalah, ia berbisik: ambil tindakan sebelum waktu menggilas semuanya.
3: Makanan:
Aku paling sulit memilih menu makanan, bahkan aku memilih tak makan dari pada dipaksakan makan makanan Negara setempat. Pualing tak aku sukai, jika perut keroncongan, masih harus pergi ke toko Indonesia, dan begitu tiba ditempat sudah kehabisan.

4: Tata Rias:
Teman teman disekitarku rata rata cantik. Ada yang polos dari sononya, ada pula yang karena riasan. Teman-temanku yg suka make up, memiliki alat kecantikan yg sangat lengkap. Kalo dah ngumpul aku pasti disarankan belajar berdandan biar kelihatan tambah manis. Tapi tahukah mereka, betapa aku ingin tampil apa adanya. No lipstick, no eye shadow, and no “pelangi” diwajah pucatku.
5: Rambut:
Tiap kali aku mau masuk salon potong rambut (panjang sepinggang), teman yg sedang bersamaku menghadang atau menarik tanganku sambil bilang: Jangan dipotong! Sebel. Betapa aku gerah dengan rambut yg terlalu panjang.
6: Kamera:
Paling jengkel ketika lagi liputan tiba tiba baterai kamera digitalku drop. Dan seingatku udah sering kali ini terjadi meski kamera hp bisa menjadi alternative. Sebenarnya bukan aku tak memperhatikan atau tidak tahu kalo baterai dah mau kosong, tapi karena hampir setiap hari dipakai, dan pulang “lapangan” langsung urus diri, akhirnya aku gak ngurusi lagi soal baterai.
7: Wawancara:
Ada kalanya, wawancara dilakukan secara mendadak. Karena informasi yang perlu diberitakan paling sering terjadi secara dadakan pula. Misalnya: kematian BMI (bunuh diri, sengaja di bunuh atau meninggal karena kecelakaan kerja), BMI kabur dari tempat kerja karena mendapat perlakuan diskriminatif, pelecehan seksual, penganiayaan dan berbagai perlakuan buruk lainya. Menghadapi narasumber seperti ini menuntut ekstra hati hati dalam melontarkan tanya. Sering aku harus menunggu hanya untuk satu kata saja hingga bermenit menit lamanya. Bahkan tak jarang mataku ikut berkaca kaca “menghadapi” korban kesewenang wenangan. Air mata atau menangis sesuatu yang tak aku inginkan, tetapi kenapa air mataku sering tak bisa dibendung? Betapa aku tak suka dengan “kebiasaan” itu.
8: Bobo’:
Benci! Tak sekali dua perintah membangunkan tidurku.
9: Sex:
Berada diantara pasangan berumah tangga sebenarnya sangat menyenangkan. Dan aku bahagia sekali mengenal beberapa pasang keluarga yang menganggapku layaknya anak sendiri. Meski sudah hampir enam tahun aku bekerja jauh dari keluarga kandung, tapi aku merasa mendapat perhatian tulus dari mereka mereka ini. Tapi ada yg tak kusuka, ketika para istri yg kukenal ini mulai ngerumpi. Pasalnya, sharing soal sex seolah menjadi menu dari makanan terlezat sekalipun! Ugh! Aku tak dilibatkan.
10: Cowok:
Gak suka cowok yg terlalu cakep, kekanak kanakan, minta dicintai sampe rela berkorban, dan ambisius. Jika sudah sepakat putus, di tengah jalan ngajak baikan lagi.Hal itu bisa membunuh rasa simpatiku. Aku menggagumi cowok misterius, yang mengatakan cinta lewat bola lampu. Eh, salah…bola mata. He..he…

Senin, 21 April 2008

KARENA DIA AKU HIDUP MENJANDA


"Berbagai peristiwa itulah yang seolah-olah memaksaku untuk memutuskan tali perkawinan. Meski, aku sendiri sejatinya ingin terus mempertahankan ikatan itu. Tetapi, setelah kupikir-pikir, apalah gunanya kalau sikap suami terus-terusan begitu? Bukankah hanya akan memicu derita berkepanjangan? Dan...Bukankah menjanda bukan akhir dari segalanya?"


Hidup bersama tak cukup hanya bermodalkan cinta. Karena hidup dengan cinta saja tidak bisa membuat perut kenyang, terlebih aku sudah punya dua anak. Celaka, suamiku malah berulah. Kutinggal mencari duit ke Malaysia, dia berpaling dan menikahi perempuan lain. Padahal, aku dan dia belum resmi bercerai. Pemuda tetangga desaku itu bernama Eduardo, bukan nama sebenarnya. Ia seorang pria yang sangat tampan, sampai-sampai banyak cewek yang naksir padanya. Tetapi, cinta Eduardo kepadaku sungguh luar biasa. Meski kedua orangtuanya melarang, bahkan sempat diungsikan ke Jakarta, ia tetap rajin ngapelin aku – yang hanya seorang anak petani.

Mula-mula, sebagaimana gadis desa pada umumnya, aku gembira sekaligus khawatir. Suka tetapi takut dikagumi, oleh cowok secakep Eduardo. Lama-lama aku berpikir, cinta itu tidak memandang kaya atau miskin, cantik atau jelek. Karena, setiap manusia hakikatnya berhak untuk mencintai dan dicintai. Bukankah Tuhan telah menganugerahi hal itu? Segala macam perbedaan bisa terkikis oleh adanya cinta.
Usiaku masih muda, baru 14 tahun, ketika aku bersedia dinikahi Eduardo. Dari pernikahan itu aku dikaruniai dua putri yang sangat manis dan penurut. Jujur, pernikahan yang dibangun atas dasar saling cinta sungguh amat membahagiakan.
Namun, perjalanan hidup anak manusia tak seorang pun tahu, kecuali Dia yang Esa. Begitu juga yang terjadi pada Eduardo. Kekhawatiranku di masa single dulu belakangan terbukti. Sikap Eduardo, suamiku, mendadak berubah setelah anak-anak tumbuh besar. Tanggung jawabnya terhadap keluarga mulai berkurang.

Sampai-sampai, untuk menghidupkan ”asap dapur” aku terpaksa sampai berutang kepada tetangga kiri-kanan. Padahal, ketika itu aku masih punya utang sekitar Rp 90 juta untuk membangun rumah. Untungnya, para tetangga masih percaya padaku. Entahlah, apa jadinya jika mereka tidak lagi percaya.

Suamiku sebenarnya bukan seorang pengangguran. Ia pekerja yang ulet. Cuma, begitulah nasib seorang pekerja di perusahaan kontraktor (pemborong). Tidak selamanya lancar. Sampai kemudian, aku akhirnya memutuskan menjadi TKW di Malaysia. Jalan pintas itu kuambil untuk mengentaskan problem ekonomi, di samping dipicu oleh perasaan kecewa terhadap perubahan sikap pada suamiku.

Tiga tahun bekerja di negeri jiran, aku sudah bisa melunasi utang-utangku di kampung. Itu sebabnya, selepas kontrak, aku memutuskan pulang.

Sebagai seorang perantau, tidak ada yang membuatku bahagia selain ingin segera pulang ke tanah air dan berkumpul dengan keluarga. Saat itu, anganku begitu indah, membayangkan kebahagiaan yang bakal kutemukan setiba di tanah air. Aku sudah tak sabar ingin lekas bertemu dengan anak dan suamiku tersayang. Tetapi, apa yang kudapatkan sesampai di kampung halaman?

Anganku sirna seketika. Tawaku sontak berubah menjadi air mata. Ternyata, Eduardo telah menikah lagi dengan perempuan asal Jakarta, bahkan punya satu anak laki-laki. Aku geram, karena kenyataannya kami belum bercerai. Coba, wanita mana yang tidak ingin marah, tidak sakit hati jika suami telah berpaling hati?

Tetapi segalanya telah terjadi. Membunuh suami dan perempuan itu, rasanya tidaklah mungkin. Mau tidak mau, aku yang harus berusaha membujuk hatiku untuk mengizinkan suamiku menjadi milik perempuan ayu itu. Bukan apa-apa, aku sendiri masih berat untuk bercerai.

Dorongan untuk memaafkan Eduardo semata-mata karena keberadaan kedua anakku. Tak tega rasanya membiarkan mereka hidup tanpa bapak. Mereka adalah permata hati, lentera dalam kegelapan hati. Seberat apa pun rasa sakit hati karena ulah suami, aku rela menerimanya. Di depan anak-anak aku selalu berusaha tersenyum, meski rasanya amat getir dan pahit.

Satu tahun di kampung halaman, aku memutuskan masuk PT Sinar Insani Barokah (SIB). Hanya berselang tiga bulan, tepatnya 4 Juli 1994, aku diberangkatkan ke Hong Kong dan dipekerjakan di daerah Kowloon. Di negeri Andy Lau ini aku bekerja hingga dua kali masa kontrak (4 tahun).

Aku memutuskan pindah majikan, setelah majikanku sebelumnya tak mau membayar long service (bonus). Kali berikut, aku bekerja di daerah Mong Kok, dan masih bertahan sampai saat ini.

Selama enam tahun, dari kejauhan aku menunggu perubahan sikap Eduardo. Aku ingin dia kembali seperti dulu. Nyatanya, sekian lama aku menghitung hari, ia tak kunjung berubah. Malahan, istrinya yang di Jakarta diabaikan begitu saja. Kabarnya, tak lama setelah dicuekin Eduardo, wanita itu meninggal dunia. Sementara, anak laki-lakinya telah beralih menjadi tanggung jawabku sejak aku pulang dari Malaysia. Berbagai peristiwa itulah yang seolah-olah memaksaku untuk memutuskan tali perkawinan. Meski, aku sendiri sejatinya ingin terus mempertahankan ikatan itu. Tetapi, setelah kupikir-pikir, apalah gunanya kalau sikap suami terus-terusan begitu? Bukankah hanya akan memicu derita berkepanjangan?

Melalui bantuan pengacara, aku dan Eduardo akhirnya resmi bercerai. Seiring dengan itu, semangat hidupku tumbuh kembali. Ya, aku harus menghidupi anak-anak, juga mencicil kredit mobil yang pernah kubeli untuknya.(Dituturkan ”S” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

KARENA DIA AKU HIDUP MENJANDA


"Berbagai peristiwa itulah yang seolah-olah memaksaku untuk memutuskan tali perkawinan. Meski, aku sendiri sejatinya ingin terus mempertahankan ikatan itu. Tetapi, setelah kupikir-pikir, apalah gunanya kalau sikap suami terus-terusan begitu? Bukankah hanya akan memicu derita berkepanjangan? Dan...Bukankah menjanda bukan akhir dari segalanya?"


Hidup bersama tak cukup hanya bermodalkan cinta. Karena hidup dengan cinta saja tidak bisa membuat perut kenyang, terlebih aku sudah punya dua anak. Celaka, suamiku malah berulah. Kutinggal mencari duit ke Malaysia, dia berpaling dan menikahi perempuan lain. Padahal, aku dan dia belum resmi bercerai. Pemuda tetangga desaku itu bernama Eduardo, bukan nama sebenarnya. Ia seorang pria yang sangat tampan, sampai-sampai banyak cewek yang naksir padanya. Tetapi, cinta Eduardo kepadaku sungguh luar biasa. Meski kedua orangtuanya melarang, bahkan sempat diungsikan ke Jakarta, ia tetap rajin ngapelin aku – yang hanya seorang anak petani.

Mula-mula, sebagaimana gadis desa pada umumnya, aku gembira sekaligus khawatir. Suka tetapi takut dikagumi, oleh cowok secakep Eduardo. Lama-lama aku berpikir, cinta itu tidak memandang kaya atau miskin, cantik atau jelek. Karena, setiap manusia hakikatnya berhak untuk mencintai dan dicintai. Bukankah Tuhan telah menganugerahi hal itu? Segala macam perbedaan bisa terkikis oleh adanya cinta.
Usiaku masih muda, baru 14 tahun, ketika aku bersedia dinikahi Eduardo. Dari pernikahan itu aku dikaruniai dua putri yang sangat manis dan penurut. Jujur, pernikahan yang dibangun atas dasar saling cinta sungguh amat membahagiakan.
Namun, perjalanan hidup anak manusia tak seorang pun tahu, kecuali Dia yang Esa. Begitu juga yang terjadi pada Eduardo. Kekhawatiranku di masa single dulu belakangan terbukti. Sikap Eduardo, suamiku, mendadak berubah setelah anak-anak tumbuh besar. Tanggung jawabnya terhadap keluarga mulai berkurang.

Sampai-sampai, untuk menghidupkan ”asap dapur” aku terpaksa sampai berutang kepada tetangga kiri-kanan. Padahal, ketika itu aku masih punya utang sekitar Rp 90 juta untuk membangun rumah. Untungnya, para tetangga masih percaya padaku. Entahlah, apa jadinya jika mereka tidak lagi percaya.

Suamiku sebenarnya bukan seorang pengangguran. Ia pekerja yang ulet. Cuma, begitulah nasib seorang pekerja di perusahaan kontraktor (pemborong). Tidak selamanya lancar. Sampai kemudian, aku akhirnya memutuskan menjadi TKW di Malaysia. Jalan pintas itu kuambil untuk mengentaskan problem ekonomi, di samping dipicu oleh perasaan kecewa terhadap perubahan sikap pada suamiku.

Tiga tahun bekerja di negeri jiran, aku sudah bisa melunasi utang-utangku di kampung. Itu sebabnya, selepas kontrak, aku memutuskan pulang.

Sebagai seorang perantau, tidak ada yang membuatku bahagia selain ingin segera pulang ke tanah air dan berkumpul dengan keluarga. Saat itu, anganku begitu indah, membayangkan kebahagiaan yang bakal kutemukan setiba di tanah air. Aku sudah tak sabar ingin lekas bertemu dengan anak dan suamiku tersayang. Tetapi, apa yang kudapatkan sesampai di kampung halaman?

Anganku sirna seketika. Tawaku sontak berubah menjadi air mata. Ternyata, Eduardo telah menikah lagi dengan perempuan asal Jakarta, bahkan punya satu anak laki-laki. Aku geram, karena kenyataannya kami belum bercerai. Coba, wanita mana yang tidak ingin marah, tidak sakit hati jika suami telah berpaling hati?

Tetapi segalanya telah terjadi. Membunuh suami dan perempuan itu, rasanya tidaklah mungkin. Mau tidak mau, aku yang harus berusaha membujuk hatiku untuk mengizinkan suamiku menjadi milik perempuan ayu itu. Bukan apa-apa, aku sendiri masih berat untuk bercerai.

Dorongan untuk memaafkan Eduardo semata-mata karena keberadaan kedua anakku. Tak tega rasanya membiarkan mereka hidup tanpa bapak. Mereka adalah permata hati, lentera dalam kegelapan hati. Seberat apa pun rasa sakit hati karena ulah suami, aku rela menerimanya. Di depan anak-anak aku selalu berusaha tersenyum, meski rasanya amat getir dan pahit.

Satu tahun di kampung halaman, aku memutuskan masuk PT Sinar Insani Barokah (SIB). Hanya berselang tiga bulan, tepatnya 4 Juli 1994, aku diberangkatkan ke Hong Kong dan dipekerjakan di daerah Kowloon. Di negeri Andy Lau ini aku bekerja hingga dua kali masa kontrak (4 tahun).

Aku memutuskan pindah majikan, setelah majikanku sebelumnya tak mau membayar long service (bonus). Kali berikut, aku bekerja di daerah Mong Kok, dan masih bertahan sampai saat ini.

Selama enam tahun, dari kejauhan aku menunggu perubahan sikap Eduardo. Aku ingin dia kembali seperti dulu. Nyatanya, sekian lama aku menghitung hari, ia tak kunjung berubah. Malahan, istrinya yang di Jakarta diabaikan begitu saja. Kabarnya, tak lama setelah dicuekin Eduardo, wanita itu meninggal dunia. Sementara, anak laki-lakinya telah beralih menjadi tanggung jawabku sejak aku pulang dari Malaysia. Berbagai peristiwa itulah yang seolah-olah memaksaku untuk memutuskan tali perkawinan. Meski, aku sendiri sejatinya ingin terus mempertahankan ikatan itu. Tetapi, setelah kupikir-pikir, apalah gunanya kalau sikap suami terus-terusan begitu? Bukankah hanya akan memicu derita berkepanjangan?

Melalui bantuan pengacara, aku dan Eduardo akhirnya resmi bercerai. Seiring dengan itu, semangat hidupku tumbuh kembali. Ya, aku harus menghidupi anak-anak, juga mencicil kredit mobil yang pernah kubeli untuknya.(Dituturkan ”S” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

Rabu, 16 April 2008

MENOLAK DIGAULI AKU DIDEPORTASI

'"Pagi sekitar pukul 07.10, samar aku mendengar bisikan dan terasa ada tangan lembut menyentuh pipiku. Mulanya kuabaikan, tetapi lama-lama kesadaranku pulih. Seketika aku berteriak saking kagetnya. Benar saja, kakek berdiri di depanku dengan wajah cengengesan. Aku pun mengumpat memarahi kakek. Tak lama, seluruh anggota keluarga datang ke kamarku.
Kalau saja aku mau melayani kemauan bapak majikan, mungkin nasibku tak sampai seperti ini. Dipaksa, difitnah, sampai akhirnya kontak kerja diputus majikan. Parahnya, majikan langsung mengantarkan aku ke bandara."

Baru setahun aku bekerja di Flat 5/ F Blok A, Homantin. Aku bekerja pada sebuah keluarga dengan lima anggota. Mereka adalah sepasang suami-istri, satu orang anak, dan orangtua majikan. Mereka sangat baik dan perhatian kepadaku, yang sebelum ini pernah bekerja di Singapura. Apalagi pada musim dingin seperti sekarang, nenek suka memanjakan aku dengan membelikan baju-baju hangat di pasar. Meski baju-baju tersebut tidak baru alias bekas pakai, dan tentu saja harganya relatif murah, aku sangat berterima kasih kepada nenek.
Ups, tentu saja tidak hanya nenek. Nyonyaku juga suka membelikan aku baju atau krim tangan, supaya tanganku tidak membengkak akibat ”serangan” musim dingin. Ya, musim dingin tahun lalu, kali pertama aku bekerja di rumah itu. Mereka tampak masih cuek terhadap kehadiranku. Berbeda dengan tahun ini, perhatian mereka jauh lebih besar. Mungkin mereka mulai merasa cocok melihat aku sudah bisa beradaptasi dengan anggota keluarga.

Anak asuhku seorang remaja pria berusia 16 tahun. Ia penurut dan tidak suka mengadu pada majikan, meskipun aku sering berbuat kesalahan. Misal, keliru menyiapkan seragam sekolah maupun telat membangunkan. Begitu juga dengan nenek, yang sehari-hari lebih banyak diisi dengan duduk di atas kursi roda. Ia tak banyak omong, bicara ala kadarnya. Mungkin karena itulah, kedua majikan menilaiku baik. Suasana kekeluargaan yang sungguh menentramkan hati.

Namun seiring guliran waktu, keharmonisan keluarga majikan yang pernah kunikmati tiba-tiba lenyap ketika masa kerjaku menginjak satu tahun. Tidak tanggung-tanggung, aku dipulangkan majikan tanpa pemberitahuan. Hal ini sama sekali di luar dugaan. Bahkan, tak pernah sekalipun terlintas dalam benak, aku bakal dideportasi majikan secara mendadak. Itu semua jika mengingat kedekatanku dengan majikan selama ini.

Toh, aku tidak bisa mengelak dari keharusan pergi meninggalkan Hong Kong, Januari 2008. Jujur, tiga hari sebelum majikan menyuruhku pulang, aku memang sempat bertengkar hebat dengan kakek. Pertengkaran itu sempat dilerai oleh nenek, yang notabene mulai berkurang pendengarannya.

Meskipun melerai, nenak sejatinya tidak tahu ada persoalan apa antara aku dengan kakek – suaminya. Sepengetahuan nenek, aku telah membantah omongan kakek, yang akhirnya menyuruhku pergi dari rumah itu. Aku tidak bisa menyalahkan nenek, kalau pada akhirnya nenek mengadukan apa yang ia lihat kepada nyonya dan tuan.

Celaka... Kakek sungguh keterlaluan telah memberikan cerita palsu. Kepada anaknya, kakek bilang aku telah melawan. Tidak mau diperintah dan suka marah-marah. Harus kuakui, saat itu aku memang melawan, membantah, dan menolak perintah kakek. Lha, bagaimana mau kuturuti? Wong, kakek menyuruhku membuka baju dan meminta dilayani layaknya pasangan suami istri.

Kakek asuhku memang sudah lanjut tua, meski aku tak tahu persis berapa umurnya. Sekalipun sudah uzur, kakek tak pernah pakai tongkat. Barangkali karena setiap pagi dan sore ia rutin pergi jogging, sehingga badannya jadi kelihatan sehat.

Gelagat kalau si kakek ada ”maksud-maksud tertentu”, sebenarnya sudah kutangkap sejak jauh-jauh hari. Kalau tak salah, menginjak bulan kedua aku bekerja di rumah itu. Masih kuingat, hari itu kakek menyuruhku mencari mokan cai di lemari bajunya. Tetapi kucari-cari di lipatan baju-bajunya, handuk kecil itu tak juga ketemu. Kemudian, kakek menyuruh aku mencari di kardus baju yang ditaruh di bawah kolong tempat tidur. Nah, ketika lagi membungkuk inilah, kakek memeluk aku dari belakang. Aku spontan berteriak, meski hanya didengar oleh bising kendaraan jalan raya. Sejak itu, aku diburu rasa ketakutan.

Sikap ”genit” kakek sempat agak berkurang dari waktu ke waktu. Paling banter, sekadar memandang dengan tatapan nakal. Selain itu, setiap kali mau tidur, selalu bilang codhao sambil bilang: mou so mun di dekat telingaku. Kuabaikan saja permintaan itu, karena kedua majikanku yang tidur di lantai atas selalu berpesan untuk mengunci pintu.

Kesan di mata keluarga majikan, kakek orang yang baik. Sebab, kepadaku ia tak pernah bicara kasar, keras, apalagi membentak. Meminta tolong sesuatu ia selalu bilang: emkoi, emkoi sae, toche, toche sae. Tetapi, mana keluarganya tahu kalau sikap kakek sebenarnya untuk menutupi hidungnya yang belang.

Terus-terusan dikasih perhatian oleh kakek sungguh risih. Bagaimana tidak, ke manapun aku pergi, selalu diikuti. Aku ke dapur, ia ikutan masuk dapur dengan berbagai alasan. Entah itu mau buat kopi-lah, minum air-lah, atau alasan membantuku memasak. Ketika aku punya jatah menyapu atau mengepel, kakek juga menggunakan berbagai dalih untuk menarik simpatiku. Terkadang, ia malah yang mengambil alih tugas membersihkan rumah. Keluarga majikan senang, tetapi aku yang senep. Soalnya di antara kedekatan itu, tak jarang ia berbuat yang ”menjurus” dan cenderung tak senonoh.

Hampir satu tahun, perselisihan dengan kakek tak diketahui keluarga yang lain. Kami berdua selalu berusaha menyimpannya rapat-rapat. Sebab, aku tak ingin dipulangkan majikan gara-gara itu. Tetapi sial, pertengkaran yang tersimpan rapat itu akhirnya meledak tiga hari sebelum aku resmi di-PHK.

Malam itu, aku kecapean setelah seharian menemani nenek tamaciok di rumah temannya yang sedang berulangtahun. Ngerti sendiri tugas seorang pembantu. Diajak ke rumah temannya, kebagian membantu tuan rumah memasak dan cuci piring. Saking capeknya, sesampai di rumah aku langsung tidur, lagian juga sudah tengah malam. Tuan dan nyonya serta anaknya ada di kamar atas, yang aku sendiri tak tahu apakah mereka sudah tidur. Dari dulu, majikan memang tak mau tahu dengan urusanku di bawah. Nah, waktu itu aku lupa mengunci pintu dan menghidupkan alarm.

Pagi sekitar pukul 07.10, samar aku mendengar bisikan dan terasa ada tangan lembut menyentuh pipiku. Mulanya kuabaikan, tetapi lama-lama kesadaranku pulih. Seketika aku berteriak saking kagetnya. Benar saja, kakek berdiri di depanku dengan wajah cengengesan. Aku pun mengumpat memarahi kakek. Tak lama, seluruh anggota keluarga datang ke kamarku.

Belum sempat aku memberi penjelasan, kakek langsung bilang kalau aku marah gara-gara dibangunkan. Ya, ampun…kakek kok begitu. Kepada mereka aku cuma bilang tuemchi, karena terlambat bangun. Setelah itu aku ke kamar mandi seperti perintah majikan. Sebenarnya sih majikan tidak marah, mereka memaklumi kondisiku yang kurang tidur.

Pukul 09.30, ketika kedua majikan dan anak asuhku sudah pergi dengan aktivitasnya masing-masing, kakek ”kumat” lagi. Ke dapur, ruang tamu, kamar mandi, pokoknya ke mana aku bekerja selalu diikutinya. Hatiku sudah mulai kesel dan jengkel setengah mati. Tetapi apalah daya, melawan kakek bisa-bisa berakibat fatal. Di rumah ini dia ibarat majikan kedua. Namun, karena kakek sudah berani mendorong badanku ke ranjang – ketika aku membersihkan kamar majikan – kemarahanku tak bisa lagi dibendung.

Kudorong badan kakek sampai tersandar di meja tata rias nyonya. Saat itu…rasanya aku sudah begitu berani, tentu saja melawan kakek. Dia mukul, balik kupukul. Dia nendang kakiku, kutendang balik kakinya. Sampai kemudian, kakek mendorong tubuhku keluar dari kamar dan lantai dua itu. Sesampai di lantai bawah pun kakek bersikeras mengusirku keluar dari rumah. Pertengkaran inilah yang kemudian ditangkap nenek dan diceritakan kepada majikanku.

Malam itu, kedua majikan mempertanyakan keributan itu padaku secara langsung, di hadapan kakek dan nenek. Dengan bahasa Kanton campur Inggris, kuceritakan jujur sesuai kenyataan yang ada. Kakek berusaha membela diri, ketika kedua majikanku tampak marah-marah sama kakek. Sampai akhirnya, kakek ngambek masuk kamar dan tak jadi ikut makan bareng. Sikap kedua majikan yang tidak menelan mentah-mentah cerita kakek, wajib kusyukuri. Sesuatu yang kupikir tidak dimiliki oleh majikan lain.

Keesokan harinya, suasana kembali seperti semula, seolah tidak terjadi apa-apa. Hatiku sudah mulai lega, tidak terbelenggu oleh rasa ketakutan yang selama ini setia melingkari hari-hari. Tetapi, apa yang terjadi pada esok lusa? ”Benahi bajumu dan kita ke bandara,” perintah majikanku pada Minggu siang – liburku dua bulan dua kali. Aku masih bingung, belum paham apa maksud majikan. Mau bertanya, aku tak punya keberanian. Aku hanya menurut.

Sesampai di bandara, sesaat setelah dokumen, tiket dan pesangon serta gaji terakhir diberikan majikan, baru aku tahu: aku telah di-PHK. Karena belum ingin pulang ke tanah air, aku memutuskan meninggalkan bandara untuk kembali ke pusat kota Hong Kong, hanya selisih 30 menit dari majikan yang sengaja meninggalkan aku sendirian di bandara. Entah bagaimana caranya, aku tetap hendak merajut impian yang nyaris kandas gara-gara ulah si kakek genit itu. (Dituturkan ”M” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

MENOLAK DIGAULI AKU DIDEPORTASI

'"Pagi sekitar pukul 07.10, samar aku mendengar bisikan dan terasa ada tangan lembut menyentuh pipiku. Mulanya kuabaikan, tetapi lama-lama kesadaranku pulih. Seketika aku berteriak saking kagetnya. Benar saja, kakek berdiri di depanku dengan wajah cengengesan. Aku pun mengumpat memarahi kakek. Tak lama, seluruh anggota keluarga datang ke kamarku.
Kalau saja aku mau melayani kemauan bapak majikan, mungkin nasibku tak sampai seperti ini. Dipaksa, difitnah, sampai akhirnya kontak kerja diputus majikan. Parahnya, majikan langsung mengantarkan aku ke bandara."

Baru setahun aku bekerja di Flat 5/ F Blok A, Homantin. Aku bekerja pada sebuah keluarga dengan lima anggota. Mereka adalah sepasang suami-istri, satu orang anak, dan orangtua majikan. Mereka sangat baik dan perhatian kepadaku, yang sebelum ini pernah bekerja di Singapura. Apalagi pada musim dingin seperti sekarang, nenek suka memanjakan aku dengan membelikan baju-baju hangat di pasar. Meski baju-baju tersebut tidak baru alias bekas pakai, dan tentu saja harganya relatif murah, aku sangat berterima kasih kepada nenek.
Ups, tentu saja tidak hanya nenek. Nyonyaku juga suka membelikan aku baju atau krim tangan, supaya tanganku tidak membengkak akibat ”serangan” musim dingin. Ya, musim dingin tahun lalu, kali pertama aku bekerja di rumah itu. Mereka tampak masih cuek terhadap kehadiranku. Berbeda dengan tahun ini, perhatian mereka jauh lebih besar. Mungkin mereka mulai merasa cocok melihat aku sudah bisa beradaptasi dengan anggota keluarga.

Anak asuhku seorang remaja pria berusia 16 tahun. Ia penurut dan tidak suka mengadu pada majikan, meskipun aku sering berbuat kesalahan. Misal, keliru menyiapkan seragam sekolah maupun telat membangunkan. Begitu juga dengan nenek, yang sehari-hari lebih banyak diisi dengan duduk di atas kursi roda. Ia tak banyak omong, bicara ala kadarnya. Mungkin karena itulah, kedua majikan menilaiku baik. Suasana kekeluargaan yang sungguh menentramkan hati.

Namun seiring guliran waktu, keharmonisan keluarga majikan yang pernah kunikmati tiba-tiba lenyap ketika masa kerjaku menginjak satu tahun. Tidak tanggung-tanggung, aku dipulangkan majikan tanpa pemberitahuan. Hal ini sama sekali di luar dugaan. Bahkan, tak pernah sekalipun terlintas dalam benak, aku bakal dideportasi majikan secara mendadak. Itu semua jika mengingat kedekatanku dengan majikan selama ini.

Toh, aku tidak bisa mengelak dari keharusan pergi meninggalkan Hong Kong, Januari 2008. Jujur, tiga hari sebelum majikan menyuruhku pulang, aku memang sempat bertengkar hebat dengan kakek. Pertengkaran itu sempat dilerai oleh nenek, yang notabene mulai berkurang pendengarannya.

Meskipun melerai, nenak sejatinya tidak tahu ada persoalan apa antara aku dengan kakek – suaminya. Sepengetahuan nenek, aku telah membantah omongan kakek, yang akhirnya menyuruhku pergi dari rumah itu. Aku tidak bisa menyalahkan nenek, kalau pada akhirnya nenek mengadukan apa yang ia lihat kepada nyonya dan tuan.

Celaka... Kakek sungguh keterlaluan telah memberikan cerita palsu. Kepada anaknya, kakek bilang aku telah melawan. Tidak mau diperintah dan suka marah-marah. Harus kuakui, saat itu aku memang melawan, membantah, dan menolak perintah kakek. Lha, bagaimana mau kuturuti? Wong, kakek menyuruhku membuka baju dan meminta dilayani layaknya pasangan suami istri.

Kakek asuhku memang sudah lanjut tua, meski aku tak tahu persis berapa umurnya. Sekalipun sudah uzur, kakek tak pernah pakai tongkat. Barangkali karena setiap pagi dan sore ia rutin pergi jogging, sehingga badannya jadi kelihatan sehat.

Gelagat kalau si kakek ada ”maksud-maksud tertentu”, sebenarnya sudah kutangkap sejak jauh-jauh hari. Kalau tak salah, menginjak bulan kedua aku bekerja di rumah itu. Masih kuingat, hari itu kakek menyuruhku mencari mokan cai di lemari bajunya. Tetapi kucari-cari di lipatan baju-bajunya, handuk kecil itu tak juga ketemu. Kemudian, kakek menyuruh aku mencari di kardus baju yang ditaruh di bawah kolong tempat tidur. Nah, ketika lagi membungkuk inilah, kakek memeluk aku dari belakang. Aku spontan berteriak, meski hanya didengar oleh bising kendaraan jalan raya. Sejak itu, aku diburu rasa ketakutan.

Sikap ”genit” kakek sempat agak berkurang dari waktu ke waktu. Paling banter, sekadar memandang dengan tatapan nakal. Selain itu, setiap kali mau tidur, selalu bilang codhao sambil bilang: mou so mun di dekat telingaku. Kuabaikan saja permintaan itu, karena kedua majikanku yang tidur di lantai atas selalu berpesan untuk mengunci pintu.

Kesan di mata keluarga majikan, kakek orang yang baik. Sebab, kepadaku ia tak pernah bicara kasar, keras, apalagi membentak. Meminta tolong sesuatu ia selalu bilang: emkoi, emkoi sae, toche, toche sae. Tetapi, mana keluarganya tahu kalau sikap kakek sebenarnya untuk menutupi hidungnya yang belang.

Terus-terusan dikasih perhatian oleh kakek sungguh risih. Bagaimana tidak, ke manapun aku pergi, selalu diikuti. Aku ke dapur, ia ikutan masuk dapur dengan berbagai alasan. Entah itu mau buat kopi-lah, minum air-lah, atau alasan membantuku memasak. Ketika aku punya jatah menyapu atau mengepel, kakek juga menggunakan berbagai dalih untuk menarik simpatiku. Terkadang, ia malah yang mengambil alih tugas membersihkan rumah. Keluarga majikan senang, tetapi aku yang senep. Soalnya di antara kedekatan itu, tak jarang ia berbuat yang ”menjurus” dan cenderung tak senonoh.

Hampir satu tahun, perselisihan dengan kakek tak diketahui keluarga yang lain. Kami berdua selalu berusaha menyimpannya rapat-rapat. Sebab, aku tak ingin dipulangkan majikan gara-gara itu. Tetapi sial, pertengkaran yang tersimpan rapat itu akhirnya meledak tiga hari sebelum aku resmi di-PHK.

Malam itu, aku kecapean setelah seharian menemani nenek tamaciok di rumah temannya yang sedang berulangtahun. Ngerti sendiri tugas seorang pembantu. Diajak ke rumah temannya, kebagian membantu tuan rumah memasak dan cuci piring. Saking capeknya, sesampai di rumah aku langsung tidur, lagian juga sudah tengah malam. Tuan dan nyonya serta anaknya ada di kamar atas, yang aku sendiri tak tahu apakah mereka sudah tidur. Dari dulu, majikan memang tak mau tahu dengan urusanku di bawah. Nah, waktu itu aku lupa mengunci pintu dan menghidupkan alarm.

Pagi sekitar pukul 07.10, samar aku mendengar bisikan dan terasa ada tangan lembut menyentuh pipiku. Mulanya kuabaikan, tetapi lama-lama kesadaranku pulih. Seketika aku berteriak saking kagetnya. Benar saja, kakek berdiri di depanku dengan wajah cengengesan. Aku pun mengumpat memarahi kakek. Tak lama, seluruh anggota keluarga datang ke kamarku.

Belum sempat aku memberi penjelasan, kakek langsung bilang kalau aku marah gara-gara dibangunkan. Ya, ampun…kakek kok begitu. Kepada mereka aku cuma bilang tuemchi, karena terlambat bangun. Setelah itu aku ke kamar mandi seperti perintah majikan. Sebenarnya sih majikan tidak marah, mereka memaklumi kondisiku yang kurang tidur.

Pukul 09.30, ketika kedua majikan dan anak asuhku sudah pergi dengan aktivitasnya masing-masing, kakek ”kumat” lagi. Ke dapur, ruang tamu, kamar mandi, pokoknya ke mana aku bekerja selalu diikutinya. Hatiku sudah mulai kesel dan jengkel setengah mati. Tetapi apalah daya, melawan kakek bisa-bisa berakibat fatal. Di rumah ini dia ibarat majikan kedua. Namun, karena kakek sudah berani mendorong badanku ke ranjang – ketika aku membersihkan kamar majikan – kemarahanku tak bisa lagi dibendung.

Kudorong badan kakek sampai tersandar di meja tata rias nyonya. Saat itu…rasanya aku sudah begitu berani, tentu saja melawan kakek. Dia mukul, balik kupukul. Dia nendang kakiku, kutendang balik kakinya. Sampai kemudian, kakek mendorong tubuhku keluar dari kamar dan lantai dua itu. Sesampai di lantai bawah pun kakek bersikeras mengusirku keluar dari rumah. Pertengkaran inilah yang kemudian ditangkap nenek dan diceritakan kepada majikanku.

Malam itu, kedua majikan mempertanyakan keributan itu padaku secara langsung, di hadapan kakek dan nenek. Dengan bahasa Kanton campur Inggris, kuceritakan jujur sesuai kenyataan yang ada. Kakek berusaha membela diri, ketika kedua majikanku tampak marah-marah sama kakek. Sampai akhirnya, kakek ngambek masuk kamar dan tak jadi ikut makan bareng. Sikap kedua majikan yang tidak menelan mentah-mentah cerita kakek, wajib kusyukuri. Sesuatu yang kupikir tidak dimiliki oleh majikan lain.

Keesokan harinya, suasana kembali seperti semula, seolah tidak terjadi apa-apa. Hatiku sudah mulai lega, tidak terbelenggu oleh rasa ketakutan yang selama ini setia melingkari hari-hari. Tetapi, apa yang terjadi pada esok lusa? ”Benahi bajumu dan kita ke bandara,” perintah majikanku pada Minggu siang – liburku dua bulan dua kali. Aku masih bingung, belum paham apa maksud majikan. Mau bertanya, aku tak punya keberanian. Aku hanya menurut.

Sesampai di bandara, sesaat setelah dokumen, tiket dan pesangon serta gaji terakhir diberikan majikan, baru aku tahu: aku telah di-PHK. Karena belum ingin pulang ke tanah air, aku memutuskan meninggalkan bandara untuk kembali ke pusat kota Hong Kong, hanya selisih 30 menit dari majikan yang sengaja meninggalkan aku sendirian di bandara. Entah bagaimana caranya, aku tetap hendak merajut impian yang nyaris kandas gara-gara ulah si kakek genit itu. (Dituturkan ”M” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

Jumat, 11 April 2008

RATAP TAK BERSUARA DARI BALIK PENJARA

Andai burung camar sudi terbang pada padang
Andai kupu-kupu mampu terbang di balik awan
Mana mungkin tangis ini cuma jadi hiasan malam

Kau lihatlah teman
Aku meringkuk di balik terali besi
Bercengkrama dengan kesunyian
Teman setiaku hanya tikar usang
Ratapanku hanya di dengar ilalang

Sudah hilang sekeping ceria yang pernah kupunya
Sudah tak ada sepotong harap yang pernah ada
Sementara indahnya salju masih bermain dipelupuk mata
Aku disini..tertimbun oleh tuduhan tanpa keadilan

Tidakkah kau rasakan resahku wahai teman?
Tidakkah kau mendengarnya?
Jiwaku, hatiku, hidupku, tersayat perih
Tak ada bahagia di tempat keterasingan ini

Ayolah, teman! bantulah aku Keluarkan aku dari sini.
Agar udara segar benahi fikiranku.
Kenapa kalian, diam?
Kenapa kalian membisu?
Bukankah kalian tau,
Renta kembali ke alam baka bukan karna salahku.
Tuhan yang berkehendak mengambilnya, bukan?

Teman..Datanglah padaku
bawa setetes air kedamaian
Agar jiwaku tak rebah dirantau orang

(Buat seorang BMI yang kini meringkuk dalam penjara perempuan Hong Kong. Karena kasus kematian nenek yang di rawatnya setahun. Ia tertuduh membunuh nenek itu dengan sebiji buah kelengkeng.)

RATAP TAK BERSUARA DARI BALIK PENJARA

Andai burung camar sudi terbang pada padang
Andai kupu-kupu mampu terbang di balik awan
Mana mungkin tangis ini cuma jadi hiasan malam

Kau lihatlah teman
Aku meringkuk di balik terali besi
Bercengkrama dengan kesunyian
Teman setiaku hanya tikar usang
Ratapanku hanya di dengar ilalang

Sudah hilang sekeping ceria yang pernah kupunya
Sudah tak ada sepotong harap yang pernah ada
Sementara indahnya salju masih bermain dipelupuk mata
Aku disini..tertimbun oleh tuduhan tanpa keadilan

Tidakkah kau rasakan resahku wahai teman?
Tidakkah kau mendengarnya?
Jiwaku, hatiku, hidupku, tersayat perih
Tak ada bahagia di tempat keterasingan ini

Ayolah, teman! bantulah aku Keluarkan aku dari sini.
Agar udara segar benahi fikiranku.
Kenapa kalian, diam?
Kenapa kalian membisu?
Bukankah kalian tau,
Renta kembali ke alam baka bukan karna salahku.
Tuhan yang berkehendak mengambilnya, bukan?

Teman..Datanglah padaku
bawa setetes air kedamaian
Agar jiwaku tak rebah dirantau orang

(Buat seorang BMI yang kini meringkuk dalam penjara perempuan Hong Kong. Karena kasus kematian nenek yang di rawatnya setahun. Ia tertuduh membunuh nenek itu dengan sebiji buah kelengkeng.)

Selasa, 08 April 2008

KOMPETISI FOTO MAJALAH LIBERTY

Kowloon- Untuk menjembatani minat BMI dalam dunia foto model sekaligus menjaring minat baca, Majalah Liberty mengelar kompetisi foto model dengan tema Ekspresi dari Seberang, minggu, 20/5 di City University Of Hong Kong, Kowloon Tong.

Kendati baru kali pertama menyelenggarakan acara di hong kong namun acara yang khusus ditujukan buat BMI ini berjalan lancar dan sukses. Hal itu terbukti dari membludaknya acara yang di dukung NBF dan Majalah Ekspresi dan di ikuti sekitar 104 peserta.

Sebelum acara, panitia telah menyaring dan menyeleksi foto foto peserta yang dilakukan oleh juri di Indonesia. Dus, kegiatan pada minggu lalu itu lebih untuk melengkapi dan menambah nilai, disamping menjadi ajang unjuk kebolehan peserta yang mayoritas pembaca setia Liberty. Di hong kong, juri terdiri atas perwakilan dari dari Dr. Smit dan dari Stenly Club, Iwansyah.
Meskipun ada penilaian performance, dan kecerdasan peserta namun nilai tertinggi tetap diambil dari karya foto mereka. "Nilainya 75 persen dilihat dari foto''ujar Tania Rose dari Liberty . Masih menurut Tania 25 peserta yang masuk dalam babak final berhak mendapat gelar gadis sampul majalah Liberty, karena foto-foto ke 25 ini akan menjadi cover majalah liberty.

Menurut keterangan beberapa peserta, sebagian besar murni berpartisipasi meramaikan acara yang di gelar majalah kesayangan, selain untuk mengali bakat dan kemampuan di bidang photo model, tapi ada juga yang berkomentar: asal foto gue mejeng di koran. Dari 104 peserta, dua nomor di nyatakan gugur. Lantaran kedua peserta tersebut BMI sekaligus pembaca yang bekerja di Taiwan. ''Komitmen kami hanya khusus bagi BMI Hong Kong''sambung Tania.
Selain lomba foto, membludaknya BMI pada acara itu ternyata juga dipicu oleh kehadiran pengasuh rubric konsultasi dari majalah tersebut. Yakni, Pimpinan padepokan Bumi Wali Songo, Drs. H Imam Soroso, atau yang biasa di panggil Mbah Roso dan Drs . Hj. Asih Marlyna MBA alias Djeng Asih. Sepasang suami istri asal Kudus Jawa Tengah ini, agaknya cukup lekat di telingga kalangan BMI. Sayang, Djeng Asih akhirnya batal datang. Kehadiran Mbah Roso tentu menjadi obat penantian sebagian BMI yang ingin berkonsultasi langsung seputar problem rumah tangga, jodoh, dan masalah lain. Namun, lantaran mepetnya waktu dan saking banyaknya calon pasien, mereka harus bersabar menunggu kedatangan mbah roso di lain waktu. '' Isya allah bulan depan saya datang lagi ke Hong Kong ,'' janji Mbah Roso.

Sedangkan lomba foto model jatuh pada Suminah (juara 1), disusul Iva Nurcholifah dan Resmi Sulistyowati . Sementara foto favorit pilihan penonton di raih oleh Trisusilo Wati, disusul Maslikah, dan Grace Supardi. Selamat buat para pemenang! (KDS)

KOMPETISI FOTO MAJALAH LIBERTY

Kowloon- Untuk menjembatani minat BMI dalam dunia foto model sekaligus menjaring minat baca, Majalah Liberty mengelar kompetisi foto model dengan tema Ekspresi dari Seberang, minggu, 20/5 di City University Of Hong Kong, Kowloon Tong.

Kendati baru kali pertama menyelenggarakan acara di hong kong namun acara yang khusus ditujukan buat BMI ini berjalan lancar dan sukses. Hal itu terbukti dari membludaknya acara yang di dukung NBF dan Majalah Ekspresi dan di ikuti sekitar 104 peserta.

Sebelum acara, panitia telah menyaring dan menyeleksi foto foto peserta yang dilakukan oleh juri di Indonesia. Dus, kegiatan pada minggu lalu itu lebih untuk melengkapi dan menambah nilai, disamping menjadi ajang unjuk kebolehan peserta yang mayoritas pembaca setia Liberty. Di hong kong, juri terdiri atas perwakilan dari dari Dr. Smit dan dari Stenly Club, Iwansyah.
Meskipun ada penilaian performance, dan kecerdasan peserta namun nilai tertinggi tetap diambil dari karya foto mereka. "Nilainya 75 persen dilihat dari foto''ujar Tania Rose dari Liberty . Masih menurut Tania 25 peserta yang masuk dalam babak final berhak mendapat gelar gadis sampul majalah Liberty, karena foto-foto ke 25 ini akan menjadi cover majalah liberty.

Menurut keterangan beberapa peserta, sebagian besar murni berpartisipasi meramaikan acara yang di gelar majalah kesayangan, selain untuk mengali bakat dan kemampuan di bidang photo model, tapi ada juga yang berkomentar: asal foto gue mejeng di koran. Dari 104 peserta, dua nomor di nyatakan gugur. Lantaran kedua peserta tersebut BMI sekaligus pembaca yang bekerja di Taiwan. ''Komitmen kami hanya khusus bagi BMI Hong Kong''sambung Tania.
Selain lomba foto, membludaknya BMI pada acara itu ternyata juga dipicu oleh kehadiran pengasuh rubric konsultasi dari majalah tersebut. Yakni, Pimpinan padepokan Bumi Wali Songo, Drs. H Imam Soroso, atau yang biasa di panggil Mbah Roso dan Drs . Hj. Asih Marlyna MBA alias Djeng Asih. Sepasang suami istri asal Kudus Jawa Tengah ini, agaknya cukup lekat di telingga kalangan BMI. Sayang, Djeng Asih akhirnya batal datang. Kehadiran Mbah Roso tentu menjadi obat penantian sebagian BMI yang ingin berkonsultasi langsung seputar problem rumah tangga, jodoh, dan masalah lain. Namun, lantaran mepetnya waktu dan saking banyaknya calon pasien, mereka harus bersabar menunggu kedatangan mbah roso di lain waktu. '' Isya allah bulan depan saya datang lagi ke Hong Kong ,'' janji Mbah Roso.

Sedangkan lomba foto model jatuh pada Suminah (juara 1), disusul Iva Nurcholifah dan Resmi Sulistyowati . Sementara foto favorit pilihan penonton di raih oleh Trisusilo Wati, disusul Maslikah, dan Grace Supardi. Selamat buat para pemenang! (KDS)

Rabu, 02 April 2008

T R A N S P A R A N

Kemarin, aku benar benar Bete tiada terkira. Seharian di depan computer, yang jelas sangat menyita waktu buat menyelesaikan kerjaan. Blogku tiba-tiba saja amburadul. Histast gak berfungsi, flickr gak jalan, Cbox tiba tiba hilang, dan tinggal kerangkanya doang. Bahkan untuk ngelihat komentar yg barusan aku moderasipun aku tak bisa. Aneh khan? Aku sampai nangis lho, kemarin itu. Sempat juga kepikiran menghapus blog alias berhenti ngeblog. Wong udah diutak atik tetap gak bisa. Putus asa deh gw..
Mau tak mau, aku teriak2 di YM, minta pertolongan orang orang yg mau nolong. Sekitar delapan blog’r akhirnya turut menyingsingkan lengan ngebantu diriku yg masih cenggeng.Genx, Bang Andi, Agus, Andre, hakim tea, Hacker turut sibuk ngecek SB bahkan sampai ke komentar. Kata teman-teman sih gak ada masalah, bahkan mereka juga ngopi paste tulisan yg ada di SB untuk diriku di YM. Tapi kenapa aku gak bisa ngelihat blogku?? Apakah komp ku yg bermasalah? Yang jelas begitulah.hi..hi..


Tangisku reda begitu hakimtea suruhan komendannya(bang andi) dengan suka rela memberiku arahan menetralisir amukan blogku. Meski hingga saat ini belum normal, tapi aku sudah bisa bernafas dengan lega.
So, aku minta maaf buat teman2 yag kemarin ninggalin pesan di SB gak sempat kubalas. And thank’s buat teman2 yag kemarin menenangkan jiwaku.
Akibat dari ulah komp, aku gak bisa buka email yg biasanya 3 x sehari. Sore, begitu blogku dah mulai “baikan” aku buka email. Dari sekian banyaknya email, aku tertegun dengan email ini.

Yth, Kristina
Saya search di yahoo tentang BMI Hongkong tapi membawa saya ke website anda, kebetulan saya sedang mencari info seputar BMI untuk bisa saya sajikan untuk majalah Indonesia di Taiwan dengan nama
Taiwan Index Magazine International atau TIM International.


Saya sedang mengira kalau saya juga bisa bekerjasama dengan informasi seputar BMI di Hongkong entah soal permasalahan, cerita-cerita seputar BMI, kekerasan bahkan sampai persahabatan antara BMI di hongkong dengan para BMI di Taiwan. Jadi melalui surat ini, boleh tidak saya minta kerjasama dengan mbak agar bisa memberikan informasi seputar BMI Hongkong.(Satu alenia tidak saya posting karena keterbatasan halaman,he..he..) Mohon balasannya. Terima Kasih.
Redaksi TIM International

Saat itu juga, email itu ku forwad ke
Nanang Junaedi, Redaktur Apakabar. Karena bagaimanapun, sekecil apapun, jika menyangkut urusan gituan (he..he..karena aku anaknya apakabar), mereka mesti dikasih informasi. E-mailku direspon dengan cepat (barangkali Bung daktur masih didepan computer habis deadline). Berikut sepenggal Replaynya:


Ceritakan saja sebaik dan sejujurnya tentang BMI HK. Tertarik kerja sama, ya mari... Mau kerja sama dg Kristina Dian Safitry sebagai pribadi, silakan. Mau dg AK sebagai institusi, ya silakan. Manajemen AK sendiri sebenarnya punya "mimpi" utk merajut kerja sama dg banyak mitra di banyak negara, karena AK juga pengin terbit dan beredar di banyak negara. So, mengalir saja ndhuk... Ceritakan opo anane ttg "keindahan" HK, lalu minta mereka kasih info ttg jati diri mereka (TIM) dan penerbitan yg mereka lakukan. NJ.

Bagaimana menurut teman teman? Ada yg sependapat dengan saran Bung Daktur? Atau teman teman punya pandangan lain about that?he..he… Jujur, aku memiliki banyak pertimbangan untuk menyambut baik ajakan Taiwan Index Magazine International.

T R A N S P A R A N

Kemarin, aku benar benar Bete tiada terkira. Seharian di depan computer, yang jelas sangat menyita waktu buat menyelesaikan kerjaan. Blogku tiba-tiba saja amburadul. Histast gak berfungsi, flickr gak jalan, Cbox tiba tiba hilang, dan tinggal kerangkanya doang. Bahkan untuk ngelihat komentar yg barusan aku moderasipun aku tak bisa. Aneh khan? Aku sampai nangis lho, kemarin itu. Sempat juga kepikiran menghapus blog alias berhenti ngeblog. Wong udah diutak atik tetap gak bisa. Putus asa deh gw..
Mau tak mau, aku teriak2 di YM, minta pertolongan orang orang yg mau nolong. Sekitar delapan blog’r akhirnya turut menyingsingkan lengan ngebantu diriku yg masih cenggeng.Genx, Bang Andi, Agus, Andre, hakim tea, Hacker turut sibuk ngecek SB bahkan sampai ke komentar. Kata teman-teman sih gak ada masalah, bahkan mereka juga ngopi paste tulisan yg ada di SB untuk diriku di YM. Tapi kenapa aku gak bisa ngelihat blogku?? Apakah komp ku yg bermasalah? Yang jelas begitulah.hi..hi..


Tangisku reda begitu hakimtea suruhan komendannya(bang andi) dengan suka rela memberiku arahan menetralisir amukan blogku. Meski hingga saat ini belum normal, tapi aku sudah bisa bernafas dengan lega.
So, aku minta maaf buat teman2 yag kemarin ninggalin pesan di SB gak sempat kubalas. And thank’s buat teman2 yag kemarin menenangkan jiwaku.
Akibat dari ulah komp, aku gak bisa buka email yg biasanya 3 x sehari. Sore, begitu blogku dah mulai “baikan” aku buka email. Dari sekian banyaknya email, aku tertegun dengan email ini.

Yth, Kristina
Saya search di yahoo tentang BMI Hongkong tapi membawa saya ke website anda, kebetulan saya sedang mencari info seputar BMI untuk bisa saya sajikan untuk majalah Indonesia di Taiwan dengan nama
Taiwan Index Magazine International atau TIM International.


Saya sedang mengira kalau saya juga bisa bekerjasama dengan informasi seputar BMI di Hongkong entah soal permasalahan, cerita-cerita seputar BMI, kekerasan bahkan sampai persahabatan antara BMI di hongkong dengan para BMI di Taiwan. Jadi melalui surat ini, boleh tidak saya minta kerjasama dengan mbak agar bisa memberikan informasi seputar BMI Hongkong.(Satu alenia tidak saya posting karena keterbatasan halaman,he..he..) Mohon balasannya. Terima Kasih.
Redaksi TIM International

Saat itu juga, email itu ku forwad ke
Nanang Junaedi, Redaktur Apakabar. Karena bagaimanapun, sekecil apapun, jika menyangkut urusan gituan (he..he..karena aku anaknya apakabar), mereka mesti dikasih informasi. E-mailku direspon dengan cepat (barangkali Bung daktur masih didepan computer habis deadline). Berikut sepenggal Replaynya:


Ceritakan saja sebaik dan sejujurnya tentang BMI HK. Tertarik kerja sama, ya mari... Mau kerja sama dg Kristina Dian Safitry sebagai pribadi, silakan. Mau dg AK sebagai institusi, ya silakan. Manajemen AK sendiri sebenarnya punya "mimpi" utk merajut kerja sama dg banyak mitra di banyak negara, karena AK juga pengin terbit dan beredar di banyak negara. So, mengalir saja ndhuk... Ceritakan opo anane ttg "keindahan" HK, lalu minta mereka kasih info ttg jati diri mereka (TIM) dan penerbitan yg mereka lakukan. NJ.

Bagaimana menurut teman teman? Ada yg sependapat dengan saran Bung Daktur? Atau teman teman punya pandangan lain about that?he..he… Jujur, aku memiliki banyak pertimbangan untuk menyambut baik ajakan Taiwan Index Magazine International.