
Sekitar pukul 3 sore kami cabut dari kafe. Santy melanjutkan laju kakinya ke Wan Chai, katanya ada yang perlu diliput disono. Aku berencana ke Nort Point, dan Jessy berencana pulang ke building, melanjutkan tidurnya. Tapi setelah mengantar Santy ke Halte Trem, aku sama Jessy malah sepakat jalan jalan sore di wilayah Jordan pada petang. Ya udah, aku memilih melanjutkan ngetik materi tulisan features di rumahnya.Belum sempat membuka Microsoft Word, terdengar keributan dirumah yang sebagain kamarnya di sewakan bagi BMI yang membutuhkan tempat tinggal itu. Meski begitu, aku tak hirau, sebab yg beributan itu sepasang kekasih. Lagian, keributan itu hanya via phone. Entah bagaimana awalnya, tiba tiba si Jessy yang sedari tadi telepon teleponan, menyodorkan Nokianya ke aku. “Ada yang mo bicara bentar”begitu kata Jessy sebelum telepon kuambil alih.
“ Kak Dian jemput aku dong. Bilang sama Tian, jangan pukul aku lagi. Aku takut kak….”begitu kata dari seberang.
“Kamu dimana, dik?”daku balik bertanya sambil mikir: siapa gerangan anak itu?
“Aku dilorong kak. Tapi aku gak tahu di daerah mana ini….”
“lha kalo kamu gak tahu dimana posisimu, gimana aku bisa menjemput?”
Setelah ia ngaku bernama Umi, ia mematikan telepon tanpa mengatakan keadaan maupun posisinya saat itu. Umi????berarti anak yang ketemu sama kami tadi,khan?.
Jessy sigap. Menghubungi beberapa teman-temannya maupun anak yang kos di tempatnya. Kami peroleh informasi diamana gerangan gadis berusia 22 tahun itu. Tapi sial, lima menit sebelum kami tiba disuatau tempat, Uminya telah raib. Dibawa temanya ke Discotiq.Aku dan Jessypun balik arah pulang ke apartemen lagi.
Ealah, begitu nyampe apartemen, si Umi malah sudah berada di rumah. Katanya sih ia pun barusan tiba. Kondisi Umi sangat memprihatinkan. Kedua matanya rapat terpejam terbaring diatas tempat tidur. Kaki tanganya sedingin salju. Bibirnya mulai membiru dan sesekali meleleh air liur dari sudut bibir hitamnya itu. Ketika aku duduk ditepi pembaringan ingin tahu keadaanya ia langsung membuka mata bahkan meletakkan kepalanya dipahaku. “Kak Dian…dingin”ujarnya sambil menggigil.
Tetapi siapa sangka, spontanitas, ia meraih lengan kananku dan mengigitnya kuat kuat. Terang aja, aku menjerit kesakitan. Eh, bukanya dilepaskan gigitanya, Umi malah semakin beringas hendak memakan daging mentah lenganku. Darah segar menetes dari 7 luka bekas gigitan Umi.
Malam harinya, aku demam. Lenganku membengkak dan meninggalkan rasa panas yg luar biasa. Malam itu aku menangis. Menangis bukan hanya oleh rasa sakit, tetapi aku menangisi diriku yang saat itu sedang bersiap terbang ke Taiwan dan berlanjut ke tanah air. aku binggung:haruskah pulang dalam keadaan tangan terluka??bagaimana perasaan ayah bunda dan saudara saudaraku? Aku yakin, jika keluargaku tahu akan luka itu, mereka tak bakal menguzinkan aku menyeleseikan tugas yg tinggal setahun lagi.
Keesokanya aku memutuskan berobat ke dokter meski dengan resiko diinterviw polisi karena luka itu. Sedikit catatan, di Hong Kong merupakan Negara hokum. Tak dibenarkan adanya kekerasan apalagi kekerasan itu menimpa pekerja asing. Itu bisa diusut, jika ketahuan polisi. Makanya, pada hari itu aku tak bisa menuruti ajakan teman teman untuk pergi RS. Perlu pertimbangan matang meski aku tak bersalah. Aku hanya kasihan pada Umi, yang rupanya saat itu ia sedang flay berat nenggak Estasy bahkan hamper Over Dosis(OD).Sekeluar dari ruangan dokter, aku langsung ke agen penjualan tiket meng-encel penerbangan yang sudah dijadwalkan pada 19 mei. Berhubung, ada musibah itu, penerbangan baru akan aku mulai hari ini. Minggu ke-4 di bulan mei. SAMPAI BERTEMU LAGI.