Minggu, 31 Agustus 2008

Happy On Sunday

Dalam menyambut bulan suci Ramadhan, sekaligus mencari udara segara agar benahi pikiran, kemarin aku pergi ke Chung Hong Kok Beach (pantai) bersama teman teman dari organisasi Sekar Bumi.
Sambil nunggu teman teman di markas Sekar Bumi di Wan Chai, daku nyempetin potret potretan,he..he..*dari pada BeTe*

Naik Siu Pa, kami berangkat tepat matahari diatas kepala. Sesampai di tempat tujuan, sehabis menyikat barang bawaan, kami njebur kepantai.
Aku dan Fransiska boleh dikatakan sedikit berani berenang hingga ketengah, mencapai batas larangan. Meskipun koresponden Sinar Harapan dan Reporter Tabloid Suara ini rada terengah, tapi akhirnya kami mampu juga duduk sebentar di atas tempat duduk mengambang di tengah laut. Menyenangkan, berkawan dengan teman teman yang bisa seiring sejalan.
So,buat rekan rekan sesama blogger yang beragama islam daku mau ngucapin: Selamat Menunaikan ibadah puasa 1429H. Semoga di bulan yang sangat mulia ini kita semua diberi kekuatan lahir&batin untuk dapat menjalaninya.Amin.

Happy On Sunday

Dalam menyambut bulan suci Ramadhan, sekaligus mencari udara segara agar benahi pikiran, kemarin aku pergi ke Chung Hong Kok Beach (pantai) bersama teman teman dari organisasi Sekar Bumi.
Sambil nunggu teman teman di markas Sekar Bumi di Wan Chai, daku nyempetin potret potretan,he..he..*dari pada BeTe*

Naik Siu Pa, kami berangkat tepat matahari diatas kepala. Sesampai di tempat tujuan, sehabis menyikat barang bawaan, kami njebur kepantai.
Aku dan Fransiska boleh dikatakan sedikit berani berenang hingga ketengah, mencapai batas larangan. Meskipun koresponden Sinar Harapan dan Reporter Tabloid Suara ini rada terengah, tapi akhirnya kami mampu juga duduk sebentar di atas tempat duduk mengambang di tengah laut. Menyenangkan, berkawan dengan teman teman yang bisa seiring sejalan.
So,buat rekan rekan sesama blogger yang beragama islam daku mau ngucapin: Selamat Menunaikan ibadah puasa 1429H. Semoga di bulan yang sangat mulia ini kita semua diberi kekuatan lahir&batin untuk dapat menjalaninya.Amin.

Jumat, 29 Agustus 2008

Siksa Di"Kebun Binatang"

Oleh: Kristina Dian Safitry
Dua bulan bekerja di sebuah vila di Yuenlong, ibarat setahun hidup di neraka. Tita harus bekerja di luar batas kemanusiaan.Ia harus memelihara 50-an jenis hewan piaraan. Sementara, dalam sehari, praktis ia cuma tidur sejam, sebelum akhirnya: di-terminate majikan tanpa ampun.
Wajahnya masih pucat berhiaskan bekas luka. Tubuhnya kecil, kurus, dan kelihatan masih
gemetar. Tiada senyum, apalagi tawa dari sela-sela bibirnya yang kering. Ia lebih banyak menunduk, tak bersuara, saat ditemui Apakabar di kantor Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia(ATKI), beberapa waktu lalu. Butuh kesabaran ekstra untuk mengorek cerita dari gadis kelahiran 1986 asal Jawa Timur ini.

Setamat SMA (2005), Tita berkeinginan kuat membantu memperbaiki ekonomi keluarga, sekaligus membiayai sekolah bagi kedua adiknya. ”Sebagai anak sulung, saya merasa memiliki tanggung jawab setelah lulus sekolah,” tuturnya. Untuk mewujudkan dorongan hati, ia pun mendaftar ke PT Sukses Mandiri, Bekasi, Jawa Barat.


Bersyukur, tak lama masuk penampungan, ada majikan yang menginginkan tenaganya. Surat kontrak kerja ia tanda tangani pada 15 September 2006. Berisi uraian tugas yang harus ia kerjakan: cuci mobil, memlihara taman dan 10 ekor anjing. Tepat setelah enam bulan di penampungan, ia pun berangkat pada 17 November 2006. Anak buah Kasa Maid Agency itu langsung mulai bekerja di sebuah vila bertingkat tiga 297 Pak Sha Tsuan, Yuenlong.

Kali pertama memasuki vila, Tita kaget mendapati suasana di tempat kerjanya. Pasalnya, vila yang dihuni lima anggota keluarga itu, lebih pantas disebut kebun binatang. Ada 30 ekor anjing berkeliaran di area dan di dalam rumah. Marmut 10 ekor dan tujuh kelinci yang juga dibiarkan lepas. Ada pula 11 ekor kura-kura berukuran besar-kecil. Belum lagi tujuh sangkar yang berisi aneka jenis burung, serta beragam jenis ikan di kolam halaman vila dan akuarium.

”Di vila itu, tugas saya merawat rumah dan hewan, karena anak-anak majikan sudah besar,” ujarnya. Tak merawat anak, tentu, bukan berarti pekerjaannya jadi ringan. Mencuci mobil, membersihkan rumah tiga tingkat, halaman, menyetrika, masak, dan mencari rumput untuk hewan mamalia. Sang majikan mengultimatum: ia boleh tidur jika seluruh pekerjaan sehari telah beres. ”Praktis, dalam sehari, saya cuma memiliki waktu tidur 30-60 menit,” imbuhnya.

Selama bekerja di dusun pelosok itu, tak sekalipun Tita melahap nasi di siang hari. Jatahnya cuma dua lembar roti. Itupun kalau ia sudah menyelesaikan tugas rutin di pagi hari: menyapu, membersihkan halaman, kolam, juga menyiram bunga. Kalau belum kelar, ia cuma berhak atas selembar roti.

Untuk mendapatkan semangkok nasi, Tita harus ”berjuang” keras sehari penuh. Baru sekitar pukul 3-4 dini hari, setelah majikan memastikan tidak ada pekerjaan yang tercecer, ia beroleh nasi. Berlanjut membersihkan badan dan melepas lelah sejenak.

Tubuh Tita memang penuh bekas luka. Di pipinya, ada warna putih akibat kena seterika. Kaki dan tangannya tak semulus dulu, sebelum ia tiba di Hong Kong. Pahanya membiru. Kedua matanya berlingkar warna hitam pekat. Giginya pun copot satu di bagian depan.

Menurut Tita, giginya tanggal akibat terbentur benda keras. Saat itu, seperti biasa, pada pukul 1 dini hari, ia pergi membuang sampah memakai troller ke luar area rumah. Saking ngantuknya, tiba-tiba ia kesliyer. Pegangan troller terlepas, meluncur ke bawah. Ia hampir terjatuh ke tanah. Entah wajahnya terbentur di mana, tahu-tahu mulutnya berdarah. Gigi depan lepas satu.

Tita memang ”disulap” majikan bak kelelawar. Ia diperintah beraksi keluar rumah pada malam hari. Tiap pukul dua dini hari, ia harus berkeliaran di pinggir-pinggir jalan, membelah desa Yuenlong yang sepi. Ia menenteng keranjang rumput, celingukan mencari rumput segar untuk makanan hewan piaraan.

Usai merumput, ia masih harus menyetrika. Tak terbayang, rasa kantuknya kian mendera. Tanpa disadari, ia terlelap sekejap. Wajahnya terantuk, tepat mengenai setrika panas. Melepuh. Dari situlah, kadang ia memilih menyetrika baju di pagi hari. Namun akibatnya, ia didenda HK$ 20, dianggap tak mampu menyelesaikan pekerjaan.

Sebagai gadis lugu, Tita menjalani saja apapun perintah majikan. Ia coba bersabar, meski majikan banyak ”suara”. Ia juga tak protes ketika gaji pertamanya hanya tersisa HK$ 3, sekitar tiga ribu rupiah. Gaji pertamanya memang sesuai prosedur. Tapi selain untuk membayar potongan agen, gajinya juga didiskon majikan untuk bayar ganti rugi: HK$ 5 jika terlambat bangun, HK$ 20 jika pekerjaan tak kelar, dan untuk beli peralatan mandi. ”Walau sudah sepasrah itu, saya tetap di-terminate majikan,” ratapnya.

Penghentian sepihak itu disampaikan mendadak, hanya lima menit. Bahkan untuk mandi saja dilarang. Tita hanya boleh ganti baju. Dua hari sebelum dideportasi, majikan sempat membawanya periksa ke dokter. Hasilnya? Ia dinyatakan unfit alias kurang sehat. ”Mungkin, berbekal keterangan dokter itulah saya dipulangkan,” katanya, getir.

Sabtu, 20 Januari 2007, majikan mengantarnya langsung ke bandara. Setelah memberikan paspor dan tiket, sang majikan kabur tanpa kasih pesangon. Jangankan itu, gaji bulan kedua (gaji akhir) pun tak ia terima. Padahal, sehari sebelumnya, majikan telah meminta tanda tangan di atas selembar kuitansi, bukti pembayaran gaji sebesar HK$ 3400. ”Tapi duitnya tak diberikan.”

Penampakan fisik Tita yang ”nyleneh”, mengusik perhatian orang-orang di bandara, utamanya sesama BMI. Mereka tak terima gadis itu pulang ke tanah air dalam keadaan lusuh. Mereka sigap membantu: meng-cancel tiket pesawat, lalu melapor ke polisi. Tak lama, ambulans menyusul datang. Selama dilarikan ke RS Prince Margaret - Mei Fu, Tita hanya diam membisu. Air matanya telah kering.

Setelah diberi suntikan anti-tetanus dan beberapa butir obat, Tita balik ke bandara. Mengambil tasnya yang sudah telanjur masuk bagasi. Masih ditemani kolega barunya, gadis malang itu sampai di kantor ATKI. Kini, sembari memulihkan kesehatan, Tita minta bantuan untuk menuntut haknya kepada majikan. Wajar, kerja dua bulan bak sapi perah, hanya tiga ribu perak yang dihasilkan.

Siksa Di"Kebun Binatang"

Oleh: Kristina Dian Safitry
Dua bulan bekerja di sebuah vila di Yuenlong, ibarat setahun hidup di neraka. Tita harus bekerja di luar batas kemanusiaan.Ia harus memelihara 50-an jenis hewan piaraan. Sementara, dalam sehari, praktis ia cuma tidur sejam, sebelum akhirnya: di-terminate majikan tanpa ampun.
Wajahnya masih pucat berhiaskan bekas luka. Tubuhnya kecil, kurus, dan kelihatan masih
gemetar. Tiada senyum, apalagi tawa dari sela-sela bibirnya yang kering. Ia lebih banyak menunduk, tak bersuara, saat ditemui Apakabar di kantor Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia(ATKI), beberapa waktu lalu. Butuh kesabaran ekstra untuk mengorek cerita dari gadis kelahiran 1986 asal Jawa Timur ini.

Setamat SMA (2005), Tita berkeinginan kuat membantu memperbaiki ekonomi keluarga, sekaligus membiayai sekolah bagi kedua adiknya. ”Sebagai anak sulung, saya merasa memiliki tanggung jawab setelah lulus sekolah,” tuturnya. Untuk mewujudkan dorongan hati, ia pun mendaftar ke PT Sukses Mandiri, Bekasi, Jawa Barat.


Bersyukur, tak lama masuk penampungan, ada majikan yang menginginkan tenaganya. Surat kontrak kerja ia tanda tangani pada 15 September 2006. Berisi uraian tugas yang harus ia kerjakan: cuci mobil, memlihara taman dan 10 ekor anjing. Tepat setelah enam bulan di penampungan, ia pun berangkat pada 17 November 2006. Anak buah Kasa Maid Agency itu langsung mulai bekerja di sebuah vila bertingkat tiga 297 Pak Sha Tsuan, Yuenlong.

Kali pertama memasuki vila, Tita kaget mendapati suasana di tempat kerjanya. Pasalnya, vila yang dihuni lima anggota keluarga itu, lebih pantas disebut kebun binatang. Ada 30 ekor anjing berkeliaran di area dan di dalam rumah. Marmut 10 ekor dan tujuh kelinci yang juga dibiarkan lepas. Ada pula 11 ekor kura-kura berukuran besar-kecil. Belum lagi tujuh sangkar yang berisi aneka jenis burung, serta beragam jenis ikan di kolam halaman vila dan akuarium.

”Di vila itu, tugas saya merawat rumah dan hewan, karena anak-anak majikan sudah besar,” ujarnya. Tak merawat anak, tentu, bukan berarti pekerjaannya jadi ringan. Mencuci mobil, membersihkan rumah tiga tingkat, halaman, menyetrika, masak, dan mencari rumput untuk hewan mamalia. Sang majikan mengultimatum: ia boleh tidur jika seluruh pekerjaan sehari telah beres. ”Praktis, dalam sehari, saya cuma memiliki waktu tidur 30-60 menit,” imbuhnya.

Selama bekerja di dusun pelosok itu, tak sekalipun Tita melahap nasi di siang hari. Jatahnya cuma dua lembar roti. Itupun kalau ia sudah menyelesaikan tugas rutin di pagi hari: menyapu, membersihkan halaman, kolam, juga menyiram bunga. Kalau belum kelar, ia cuma berhak atas selembar roti.

Untuk mendapatkan semangkok nasi, Tita harus ”berjuang” keras sehari penuh. Baru sekitar pukul 3-4 dini hari, setelah majikan memastikan tidak ada pekerjaan yang tercecer, ia beroleh nasi. Berlanjut membersihkan badan dan melepas lelah sejenak.

Tubuh Tita memang penuh bekas luka. Di pipinya, ada warna putih akibat kena seterika. Kaki dan tangannya tak semulus dulu, sebelum ia tiba di Hong Kong. Pahanya membiru. Kedua matanya berlingkar warna hitam pekat. Giginya pun copot satu di bagian depan.

Menurut Tita, giginya tanggal akibat terbentur benda keras. Saat itu, seperti biasa, pada pukul 1 dini hari, ia pergi membuang sampah memakai troller ke luar area rumah. Saking ngantuknya, tiba-tiba ia kesliyer. Pegangan troller terlepas, meluncur ke bawah. Ia hampir terjatuh ke tanah. Entah wajahnya terbentur di mana, tahu-tahu mulutnya berdarah. Gigi depan lepas satu.

Tita memang ”disulap” majikan bak kelelawar. Ia diperintah beraksi keluar rumah pada malam hari. Tiap pukul dua dini hari, ia harus berkeliaran di pinggir-pinggir jalan, membelah desa Yuenlong yang sepi. Ia menenteng keranjang rumput, celingukan mencari rumput segar untuk makanan hewan piaraan.

Usai merumput, ia masih harus menyetrika. Tak terbayang, rasa kantuknya kian mendera. Tanpa disadari, ia terlelap sekejap. Wajahnya terantuk, tepat mengenai setrika panas. Melepuh. Dari situlah, kadang ia memilih menyetrika baju di pagi hari. Namun akibatnya, ia didenda HK$ 20, dianggap tak mampu menyelesaikan pekerjaan.

Sebagai gadis lugu, Tita menjalani saja apapun perintah majikan. Ia coba bersabar, meski majikan banyak ”suara”. Ia juga tak protes ketika gaji pertamanya hanya tersisa HK$ 3, sekitar tiga ribu rupiah. Gaji pertamanya memang sesuai prosedur. Tapi selain untuk membayar potongan agen, gajinya juga didiskon majikan untuk bayar ganti rugi: HK$ 5 jika terlambat bangun, HK$ 20 jika pekerjaan tak kelar, dan untuk beli peralatan mandi. ”Walau sudah sepasrah itu, saya tetap di-terminate majikan,” ratapnya.

Penghentian sepihak itu disampaikan mendadak, hanya lima menit. Bahkan untuk mandi saja dilarang. Tita hanya boleh ganti baju. Dua hari sebelum dideportasi, majikan sempat membawanya periksa ke dokter. Hasilnya? Ia dinyatakan unfit alias kurang sehat. ”Mungkin, berbekal keterangan dokter itulah saya dipulangkan,” katanya, getir.

Sabtu, 20 Januari 2007, majikan mengantarnya langsung ke bandara. Setelah memberikan paspor dan tiket, sang majikan kabur tanpa kasih pesangon. Jangankan itu, gaji bulan kedua (gaji akhir) pun tak ia terima. Padahal, sehari sebelumnya, majikan telah meminta tanda tangan di atas selembar kuitansi, bukti pembayaran gaji sebesar HK$ 3400. ”Tapi duitnya tak diberikan.”

Penampakan fisik Tita yang ”nyleneh”, mengusik perhatian orang-orang di bandara, utamanya sesama BMI. Mereka tak terima gadis itu pulang ke tanah air dalam keadaan lusuh. Mereka sigap membantu: meng-cancel tiket pesawat, lalu melapor ke polisi. Tak lama, ambulans menyusul datang. Selama dilarikan ke RS Prince Margaret - Mei Fu, Tita hanya diam membisu. Air matanya telah kering.

Setelah diberi suntikan anti-tetanus dan beberapa butir obat, Tita balik ke bandara. Mengambil tasnya yang sudah telanjur masuk bagasi. Masih ditemani kolega barunya, gadis malang itu sampai di kantor ATKI. Kini, sembari memulihkan kesehatan, Tita minta bantuan untuk menuntut haknya kepada majikan. Wajar, kerja dua bulan bak sapi perah, hanya tiga ribu perak yang dihasilkan.

Selasa, 26 Agustus 2008

PUTUS CINTA TAK MENGAPA

Adakalanya, aku membutuhkan waktu untuk menyendiri, terlebih jiika ada problem.Tetapi aku menyadari, beberapa hari hiatus, tetap saja tak bisa meninggalkan kegiatan blogging. Inilah yng kemudian menjadi pokok persoalan putusnya hubunganku dengan pacar.
Ia kakak kelasku yang sudah cukup lama kukenal. Antara orang tua sudah sama sama tahu. Begitu juga dengan teman teman dekat. Tetapi selama dan sejauh itu, aku TAK PERNAH menunjukan sikap ramah terhadapnya. Sulit bilang cinta, sulit bilang sayang, uhg apalagi bilang kangen.
Perubahan sikapku ini, terjadi sekitar setahun lalu. Saat itu ia memintaku pulang dan menikah. Tetapi kutolak karena tugas lom kelar terseleseikan. Atas penolakan itu, ia mengancam akan menikah dengan perempuan lain. Saat itu aku baru menyadari arti sebuah kehilangan. Pada ayah bunda kuceritakan derita batinku itu, berharap ada kekuatan yang bakal kudapat. Karena hanya orang tualah sumber kekuatan. Ibuku menangis, begitu juga ayah. Bukan karena sikap pacarku itu, tapi mereka takut aku mengambil jalan pintas. Bertepatan pula, pada saat itu aku mengalami musibah di Hong Kong. Apapun alasanya, kami sekeluarga merelakan dan menghargai pilihan pacarku.

Ketika kami sekeluarga sudah bisa melupakan hal itu, pemuda ini datang dan meminta maaf. Konon, menikah dengan orang lain cuma sekedar ancaman agar aku kembali ketanah air. Faktanya, beberapa bulan memang tak ada khabar ia menikah, kami sekelurgapun menerimanya kembali. Kata ayah bundaku, karena masyarakat terlanjur tahu. Pun kami berdua belum terikat apapun juga. Tetapi sejak itu sikapku semakin TAK BISA diajak kompromi. TAK bisa baikan sama sekali. Mengingat tak ingin mengecewakan keluarga besar, aku mencoba menutupi serapat rapatnya, seolah kami masih pacaran.

Puncak dari hilangnya rasa simpatiku terhadapnya, terjadi pada mei kemarin,ketika aku pulang indo. Sikap cemburunya yang keterlaluan sungguh tak bisa kumaafkan lagi. Aku tak habis mengerti, kemanapun aku pergi ia ingin mendampingi yang katanya takut aku digaet orang. Sampai urusan kerjaan, kopdaran ma teman teman kubatalkan seketika. sebenarnya, bisa saja aku mengajaknya serta, karna ia bukan cowok yang memalukan jika “dipamerkan”. Atletis, cakep secara fisik(sayangnya tak cakep hati). Tetapi karena aku pernah mengajaknya bertemu dengan redaktur Majalah Liberty dan berakhir dengan tuduhan tanpa bukti sepulang dari pertemuan itu, aku tobat mengajaknya bertemu dengan siapapun juga.

Terakhir, dalam minggu minggu ini, aku merasa terteror oleh sikapnya yang semakin tak bisa difahami. Telepon dan SMS nya datang bertubi tubi sekedar mempertanyakan : DIAN PILIH NGEBLOG ATAU PILIH AKU? “ sejatinya, saat itu juga aku sudah bisa menjawab, tetapi aku takut salah pilih. Di sisi lain takut mengecewakan keluarga, disisi lain tak ingin kehilangan duniaku, plus letih memahaminya. Tetapi aku tahu, menghadapi masalah tak harus dibiarkan berlarut larut alias harus segera mengambil tindakan. Dan inilah keputusanku: memilih hiatus mengenal cowok daripada hiatus ngeblog atau berhenti dari jurnalis.

PUTUS CINTA TAK MENGAPA

Adakalanya, aku membutuhkan waktu untuk menyendiri, terlebih jiika ada problem.Tetapi aku menyadari, beberapa hari hiatus, tetap saja tak bisa meninggalkan kegiatan blogging. Inilah yng kemudian menjadi pokok persoalan putusnya hubunganku dengan pacar.
Ia kakak kelasku yang sudah cukup lama kukenal. Antara orang tua sudah sama sama tahu. Begitu juga dengan teman teman dekat. Tetapi selama dan sejauh itu, aku TAK PERNAH menunjukan sikap ramah terhadapnya. Sulit bilang cinta, sulit bilang sayang, uhg apalagi bilang kangen.
Perubahan sikapku ini, terjadi sekitar setahun lalu. Saat itu ia memintaku pulang dan menikah. Tetapi kutolak karena tugas lom kelar terseleseikan. Atas penolakan itu, ia mengancam akan menikah dengan perempuan lain. Saat itu aku baru menyadari arti sebuah kehilangan. Pada ayah bunda kuceritakan derita batinku itu, berharap ada kekuatan yang bakal kudapat. Karena hanya orang tualah sumber kekuatan. Ibuku menangis, begitu juga ayah. Bukan karena sikap pacarku itu, tapi mereka takut aku mengambil jalan pintas. Bertepatan pula, pada saat itu aku mengalami musibah di Hong Kong. Apapun alasanya, kami sekeluarga merelakan dan menghargai pilihan pacarku.

Ketika kami sekeluarga sudah bisa melupakan hal itu, pemuda ini datang dan meminta maaf. Konon, menikah dengan orang lain cuma sekedar ancaman agar aku kembali ketanah air. Faktanya, beberapa bulan memang tak ada khabar ia menikah, kami sekelurgapun menerimanya kembali. Kata ayah bundaku, karena masyarakat terlanjur tahu. Pun kami berdua belum terikat apapun juga. Tetapi sejak itu sikapku semakin TAK BISA diajak kompromi. TAK bisa baikan sama sekali. Mengingat tak ingin mengecewakan keluarga besar, aku mencoba menutupi serapat rapatnya, seolah kami masih pacaran.

Puncak dari hilangnya rasa simpatiku terhadapnya, terjadi pada mei kemarin,ketika aku pulang indo. Sikap cemburunya yang keterlaluan sungguh tak bisa kumaafkan lagi. Aku tak habis mengerti, kemanapun aku pergi ia ingin mendampingi yang katanya takut aku digaet orang. Sampai urusan kerjaan, kopdaran ma teman teman kubatalkan seketika. sebenarnya, bisa saja aku mengajaknya serta, karna ia bukan cowok yang memalukan jika “dipamerkan”. Atletis, cakep secara fisik(sayangnya tak cakep hati). Tetapi karena aku pernah mengajaknya bertemu dengan redaktur Majalah Liberty dan berakhir dengan tuduhan tanpa bukti sepulang dari pertemuan itu, aku tobat mengajaknya bertemu dengan siapapun juga.

Terakhir, dalam minggu minggu ini, aku merasa terteror oleh sikapnya yang semakin tak bisa difahami. Telepon dan SMS nya datang bertubi tubi sekedar mempertanyakan : DIAN PILIH NGEBLOG ATAU PILIH AKU? “ sejatinya, saat itu juga aku sudah bisa menjawab, tetapi aku takut salah pilih. Di sisi lain takut mengecewakan keluarga, disisi lain tak ingin kehilangan duniaku, plus letih memahaminya. Tetapi aku tahu, menghadapi masalah tak harus dibiarkan berlarut larut alias harus segera mengambil tindakan. Dan inilah keputusanku: memilih hiatus mengenal cowok daripada hiatus ngeblog atau berhenti dari jurnalis.

Kamis, 21 Agustus 2008

GADIS PAMIT

Di sudut temaram
Tergolek lesu pikiranku
Di bawah rembulan
Kutatap nanar pancarnya
Semakin dingin terasa
Malam..
Kupeluk erat dirimu
Kian beku dalam kalbu
Kenapa hatiku setemaram kamu?
Cintaku
Aku ini hanya cewek jalanan
Tinggal dibawah jembatan kesibukan
Yang tak pernah mengeluh ditimpa mentari
Yang tak pernah henti tersirami air hujan
Masihkah engkau ingin bertahan?

Ketahuilah cintaku
Pria pilihanku bukan pria gedongan
Yang selalu ingin difahami, tapi tanpa bisa memahami
Yang selalu ingin dicinta, tapi tanpa bisa memberi cinta
Maafkan,
Izinkan kulewati hari tanpamu lagi
Aku letih,lelah, mengertikanmu
AKU PAMIT PERGI

*Gadis, hiatus sementara waktu ya sahabat sahabat bloggerku*

GADIS PAMIT

Di sudut temaram
Tergolek lesu pikiranku
Di bawah rembulan
Kutatap nanar pancarnya
Semakin dingin terasa
Malam..
Kupeluk erat dirimu
Kian beku dalam kalbu
Kenapa hatiku setemaram kamu?
Cintaku
Aku ini hanya cewek jalanan
Tinggal dibawah jembatan kesibukan
Yang tak pernah mengeluh ditimpa mentari
Yang tak pernah henti tersirami air hujan
Masihkah engkau ingin bertahan?

Ketahuilah cintaku
Pria pilihanku bukan pria gedongan
Yang selalu ingin difahami, tapi tanpa bisa memahami
Yang selalu ingin dicinta, tapi tanpa bisa memberi cinta
Maafkan,
Izinkan kulewati hari tanpamu lagi
Aku letih,lelah, mengertikanmu
AKU PAMIT PERGI

*Gadis, hiatus sementara waktu ya sahabat sahabat bloggerku*

Rabu, 20 Agustus 2008

Keganjilan Dibalik Kematian Meta

Oleh: Kristina Dian Safitry

HONG KONG – Jenazah Meta Puji Lestari, BMI asal Trenggalek yang meninggal di tempat kerjanya, akhirnya dipulangkan ke tanah air, Sabtu (6/1) sekitar pukul 9, atau 10 hari setelah ia ditemukan majikannya telah tiada. Jenazah gadis 23 tahun itu diterbangkan dengan pesawat Cathay Pasific, setelah sebelumnya dishalatkan di Masjid Happy Valley.

Seperti diwartakan, BMI kelahiran 1983 itu diketahui telah meninggal saat dibangunkan majikannya pada Rabu pagi. Namun, menurut Alex, ada yang ”aneh” dari kematian BMI yang baru tiga bulan bekerja ini. Pasalnya, berdasarkan keterangan sang majikan, selama tiga bulan itu Meta tidak pernah mandi. Sehingga, ketika ditemukan tewas, bau badannya menyengat. Kulitnya bersisik, seperti menderita penyakit kulit. Karena dianggap ”tidak sehat”, sehari sebelum meninggal, majikan menyuruh Meta untuk tidur di sofa. Katanya, langkah itu ditempuh agar bayi yang diasuh Meta tak terganggu kenyamanannya oleh bau tak sedap dari tubuh Meta. ”Alasan itu nggak rasional. Masa sih tidak mandi sampai tiga bulan. Apalagi, dia (Meta) tugasnya menjaga bayi,” kata Alex.

Keganjilan serupa ditangkap pihak KJRI. Begitu staf KJRI melihat jenazah Meta, langsung muncul kecurigaan, ada yang tidak wajar dari kematiannya. KJRI tak tinggal diam. Meski pihak kepolisian sudah bertindak melakukan investigasi, KJRI tetap mengutus lawyer untuk juga melakukan penyelidikan. ”Anak itu tidak pernah komplain atau mengeluh ke agen dan KJRI, sehingga kami agak kesulitan mengetahui apa penyebab kematian yang sebenarnya,” ujar Sri Setyowati, Konsul Ketenagakerjaan KJRI Hong Kong. Apesnya, hasil otopsi terhadap jenazah Meta baru bisa diketahui tiga bulan mendatang.

Kepada Apakabar, Direktur Bestlink Employment Agency, Alex Aditya, mengatakan, biaya pemulangan jenazah menghabiskan sekitar HKD 32.500. ”Untuk sementara, kami yang menanggung. Tetapi minggu depan akan kami selesaikan dengan majikan,” ujar Alex, pihak yang memberangkatkan (PJTKI) sekaligus agen Hong Kong yang mempekerjakan Meta.

Keganjilan Dibalik Kematian Meta

Oleh: Kristina Dian Safitry

HONG KONG – Jenazah Meta Puji Lestari, BMI asal Trenggalek yang meninggal di tempat kerjanya, akhirnya dipulangkan ke tanah air, Sabtu (6/1) sekitar pukul 9, atau 10 hari setelah ia ditemukan majikannya telah tiada. Jenazah gadis 23 tahun itu diterbangkan dengan pesawat Cathay Pasific, setelah sebelumnya dishalatkan di Masjid Happy Valley.

Seperti diwartakan, BMI kelahiran 1983 itu diketahui telah meninggal saat dibangunkan majikannya pada Rabu pagi. Namun, menurut Alex, ada yang ”aneh” dari kematian BMI yang baru tiga bulan bekerja ini. Pasalnya, berdasarkan keterangan sang majikan, selama tiga bulan itu Meta tidak pernah mandi. Sehingga, ketika ditemukan tewas, bau badannya menyengat. Kulitnya bersisik, seperti menderita penyakit kulit. Karena dianggap ”tidak sehat”, sehari sebelum meninggal, majikan menyuruh Meta untuk tidur di sofa. Katanya, langkah itu ditempuh agar bayi yang diasuh Meta tak terganggu kenyamanannya oleh bau tak sedap dari tubuh Meta. ”Alasan itu nggak rasional. Masa sih tidak mandi sampai tiga bulan. Apalagi, dia (Meta) tugasnya menjaga bayi,” kata Alex.

Keganjilan serupa ditangkap pihak KJRI. Begitu staf KJRI melihat jenazah Meta, langsung muncul kecurigaan, ada yang tidak wajar dari kematiannya. KJRI tak tinggal diam. Meski pihak kepolisian sudah bertindak melakukan investigasi, KJRI tetap mengutus lawyer untuk juga melakukan penyelidikan. ”Anak itu tidak pernah komplain atau mengeluh ke agen dan KJRI, sehingga kami agak kesulitan mengetahui apa penyebab kematian yang sebenarnya,” ujar Sri Setyowati, Konsul Ketenagakerjaan KJRI Hong Kong. Apesnya, hasil otopsi terhadap jenazah Meta baru bisa diketahui tiga bulan mendatang.

Kepada Apakabar, Direktur Bestlink Employment Agency, Alex Aditya, mengatakan, biaya pemulangan jenazah menghabiskan sekitar HKD 32.500. ”Untuk sementara, kami yang menanggung. Tetapi minggu depan akan kami selesaikan dengan majikan,” ujar Alex, pihak yang memberangkatkan (PJTKI) sekaligus agen Hong Kong yang mempekerjakan Meta.

Minggu, 17 Agustus 2008

Anakku Sayang, Anakku Malang

”Pada dua kontrak berikutnya, setelah aku cuti hari itu, sama sekali aku tak pulang ke rumah. Tetapi, tiap tiga bulan sekali aku tetap mengirim uang buat biaya sekolah anak-anak. Keputusan nyambung kontrak kerja tak pernah kudiskusikan dengan suami. Karena itulah, hubunganku dengan suami sudah tak bisa dikatakan harmonis lagi. Tiap kali kutelepon menanyakan kabar anak-anak, suami terkesan enggan berbicara. Aku menyadari, aku bersalah. Tetapi kata maafku cuma dianggap angin lalu.”

Sekejam-kejamnya harimau, tak mungkin memakan anaknya sendiri. Sekejam-kejamnya suami, tak mungkin ia tega menelantarkan darah daging sendiri. Begitulah dulu aku berpikir. Nyatanya? Pikiranku keliru. Anak gadisku dijual setelah dinodai.

Tahun 1995, aku menikah dengan seorang duda cerai dengan tiga anak. Panggil saja dia Nurdin (bukan nama sebenarnya). Pernikahanku bisa terjadi karena dijodohkan orangtua, yang menginginkan aku lekas menikah. Maklum, usiaku sudah 28 tahun, sepulang aku dari bekerja di Singapura selama tujuh tahun.


Kesan pertama, mungkin sama persis kesan orangtuaku pada duda itu. Pendiam, taat pada agama, rela membanting tulang siang malam untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama anak-anaknya. Di atas rasa iba, aku rela dinikahi, meski tanpa ada pesta.




Setelah kami menikah, aku tinggal bersama di pondoknya yang masih berdinding bambu. Meski rumahku sendiri – ditempati keluarga – tergolong mewah untuk ukuran dusun, aku tak keberatan menuruti ajakan suami. Katanya, anak-anak tiriku keberatan tinggal di rumahku yang termasuk big family.



Dua tahun menikah, kami dikaruniai seorang anak perempuan yang kami beri nama Putri. Suamiku gembira, karena tiga anaknya dari istri pertama berjenis kelamin laki-laki. Bisa membahagiakan orang lain, suatu kebahagiaan tersendiri buatku.



Usia Putri genap dua tahun ketika kutinggalkan balik bekerja ke majikan terdahulu. Ketiga kakak tirinya sangat sayang kepadanya. Suamiku juga pandai merawat anak. Jadi, aku tak terlalu khawatir meninggalkan Putri. Sejak aku kembali ke Singapura, suami hanya di rumah merawat anak seperti permintaanku.


Lambat laun, kehidupan kami jauh lebih baik. Membangun rumah dan membeli beberapa ekor kambing piaraan. Sebagian untuk dikembangbiakkan, dan sebagian lagi dijual jika kekurangan uang. Mas Nurdin pandai mengatur keuangan.


Usai menyelesaikan kontrak kerja, aku kembali ke tengah-tengah keluarga dalam rangka cuti. Majikan setuju aku cuti, setiap kali usai tanda tangan nyambung kontrak.

Putri tumbuh menjadi anak yang manis, lucu dan menggemaskan. Tak bisa kumungkiri, aku sangat mengasihi anak kandungku ini. Tetapi itu bukan berarti aku tak sayang pada anak-anak tiri. Namun, entah kenapa, kulihat anak-anak tiriku mulai berubah sikap terhadapku.


Mereka yang dulu penurut, kini rada acuh bahkan menjauh dariku. Aku dianggapnya pilih kasih. Si sulung yang saat itu sudah duduk di bangku SMP, memilih tinggal bersama tantenya. Anak tiri kedua ikut neneknya. Sedangkan anak ketiga, yang masih SD kelas 4, selalu ogah berada di rumah.


Begitulah suasana keluarga pada saat aku cuti dua minggu. Sikap anak-anak yang begitu, membuat aku dan suami berselisih paham. Aku dinilai tak rata membagi kasih sayang. Sebab, sebelum aku cuti, anak-anak tiri betah di rumah. Jangankan tidur dan tinggal bersama keluarga, bermain dengan teman-temannya saja tak pernah lama. Sebelum itu, anak-anak katanya rajin di rumah membantu ayahnya merawat si kecil, rumah, dan binatang piaraan.


Berulang-kali aku membujuk anak-anak tiri agar mau kembali tinggal bersama ayahnya. Tapi mereka menolak. Aku kehabisan kata dan membiarkan menuruti apa pun keputusan mereka. Aku kembali ke Singapura dengan perasaan hati yang tiada menentu. Kekhawatiranku mulai tumbuh, memikirkan nasib keluarga.


Pada dua kontrak berikutnya, setelah aku cuti hari itu, sama sekali aku tak pulang ke rumah. Tetapi, tiap tiga bulan sekali aku tetap mengirim uang buat biaya sekolah anak-anak. Keputusan nyambung kontrak kerja tak pernah kudiskusikan dengan suami. Karena itulah, hubunganku dengan suami sudah tak bisa dikatakan harmonis lagi. Tiap kali kutelepon menanyakan kabar anak-anak, suami terkesan enggan berbicara. Aku menyadari, aku bersalah. Tetapi kata maafku cuma dianggap angin lalu.


Daripada urusan rumah tangga jadi berlarut-larut, aku menyudahi kontrak kerjaku di rumah majikan. Kupikir, sudah cukup hasil kerja enam tahun di rumah majikan. Apalagi, suamiku sangat pandai mengatur keuangan. Tentu saja aku tak pernah mempertanyakan uang kirimanku.


Sesampai di kampung halaman, keadaan rumahku memang jauh lebih baik jika dibandingkan sebelum aku pergi merantau. Kami membuka warung bensin kecil-kecilan di pinggir jalan depan rumah. Hasilnya memang tak seberapa, tapi itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hari-hari. Tentu karena ditambah dengan hasil hewan piaraan.


Sayangnya, anak-anak tiriku semakin jauh dan tak pernah pulang ke rumah. Paling-paling kami yang pergi menemui mereka di rumah saudara untuk memberi biaya sekolah. Tanpa terasa, tiga tahun sudah aku menjalani kehidupan di tanah sendiri. Tetapi hasilnya praktis nihil, tanpa ada pemasukan yang berarti.

Setelah Putri lulus SD, aku nekat berangkat lagi ke luar negeri. Kali ini tujuanku Taiwan. Rumah tanggaku aman-aman saja pada bulan-bulan pertama aku memulai bekerja di rumah majikan di Taiwan. Tetapi mendekati setahun aku bekerja, Putri mengirim surat, memintaku pulang ke rumah saja. Saat itu, anakku tak pernah cerita kalau dia sedang menghadapi masalah. Kepada Putri, aku hanya bisa berjanji setelah kontrak kerja usai akan pulang dan tak kembali lagi bermigrasi.


Surat-surat yang dikirim Putri pada hari-hari berikutnya, semakin membuat hatiku lara. Putri selalu bilang, bapaknya tidak sayang lagi. Tapi ia tetap tak mau cerita, ada apa gerangan. Saat itu aku berpikir, mungkin suamiku mengekang anak atau tak mau memberikan uang jajan. Jadi, aku berusaha untuk tidak memikirkan terlalu dalam. Paling aku hanya menyisipkan surat rahasia untuk suami di antara surat buat anakku tersayang.


Mendekati dua tahun di Taiwan, aku mendapat surat dari keluarga kandungku. Pesannya: apa pun yang terjadi, pulanglah! Seketika aku panik seusai membaca surat dari orangtuaku. Mau tak mau, aku memang harus pulang. Sesampai di rumah? Ya Tuhan, aku berharap ini hanya sekadar mimpi. Bukan kisah nyata.


Putri anakku dan keluargaku menjemput di bandara, memelukku dengan tangis. Tangisan anakku terasa menyayat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, saat aku mau pergi atau pulang merantau. Tetapi aku menganggap wajar, bukti ia sayang dan kangen pada ibundanya.

Aku ikut larut dalam kepedihan saat orangtuaku bilang, suamiku tak bisa ikut menjemput. Katanya, ada kerjaan yang tak bisa ditinggal. Aku berusaha memaklumi. Tetapi, dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, orangtua dan anakku meminta untuk langsung pulang ke rumah orangtuaku. ”Istirahat sehari dua hari, barulah nanti pulang ke rumahmu sendiri.”

Pikiranku sebenarnya sudah tak karuan. Aku yakin, pasti ada sesuatu. Anehnya, mereka tak mau sedikit pun ngasih gambaran. Sampai di rumah orangtua, aku masih bertanya-tanya, apalagi keluargaku tetap bersikeras untuk tidak pulang ke rumah. Padahal, aku sangat ingin bertemu suamiku.


Esoknya, keluargaku menyodorkan sepucuk surat yang membikin aku kehilangan tenaga. Hampir tak sadarkan diri. Surat itu datang dari Lurah, Polres, Lembaga Pemasyarakatan (LP) serta dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH). ”Kalau mau ketemu suamimu, datanglah besok ke LP,” begitu pesan ibuku.

Dari ucapan ibu, barulah aku tahu pokok permasalahannya. Putri, anakku, dijual ke tempat prostitusi di daerahku setelah diperkosa bapaknya sendiri. Anakku kabur dari tempat prostitusi itu dan ditemukan sopir yang kemudian melaporkannya ke kantor polisi.

Tangisku kian menjadi, merasa diri ini teramat-sangat berdosa kepada suami dan anakku. Karena egoku, sekarang aku kehilangan suami dan membuat anakku mengalami trauma berkepanjangan. Aku hanya berpikir, bisakah aku kelak menerima keberadaan suami di antara aku dan anakku?

(Dituturkan ”T” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

Anakku Sayang, Anakku Malang

”Pada dua kontrak berikutnya, setelah aku cuti hari itu, sama sekali aku tak pulang ke rumah. Tetapi, tiap tiga bulan sekali aku tetap mengirim uang buat biaya sekolah anak-anak. Keputusan nyambung kontrak kerja tak pernah kudiskusikan dengan suami. Karena itulah, hubunganku dengan suami sudah tak bisa dikatakan harmonis lagi. Tiap kali kutelepon menanyakan kabar anak-anak, suami terkesan enggan berbicara. Aku menyadari, aku bersalah. Tetapi kata maafku cuma dianggap angin lalu.”

Sekejam-kejamnya harimau, tak mungkin memakan anaknya sendiri. Sekejam-kejamnya suami, tak mungkin ia tega menelantarkan darah daging sendiri. Begitulah dulu aku berpikir. Nyatanya? Pikiranku keliru. Anak gadisku dijual setelah dinodai.

Tahun 1995, aku menikah dengan seorang duda cerai dengan tiga anak. Panggil saja dia Nurdin (bukan nama sebenarnya). Pernikahanku bisa terjadi karena dijodohkan orangtua, yang menginginkan aku lekas menikah. Maklum, usiaku sudah 28 tahun, sepulang aku dari bekerja di Singapura selama tujuh tahun.


Kesan pertama, mungkin sama persis kesan orangtuaku pada duda itu. Pendiam, taat pada agama, rela membanting tulang siang malam untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama anak-anaknya. Di atas rasa iba, aku rela dinikahi, meski tanpa ada pesta.




Setelah kami menikah, aku tinggal bersama di pondoknya yang masih berdinding bambu. Meski rumahku sendiri – ditempati keluarga – tergolong mewah untuk ukuran dusun, aku tak keberatan menuruti ajakan suami. Katanya, anak-anak tiriku keberatan tinggal di rumahku yang termasuk big family.



Dua tahun menikah, kami dikaruniai seorang anak perempuan yang kami beri nama Putri. Suamiku gembira, karena tiga anaknya dari istri pertama berjenis kelamin laki-laki. Bisa membahagiakan orang lain, suatu kebahagiaan tersendiri buatku.



Usia Putri genap dua tahun ketika kutinggalkan balik bekerja ke majikan terdahulu. Ketiga kakak tirinya sangat sayang kepadanya. Suamiku juga pandai merawat anak. Jadi, aku tak terlalu khawatir meninggalkan Putri. Sejak aku kembali ke Singapura, suami hanya di rumah merawat anak seperti permintaanku.


Lambat laun, kehidupan kami jauh lebih baik. Membangun rumah dan membeli beberapa ekor kambing piaraan. Sebagian untuk dikembangbiakkan, dan sebagian lagi dijual jika kekurangan uang. Mas Nurdin pandai mengatur keuangan.


Usai menyelesaikan kontrak kerja, aku kembali ke tengah-tengah keluarga dalam rangka cuti. Majikan setuju aku cuti, setiap kali usai tanda tangan nyambung kontrak.

Putri tumbuh menjadi anak yang manis, lucu dan menggemaskan. Tak bisa kumungkiri, aku sangat mengasihi anak kandungku ini. Tetapi itu bukan berarti aku tak sayang pada anak-anak tiri. Namun, entah kenapa, kulihat anak-anak tiriku mulai berubah sikap terhadapku.


Mereka yang dulu penurut, kini rada acuh bahkan menjauh dariku. Aku dianggapnya pilih kasih. Si sulung yang saat itu sudah duduk di bangku SMP, memilih tinggal bersama tantenya. Anak tiri kedua ikut neneknya. Sedangkan anak ketiga, yang masih SD kelas 4, selalu ogah berada di rumah.


Begitulah suasana keluarga pada saat aku cuti dua minggu. Sikap anak-anak yang begitu, membuat aku dan suami berselisih paham. Aku dinilai tak rata membagi kasih sayang. Sebab, sebelum aku cuti, anak-anak tiri betah di rumah. Jangankan tidur dan tinggal bersama keluarga, bermain dengan teman-temannya saja tak pernah lama. Sebelum itu, anak-anak katanya rajin di rumah membantu ayahnya merawat si kecil, rumah, dan binatang piaraan.


Berulang-kali aku membujuk anak-anak tiri agar mau kembali tinggal bersama ayahnya. Tapi mereka menolak. Aku kehabisan kata dan membiarkan menuruti apa pun keputusan mereka. Aku kembali ke Singapura dengan perasaan hati yang tiada menentu. Kekhawatiranku mulai tumbuh, memikirkan nasib keluarga.


Pada dua kontrak berikutnya, setelah aku cuti hari itu, sama sekali aku tak pulang ke rumah. Tetapi, tiap tiga bulan sekali aku tetap mengirim uang buat biaya sekolah anak-anak. Keputusan nyambung kontrak kerja tak pernah kudiskusikan dengan suami. Karena itulah, hubunganku dengan suami sudah tak bisa dikatakan harmonis lagi. Tiap kali kutelepon menanyakan kabar anak-anak, suami terkesan enggan berbicara. Aku menyadari, aku bersalah. Tetapi kata maafku cuma dianggap angin lalu.


Daripada urusan rumah tangga jadi berlarut-larut, aku menyudahi kontrak kerjaku di rumah majikan. Kupikir, sudah cukup hasil kerja enam tahun di rumah majikan. Apalagi, suamiku sangat pandai mengatur keuangan. Tentu saja aku tak pernah mempertanyakan uang kirimanku.


Sesampai di kampung halaman, keadaan rumahku memang jauh lebih baik jika dibandingkan sebelum aku pergi merantau. Kami membuka warung bensin kecil-kecilan di pinggir jalan depan rumah. Hasilnya memang tak seberapa, tapi itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hari-hari. Tentu karena ditambah dengan hasil hewan piaraan.


Sayangnya, anak-anak tiriku semakin jauh dan tak pernah pulang ke rumah. Paling-paling kami yang pergi menemui mereka di rumah saudara untuk memberi biaya sekolah. Tanpa terasa, tiga tahun sudah aku menjalani kehidupan di tanah sendiri. Tetapi hasilnya praktis nihil, tanpa ada pemasukan yang berarti.

Setelah Putri lulus SD, aku nekat berangkat lagi ke luar negeri. Kali ini tujuanku Taiwan. Rumah tanggaku aman-aman saja pada bulan-bulan pertama aku memulai bekerja di rumah majikan di Taiwan. Tetapi mendekati setahun aku bekerja, Putri mengirim surat, memintaku pulang ke rumah saja. Saat itu, anakku tak pernah cerita kalau dia sedang menghadapi masalah. Kepada Putri, aku hanya bisa berjanji setelah kontrak kerja usai akan pulang dan tak kembali lagi bermigrasi.


Surat-surat yang dikirim Putri pada hari-hari berikutnya, semakin membuat hatiku lara. Putri selalu bilang, bapaknya tidak sayang lagi. Tapi ia tetap tak mau cerita, ada apa gerangan. Saat itu aku berpikir, mungkin suamiku mengekang anak atau tak mau memberikan uang jajan. Jadi, aku berusaha untuk tidak memikirkan terlalu dalam. Paling aku hanya menyisipkan surat rahasia untuk suami di antara surat buat anakku tersayang.


Mendekati dua tahun di Taiwan, aku mendapat surat dari keluarga kandungku. Pesannya: apa pun yang terjadi, pulanglah! Seketika aku panik seusai membaca surat dari orangtuaku. Mau tak mau, aku memang harus pulang. Sesampai di rumah? Ya Tuhan, aku berharap ini hanya sekadar mimpi. Bukan kisah nyata.


Putri anakku dan keluargaku menjemput di bandara, memelukku dengan tangis. Tangisan anakku terasa menyayat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, saat aku mau pergi atau pulang merantau. Tetapi aku menganggap wajar, bukti ia sayang dan kangen pada ibundanya.

Aku ikut larut dalam kepedihan saat orangtuaku bilang, suamiku tak bisa ikut menjemput. Katanya, ada kerjaan yang tak bisa ditinggal. Aku berusaha memaklumi. Tetapi, dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, orangtua dan anakku meminta untuk langsung pulang ke rumah orangtuaku. ”Istirahat sehari dua hari, barulah nanti pulang ke rumahmu sendiri.”

Pikiranku sebenarnya sudah tak karuan. Aku yakin, pasti ada sesuatu. Anehnya, mereka tak mau sedikit pun ngasih gambaran. Sampai di rumah orangtua, aku masih bertanya-tanya, apalagi keluargaku tetap bersikeras untuk tidak pulang ke rumah. Padahal, aku sangat ingin bertemu suamiku.


Esoknya, keluargaku menyodorkan sepucuk surat yang membikin aku kehilangan tenaga. Hampir tak sadarkan diri. Surat itu datang dari Lurah, Polres, Lembaga Pemasyarakatan (LP) serta dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH). ”Kalau mau ketemu suamimu, datanglah besok ke LP,” begitu pesan ibuku.

Dari ucapan ibu, barulah aku tahu pokok permasalahannya. Putri, anakku, dijual ke tempat prostitusi di daerahku setelah diperkosa bapaknya sendiri. Anakku kabur dari tempat prostitusi itu dan ditemukan sopir yang kemudian melaporkannya ke kantor polisi.

Tangisku kian menjadi, merasa diri ini teramat-sangat berdosa kepada suami dan anakku. Karena egoku, sekarang aku kehilangan suami dan membuat anakku mengalami trauma berkepanjangan. Aku hanya berpikir, bisakah aku kelak menerima keberadaan suami di antara aku dan anakku?

(Dituturkan ”T” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

Kamis, 14 Agustus 2008

Eiven Gusky Australia

Jalan panjang tlah kita lalui,sobat. Meski kita melangkah tak satu street, tapi jalanmu dan jalanku sama adanya. Kadang menikung, berkelok, berlumpur, tapi kadang lurus lurus saja. Tetapi sejatinya, perasaan kita itu sama, pun kamu laki laki dan aku perempuan. Ketika kita harus kehilangan orang orang disekitar, ketika kita mengenal cinta cinta usang, cinta cinta bualan yang hanya mengundang lara. Tak ada yang beda, mungkin, kisahmu dah kisahku sama.



Sobat, sebelum engkau mengenalku, aku telah mengenalmu. Sebelum engkau menyapaku,aku tlah menyapamu. Aku masih ingat sobat. Saat itu senja hampir saja tenggelang. Burung gereja berkicau riang, dan udara segar dari taman depan kantor berhembus perlahan. Sejak itu, ada yang menggores perasaanku. Tetapi saat itu aku masih ragu dengan rasa dalam hatiku. Apakah sekedar empati, ataukah tak ingin mendengar orang lain tersakiti?



Seperti debur ombak dilautan, aku memilih diam dan membiarkan diri larut dalam dilema kehidupan. Aku tak memikirkan apa apa lagi sama seperti ketika aku terlelap terbuai mimpi. Tenang, tanpa gejolak. Tetapi, keresahan tiba tiba mengusik ruang batinku. Engkau kehilangan orang orang terdekat nan tercinta. Engkau harus menjalani operasi dan terbaring lemah tanpa daya di atas dipan putih berkelambu kelam. Ku bayangkan, pasti pedihmu sama seperti pedihku ketika tanganku terikat tali infuse karena perbuatan orang orang yg sengaja ingin mencelakakan hidupku.



Jujur, kusembunyikan lara dan untaian doa dari hadapmu saat itu. Tanpa sedikitpun ingin kau ketahui bahwa aku ada saat kau butuhkan. Semangat saat engkau terjatuh dah hamper terkapar dalam derita. Dan aku ingin menjadi dian atau lentera saat kegelapan menyapa. Semoga Mas Eiven Gusky,tak lagi merasa sendiri hidup didunia fana ini. Bukankah sahabatmu bukan hanya satu?

Eiven Gusky Australia

Jalan panjang tlah kita lalui,sobat. Meski kita melangkah tak satu street, tapi jalanmu dan jalanku sama adanya. Kadang menikung, berkelok, berlumpur, tapi kadang lurus lurus saja. Tetapi sejatinya, perasaan kita itu sama, pun kamu laki laki dan aku perempuan. Ketika kita harus kehilangan orang orang disekitar, ketika kita mengenal cinta cinta usang, cinta cinta bualan yang hanya mengundang lara. Tak ada yang beda, mungkin, kisahmu dah kisahku sama.



Sobat, sebelum engkau mengenalku, aku telah mengenalmu. Sebelum engkau menyapaku,aku tlah menyapamu. Aku masih ingat sobat. Saat itu senja hampir saja tenggelang. Burung gereja berkicau riang, dan udara segar dari taman depan kantor berhembus perlahan. Sejak itu, ada yang menggores perasaanku. Tetapi saat itu aku masih ragu dengan rasa dalam hatiku. Apakah sekedar empati, ataukah tak ingin mendengar orang lain tersakiti?



Seperti debur ombak dilautan, aku memilih diam dan membiarkan diri larut dalam dilema kehidupan. Aku tak memikirkan apa apa lagi sama seperti ketika aku terlelap terbuai mimpi. Tenang, tanpa gejolak. Tetapi, keresahan tiba tiba mengusik ruang batinku. Engkau kehilangan orang orang terdekat nan tercinta. Engkau harus menjalani operasi dan terbaring lemah tanpa daya di atas dipan putih berkelambu kelam. Ku bayangkan, pasti pedihmu sama seperti pedihku ketika tanganku terikat tali infuse karena perbuatan orang orang yg sengaja ingin mencelakakan hidupku.



Jujur, kusembunyikan lara dan untaian doa dari hadapmu saat itu. Tanpa sedikitpun ingin kau ketahui bahwa aku ada saat kau butuhkan. Semangat saat engkau terjatuh dah hamper terkapar dalam derita. Dan aku ingin menjadi dian atau lentera saat kegelapan menyapa. Semoga Mas Eiven Gusky,tak lagi merasa sendiri hidup didunia fana ini. Bukankah sahabatmu bukan hanya satu?

Rabu, 13 Agustus 2008

My Heart


Biarkan kujaga hatimu

Seperti aku menjaga hatiku

Meski hadirmu seperti sang bayu

Tapi setiaku kan tetap utuh untuk satu


Disini aku selalu menunggumu

Dengan cinta dan kasih


Percayalah!

Sisi ruang hatiku hanya milikmu seorang



Tlah kucoba 'ntuk menggekang rindu,

Untuk tidak menangis ketika kangen kamu

Tapi tetep aza Enggak bisa

Karena aku memang sayang kamu*cieeee...*

My Heart


Biarkan kujaga hatimu

Seperti aku menjaga hatiku

Meski hadirmu seperti sang bayu

Tapi setiaku kan tetap utuh untuk satu


Disini aku selalu menunggumu

Dengan cinta dan kasih


Percayalah!

Sisi ruang hatiku hanya milikmu seorang



Tlah kucoba 'ntuk menggekang rindu,

Untuk tidak menangis ketika kangen kamu

Tapi tetep aza Enggak bisa

Karena aku memang sayang kamu*cieeee...*

Minggu, 10 Agustus 2008

HERI LATIEF

tubuh kurus terbalut kulit legam. Rambut keriting turun memanjang. Sekilas, sorot matanya bagai sinar elang. Begitulah kesan pertamaku terhadap Bung Heri Latief,pada minggu kemarin. Heri Latief, penyair kelahiran Jakarta 1958 dan sejak 1986 berdomisili di Belanda hingga sekarang.

Kedatangan Bung Heri ke Hong Kong-yg katanya tak seberapa lama- dalam rangka peluncuran buku kumpulan puisinya dengan judul: 50% MERDEKA. Buku yang diterbitkan Ultimus dan Lembaga Sastra Pembebasan cetakan pertama, Agustus 2008 ini sebanyak 86 halaman, 50 judul.

Aku, sebenarnya sudah lama mendengar namanya, bahkan yang terakhir aku masih sempat membaca berulang puisinya yg dipublikasi media tempat aku bekerja.Dan tatap mata kemarin,cukup mengesankan. Dan tahukah engkau,sobat. Semalem ku telan habis buku itu dan hingga siang ini ada sesuatu yang mengoda pikiran. Ini dia yang mengodaku.


RINDU API



kutulis puisi demi api

membakar semua mimpi

jadi abu terbang membisu


Amsterdam, 16 mei 2006


==========================




*ehm...kira kira bisa gak ya, aku bikin puisi seindah ini?*

HERI LATIEF

tubuh kurus terbalut kulit legam. Rambut keriting turun memanjang. Sekilas, sorot matanya bagai sinar elang. Begitulah kesan pertamaku terhadap Bung Heri Latief,pada minggu kemarin. Heri Latief, penyair kelahiran Jakarta 1958 dan sejak 1986 berdomisili di Belanda hingga sekarang.

Kedatangan Bung Heri ke Hong Kong-yg katanya tak seberapa lama- dalam rangka peluncuran buku kumpulan puisinya dengan judul: 50% MERDEKA. Buku yang diterbitkan Ultimus dan Lembaga Sastra Pembebasan cetakan pertama, Agustus 2008 ini sebanyak 86 halaman, 50 judul.

Aku, sebenarnya sudah lama mendengar namanya, bahkan yang terakhir aku masih sempat membaca berulang puisinya yg dipublikasi media tempat aku bekerja.Dan tatap mata kemarin,cukup mengesankan. Dan tahukah engkau,sobat. Semalem ku telan habis buku itu dan hingga siang ini ada sesuatu yang mengoda pikiran. Ini dia yang mengodaku.


RINDU API



kutulis puisi demi api

membakar semua mimpi

jadi abu terbang membisu


Amsterdam, 16 mei 2006


==========================




*ehm...kira kira bisa gak ya, aku bikin puisi seindah ini?*

Kamis, 07 Agustus 2008

BLOGGER TO BLOGGER







Engkau hanya sebuah bayangan

Yang tak bisa kusentuh dengan jemari


Engkau hanya nyanyian

Yang mengalun tanpa irama


Engkau hanya gambar

Seperti lukisan indah didinding kamar



Hanya hati yang bisa meyakinkan,

Bahwasanya engkau ada

Hanya jiwa yang bisa merasakan,

Cinta itu datang menyapa

ADAkah hatimu sama seperti yang kurasa?

BLOGGER TO BLOGGER







Engkau hanya sebuah bayangan

Yang tak bisa kusentuh dengan jemari


Engkau hanya nyanyian

Yang mengalun tanpa irama


Engkau hanya gambar

Seperti lukisan indah didinding kamar



Hanya hati yang bisa meyakinkan,

Bahwasanya engkau ada

Hanya jiwa yang bisa merasakan,

Cinta itu datang menyapa

ADAkah hatimu sama seperti yang kurasa?

Senin, 04 Agustus 2008

WIDGET AND AWARD

Aku tak tahu, kenapa blog ini sering dijadikan tongkrongan kaum blogger. Dari yang senior sampai yg junior. Bahkan tak sedikit dari mereka bersedia merespon atau memberi komentar setiap postingan. Entah faktor tulisannya menarik, ataukah karena sekedar timbal balik dari hobiku yang senang memberi komentar?

Dengan seksama, aku sering memperhatikan halaman demi halaman blog rekan rekan yang memasang widget top komentator dan mendapati namaku ada diantara struktur komentator itu. Kalau tidak salah Kristina Dian Safitry berada di halaman rumah: Blogger Addicter,
Yusa Indera, Tony, 0e0es, Iksan, Kopitozie, Wawanwae, Kang Boimdan entah dihalaman siapa lagi, aku lupa. Oh iya, Firdaus, yg kemarin aku meminta tolong ntuk ngecek ulang blogku, apakah masih tetap DOFOLLOWsetelah beberapa kali ganti templit.


Kesannya sepele soal widget yg satu ini, tapi tidak bagiku. Karena, -menurutku- ini suatu apresiasi yg diberikan pemilik blog. Buktinya, beberapa minggu lalu, ada pemilik blog, memberikan sebuah penghargaan berupa Award. Aku, salah satu(bukan satu satunya) pengunjung Warueng Kopi yg mendapatkan piala itu. Award dari Boim Lebon ini, kusambut dengan suka cita, melebihi kebahagiaan memenangkan kompetisi di dunia nyata. Txs to all.

WIDGET AND AWARD

Aku tak tahu, kenapa blog ini sering dijadikan tongkrongan kaum blogger. Dari yang senior sampai yg junior. Bahkan tak sedikit dari mereka bersedia merespon atau memberi komentar setiap postingan. Entah faktor tulisannya menarik, ataukah karena sekedar timbal balik dari hobiku yang senang memberi komentar?

Dengan seksama, aku sering memperhatikan halaman demi halaman blog rekan rekan yang memasang widget top komentator dan mendapati namaku ada diantara struktur komentator itu. Kalau tidak salah Kristina Dian Safitry berada di halaman rumah: Blogger Addicter,
Yusa Indera, Tony, 0e0es, Iksan, Kopitozie, Wawanwae, Kang Boimdan entah dihalaman siapa lagi, aku lupa. Oh iya, Firdaus, yg kemarin aku meminta tolong ntuk ngecek ulang blogku, apakah masih tetap DOFOLLOWsetelah beberapa kali ganti templit.


Kesannya sepele soal widget yg satu ini, tapi tidak bagiku. Karena, -menurutku- ini suatu apresiasi yg diberikan pemilik blog. Buktinya, beberapa minggu lalu, ada pemilik blog, memberikan sebuah penghargaan berupa Award. Aku, salah satu(bukan satu satunya) pengunjung Warueng Kopi yg mendapatkan piala itu. Award dari Boim Lebon ini, kusambut dengan suka cita, melebihi kebahagiaan memenangkan kompetisi di dunia nyata. Txs to all.

Jumat, 01 Agustus 2008

TELANJANG LENGAN

Sudah jadi tradisi, jika salah satu teman mau pulang tanah air, kita saling mengantar meski sebatas sampai bandara. Kaya' minggu kemarin, aku bersama Anggie dan binti mengantar Dani yang mau pulang menikah. Kami naik Taxi dari Lok Fu sampai turun Cip Lak Kok (bandara Hong Kong).

Cuaca minggu kemarin, benar benar gila, panasnya. Sekalipun bandara di lengkapi AC, tapi tak cukup membuat badan nyaman. geraaah..banget. untung aza pada minggu kemarin kami pakai baju lengan pendek. Porno aksi sidikit gak apa apa khan? toh cuma lengan doang tuh yg telanjang.

TELANJANG LENGAN

Sudah jadi tradisi, jika salah satu teman mau pulang tanah air, kita saling mengantar meski sebatas sampai bandara. Kaya' minggu kemarin, aku bersama Anggie dan binti mengantar Dani yang mau pulang menikah. Kami naik Taxi dari Lok Fu sampai turun Cip Lak Kok (bandara Hong Kong).

Cuaca minggu kemarin, benar benar gila, panasnya. Sekalipun bandara di lengkapi AC, tapi tak cukup membuat badan nyaman. geraaah..banget. untung aza pada minggu kemarin kami pakai baju lengan pendek. Porno aksi sidikit gak apa apa khan? toh cuma lengan doang tuh yg telanjang.