Kamis, 31 Januari 2008

LELAKI DALAM BAYANGAN

Semakin sulit kutahan laju desahku
Saat tangan mungil nan lembut sentuh pikiranku
Entah siapa gerangan lelaki itu
Ia memaksaku untuk memikirkannya

Aku masih merasakan gejolak jiwanya
Masih tercium harum aroma nafasnya
Hingga kini,
aku masih terkulai terlingkari imajinasi

Belum lama ia datang menggulurkan kedua tangan
Tapi seolah telah lama aku mengenalnya
Padanya kuceritakan pedihku
Dan,
Padanya kukatakan kusunyian jiwaku

BERDOSAKAH ISI PIKIRANKU?

LELAKI DALAM BAYANGAN

Semakin sulit kutahan laju desahku
Saat tangan mungil nan lembut sentuh pikiranku
Entah siapa gerangan lelaki itu
Ia memaksaku untuk memikirkannya

Aku masih merasakan gejolak jiwanya
Masih tercium harum aroma nafasnya
Hingga kini,
aku masih terkulai terlingkari imajinasi

Belum lama ia datang menggulurkan kedua tangan
Tapi seolah telah lama aku mengenalnya
Padanya kuceritakan pedihku
Dan,
Padanya kukatakan kusunyian jiwaku

BERDOSAKAH ISI PIKIRANKU?

Senin, 28 Januari 2008

KUNJUNGAN KOMISI IX DPR RI

Yel-yel Menyambut Wakil Rakyat

VICTORIA PARK – Ucapan ”selamat datang” ditunjukkan ratusan BMI Hong Kong saat menyambut kehadiran rombongan DPR RI di Victoria Park, Minggu (3/12). Bukan dengan tari-tarian, melainkan warna-warni poster dan pekik yel-yel. Terdiri atas pimpinan dan anggota Komisi IX DPR RI, yang dipimpin Ribka Tjiptaning, para wakil rakyat itu sedianya datang untuk melihat dan berdialog dengan BMI yang tengah berlibur di Victoria Park.
Namun, begitu menginjakkan kaki di pintu masuk, sekitar pukul 12.00, rombongan yang datang ke Hong Kong untuk melakukan studi banding tentang tenaga kerja dan penanganan flu burung itu langsung disambut dengan aksi demo dari Indonesian Migrant Workers Union (IMWU). Mereka terang-terangan memprotes kunjungan anggota DPR RI itu ke dua negara (Korea dan Hong Kong) yang, konon, anggarannya menyundul angka Rp 500 juta.

Sejumlah poster langsung dibentangkan, saat sejumlah buruh migran memaksa rombongan Komisi IX itu untuk mendengarkan masalah mereka. Poster-poster tersebut antara lain berbunyi: ”DPR Wakil Rakyat atau Wakil Pejabat?”, ”DPR Wajib Melindungi BMI”, ”BMI Sudah Muak dengan Janji-Janji”, dan ”PJTKI Peras BMI, Kok DPR Diam”.

Para buruh migran langsung menyodok, menyayangkan sikap wakil rakyat yang tak peduli terhadap aspirasi mereka. Bukan apa-apa. Sejak kedatangan mereka di Hong Kong, Kamis (30/12) malam, 14 orang pimpinan dan anggota Komisi IX DPR tersebut sama sekali tidak mengagendakan pertemuan dengan kelompok atau serikat buruh migran di Hong Kong.

Mereka juga tidak melakukan kunjungan ke shelter yang menjadi tempat penampungan para buruh migran bermasalah. Padahal, salah satu agenda kunjungan kerja mereka ke Hong Kong adalah mengetahui permasalahan buruh migran, selain soal penanganan kasus flu burung. ”Seharusnya, kalau pengin tahu permasalahan buruh migran di Hong Kong, mereka mendatangi shelter-shelter atau ke serikat buruh migran. Bukan hanya menerima informasi sepihak dari KJRI,” kata Ketua IMWU Sartiwen.

Bukan itu saja. BMI yang ditampung di shelter Kotkiho, bahkan sudah siaga menyambut mereka dengan menyiapkan jagung dan kacang rebus. Karena anggota dewan yang terhormat itu urung datang, makanan kampung khas Indonesia itu terpaksa disuguhkan dalam pertemuan dadakan di lapangan – yang hanya berlangsung sejam itu.

Di depan para BMI, para anggota DPR tersebut mengaku, mereka tidak bisa pergi ke shelter atau bertemu dengan organisasi buruh migran, lantaran jadwal yang ditetapkan oleh KJRI tidak mencantumkan agenda itu. Agenda yang disiapkan hanya kunjungan ke laboratorium, Departemen Kesehatan, Asosiasi Penyedia Jasa TKI Hong Kong (APPIH), dan Labour Department di Macau.

Anehnya, pihak KJRI mengaku, jadwal tersebut diatur sesuai permintaan Sekretaris Jenderal DPR dari Jakarta, sehingga mereka tidak bisa mempertemukan Komisi IX dengan perwakilan buruh migran. Sikap saling lempar ini keruan membuat gemas buruh migran. Mereka kemudian berinisiatif menggelar demonstrasi dan memaksa para wakil rakyat untuk mendengarkan aspirasi mereka.

Dalam waktu yang teramat singkat itu, tentu saja tidak ada pembicaraan yang tuntas. Praktis, rombongan hanya mendengar keluhan yang disampaikan oleh buruh migran, mulai dari kasus underpayment, biaya agen yang sangat tinggi, hingga perlakuan pejabat KJRI yang mereka nilai kurang simpatik. ”Sudah tidak kurang-kurang kami melaporkan kasus yang kita alami ke KJRI, tetapi tidak pernah didengar,” seru Harniati (24), salah satu buruh migran, saat menyampaikan keluhannya di depan rombongan.

Karena masih belum puas ”ngobrol” dengan wakil-wakilnya, para demontran sampai harus ”menempel” rombongan sampai mereka naik bus, yang diparkir tak jauh dari air mancur Victory. Sejumlah buruh migran amat menyayangkan, anggota-anggota Komisi IX itu mengaku sama sekali tidak tahu kondisi buruh migran di Hong Kong. Pasalnya, mereka hanya mendapatkan laporan yang baik-baik saja dari pihak pemerintah. Nah, lho?(Kristina Dian S)

KUNJUNGAN KOMISI IX DPR RI

Yel-yel Menyambut Wakil Rakyat

VICTORIA PARK – Ucapan ”selamat datang” ditunjukkan ratusan BMI Hong Kong saat menyambut kehadiran rombongan DPR RI di Victoria Park, Minggu (3/12). Bukan dengan tari-tarian, melainkan warna-warni poster dan pekik yel-yel. Terdiri atas pimpinan dan anggota Komisi IX DPR RI, yang dipimpin Ribka Tjiptaning, para wakil rakyat itu sedianya datang untuk melihat dan berdialog dengan BMI yang tengah berlibur di Victoria Park.
Namun, begitu menginjakkan kaki di pintu masuk, sekitar pukul 12.00, rombongan yang datang ke Hong Kong untuk melakukan studi banding tentang tenaga kerja dan penanganan flu burung itu langsung disambut dengan aksi demo dari Indonesian Migrant Workers Union (IMWU). Mereka terang-terangan memprotes kunjungan anggota DPR RI itu ke dua negara (Korea dan Hong Kong) yang, konon, anggarannya menyundul angka Rp 500 juta.

Sejumlah poster langsung dibentangkan, saat sejumlah buruh migran memaksa rombongan Komisi IX itu untuk mendengarkan masalah mereka. Poster-poster tersebut antara lain berbunyi: ”DPR Wakil Rakyat atau Wakil Pejabat?”, ”DPR Wajib Melindungi BMI”, ”BMI Sudah Muak dengan Janji-Janji”, dan ”PJTKI Peras BMI, Kok DPR Diam”.

Para buruh migran langsung menyodok, menyayangkan sikap wakil rakyat yang tak peduli terhadap aspirasi mereka. Bukan apa-apa. Sejak kedatangan mereka di Hong Kong, Kamis (30/12) malam, 14 orang pimpinan dan anggota Komisi IX DPR tersebut sama sekali tidak mengagendakan pertemuan dengan kelompok atau serikat buruh migran di Hong Kong.

Mereka juga tidak melakukan kunjungan ke shelter yang menjadi tempat penampungan para buruh migran bermasalah. Padahal, salah satu agenda kunjungan kerja mereka ke Hong Kong adalah mengetahui permasalahan buruh migran, selain soal penanganan kasus flu burung. ”Seharusnya, kalau pengin tahu permasalahan buruh migran di Hong Kong, mereka mendatangi shelter-shelter atau ke serikat buruh migran. Bukan hanya menerima informasi sepihak dari KJRI,” kata Ketua IMWU Sartiwen.

Bukan itu saja. BMI yang ditampung di shelter Kotkiho, bahkan sudah siaga menyambut mereka dengan menyiapkan jagung dan kacang rebus. Karena anggota dewan yang terhormat itu urung datang, makanan kampung khas Indonesia itu terpaksa disuguhkan dalam pertemuan dadakan di lapangan – yang hanya berlangsung sejam itu.

Di depan para BMI, para anggota DPR tersebut mengaku, mereka tidak bisa pergi ke shelter atau bertemu dengan organisasi buruh migran, lantaran jadwal yang ditetapkan oleh KJRI tidak mencantumkan agenda itu. Agenda yang disiapkan hanya kunjungan ke laboratorium, Departemen Kesehatan, Asosiasi Penyedia Jasa TKI Hong Kong (APPIH), dan Labour Department di Macau.

Anehnya, pihak KJRI mengaku, jadwal tersebut diatur sesuai permintaan Sekretaris Jenderal DPR dari Jakarta, sehingga mereka tidak bisa mempertemukan Komisi IX dengan perwakilan buruh migran. Sikap saling lempar ini keruan membuat gemas buruh migran. Mereka kemudian berinisiatif menggelar demonstrasi dan memaksa para wakil rakyat untuk mendengarkan aspirasi mereka.

Dalam waktu yang teramat singkat itu, tentu saja tidak ada pembicaraan yang tuntas. Praktis, rombongan hanya mendengar keluhan yang disampaikan oleh buruh migran, mulai dari kasus underpayment, biaya agen yang sangat tinggi, hingga perlakuan pejabat KJRI yang mereka nilai kurang simpatik. ”Sudah tidak kurang-kurang kami melaporkan kasus yang kita alami ke KJRI, tetapi tidak pernah didengar,” seru Harniati (24), salah satu buruh migran, saat menyampaikan keluhannya di depan rombongan.

Karena masih belum puas ”ngobrol” dengan wakil-wakilnya, para demontran sampai harus ”menempel” rombongan sampai mereka naik bus, yang diparkir tak jauh dari air mancur Victory. Sejumlah buruh migran amat menyayangkan, anggota-anggota Komisi IX itu mengaku sama sekali tidak tahu kondisi buruh migran di Hong Kong. Pasalnya, mereka hanya mendapatkan laporan yang baik-baik saja dari pihak pemerintah. Nah, lho?(Kristina Dian S)

TUBUHKU JADI BIANG KEGAGALAN


Peristiwa ini sungguh-sungguh terjadi dan kualami. Lantaran bentuk fisikku yang ”aneh”, dua kali aku dipulangkan majikan sebelum masa kontrak habis. Beruntung, kali ketiga, majikanku mau menerimaku apa adanya. Toh, hatiku kadang bertanya, haruskah bentuk fisik seseorang menjadi penyebab kegagalan?
Panggil saja aku Ani. Sulung dari dua bersaudara, anak buruh tani, asal Dusun Pulung, Ponorogo. Meski saudara kandung, jujur saja, aku dan adik perempuanku memiliki banyak perbedaan fisik. Adikku yang kini duduk di bangku SMU, punya postur yang cukup bagus. Badannya ramping, rambutnya indah bergelombang, dan kulitnya putih bersih, seperti kulit emakku. Sedangkan aku berkulit hitam, badan gemuk pendek, bibir memble, dan – maaf – pantatku agak besar.

Entahlah aku ini ngikut siapa. Soalnya, seluruh keluarga besarku tidak ada yang mirip aku. Emak dulu sering cerita, waktu aku dalam kandungan, emak ngidam buah semangka, tapi tak keturutan. Tiap malam maunya juga nonton lawak Kirun di televisi. Tetapi karena di rumah tidak ada TV, terpaksa numpang ke rumah tetangga. Tentu saja bapakku melarang. Mungkin, karena itu, aku kemudian dilahirkan dengan keadaan seperti ini.

Gara-gara fisikku pula, sejak kecil aku dijuluki ”Tominse” alias Tolong Mingkem Sedikit. Ada juga yang mengolok-olokku dengan panggilan Ateng, menunjuk nama pelawak bertubuh pendek yang dulu kerap tampil di TV. Tapi tak mengapa. Aku tidak marah, karena memang begitu keadaanku.

Seusai menamatkan pendidikan MTS di daerah asal, aku yang kelahiran tahun 1980 ini, mengikuti jejak teman-temanku di kampung masuk penampungan di sebuah PJTKI yang berlokasi di Surabaya. Siapa tahu kelak nasibku mujur: kerja di luar negeri, dapat majikan yang baik, tidak pelit, dan memberiku waktu istirahat cukup. Maklum, aku termasuk gadis yang doyan tidur dan...nglindur.

Namun, peruntunganku rupanya sama gelap dengan kulitku. Sudah hampir setahun di PT besar itu, tidak jua aku diberangkatkan. Padahal, orang tuaku sudah mulai resah dan menyuruhku pulang ketimbang menjadi perawan tua di penampungan. Orang tuaku juga khawatir, aku melupakan kodratku sebagai wanita, lantaran tinggal bersama ribuan calon nakerwan. Syukurlah, aku berhasil meyakinkan orang tuaku yang sangat kucintai. Kukatakan, ajaran agama adalah perisai hidupku.

Keresahan orang tuaku mudah dimaklumi, karena faktanya memang cukup banyak temanku yang tersesat jalan. Tetapi apa peduliku? Wong orang-orang PT anteng-anteng saja, meski tahu ada anak buahnya yang suka bertingkah ”aneh-aneh”.

Teman-teman di PT umumnya sangat baik dan perhatian padaku. Walau terkadang, tiap malam sebelum tidur, aku sering ditanggap layaknya nanggap wayang golek. Kata mereka, aku gadis yang lucu tapi lugu. Lucunya, jika aku sedang berbicara, bibirku monyong kayak moncong senapan. Untuk tersenyum manis pun aku kesulitan. Entah kenapa.

Lalu, dikatakan lugu, karena aku tidak pernah sakit hati meski diolok-olok dan digojloki. Oh ya, banyak juga teman di penampungan yang memanggilku Tominse. Sangat jarang yang tahu nama asliku, karena aku jarang pakai keplek, tanda pengenal yang biasa dipasang di dada. Sudah begitu, banyak teman di PT yang kebetulan tetanggaku di kampung.

Majikan pertama

Akhirnya, pada Juli 2002, aku diberangkatkan juga ke Hong Kong dengan perjanjian: digaji di bawah standar dan tanpa hak libur selama dua tahun. Aku betul-betul tidak tahu kalau gajiku ternyata sangat minim, ditambah lagi tidak kenal libur. Ini bisa terjadi, karena orang-orang PT tidak pernah memberi penjelasan tentang hak-hakku.

Tetapi sudahlah, aku sudah telanjur menyetujui surat kontrak itu. Kupikir, dengan gaji di bawah standar pun tak mengapa, asal bisa bekerja dan menyisihkan sebagian gaji untuk membiayai sekolah adik semata wayangku. Namun, oalah, nasibku ternyata bener-bener tak beruntung. Baru empat bulan bekerja di apartemen lantai 4 Tsuen-Wan, aku sudah dideportasi majikan.

Pembaca… Kenyataan itu tentu membuatku sangat terluka. Hanya karena majikan tidak suka dengan bentuk tubuh dan warna kulitku, mereka memecatku. Lebih menyakitkan lagi, majikan pertamaku ini menuduhku telah menipunya. Memang, dalam foto di biodata, bibirku tidak terlihat memble karena tersenyum. Warna kulitku pun kelihatan putih bersih. Sementara, sejak di PT, badanku bertambah melar karena tiap hari cuma makan, tidur, nonton TV, dan belajar. Sama sekali tidak ada kegiatan, karena siswi BLKLN tidak diizinkan melakukan kegiatan apa pun tanpa instruksi dari instruktur.

Biodata itu tidak salah. Cuma, data dan foto yang tersedia adalah kondisi pada saat aku baru datang ke penampungan. Siapa sangka, biodata itu akhirnya dijadikan alasan untuk memecatrku. Sebagai seorang gadis, seketika, aku merasa kehilangan kepercayaan diri. Aku menjadi malu setiap kali bertemu dengan teman teman lain.

Gara-gara peristiwa itu pula, sekembaliku ke penampungan, aku jadi suka marah-marah kepada siapa saja yang masih memanggilku Ateng atau Tominse. Teman-teman di PT sampai heran melihat perubahan sikapku. Mereka semakin bertambah heran saat mendapati aku jadi lebih suka menyendiri.

Sialnya, staf-staf di penampungan justru bersikap nyinyir padaku. Di setiap kesempatan, aku selalu disindir, bahkan dimarahi yang nggak karuan. Pokoknya, sangat menyakitkan hati. Apalagi, pangkal soalnya tak lepas dari bentuk tubuhku ini. Tapi aku mencoba bersabar dan berharap penuh agar orang tuaku tidak mendengar aku kembali ke penampungan. Sebab, jika orang tuaku sampai tahu, pasti aku sudah disuruh pulang dan kerja di tanah air. Sementara, aku tak bisa membayangkan, dengan apa orang tuaku harus menebusku dari penampungan?

Majikan kedua

Hampir setahun aku menunggu proses ulang untuk kembali ke Hong Kong. Kali ini, aku beroleh majikan yang beralamat di Fillaer Garden- Shatin. Sejak berangkat, aku sangat berharap, kegagalanku di masa lalu tidak terulang lagi. Di rumah majikan kedua, aku diberi tugas merawat dua anak dan empat anjing piaraan.

Ketika pertama kali melihatku, aku sebenarnya sudah menangkap kesan, majikan ini juga kurang sreg melihat keadaanku yang bertinggi badan hanya 150 cm serta berat badan sekitar 55 kg. Kekhawatiran ditolak gara-gara fisik membuatku enjoy saja meski digaji di bawah standar.

Namun, sikap enjoy saja rupanya tidak cukup. Dengan alasan tidak ”nyaman” sering-sering melihatku, majikan memaksaku libur delapan kali dalam sebulan. Keputusan sepihak ini tentu saja sangat menyulitkan. Apakah aku mampu? Sisa potongan gaji hanya cukup untuk makan. Untuk beli apa-apa, aku tak pernah bisa. Sementara, mengisi liburan di rumah tidak diizinkan oleh majikan. Lama-lama aku tidak kuat, dan oke saja ketika mereka memintaku mencari majikan baru setelah empat bulan bekerja. Alhasil, aku gagal lagi dan dideportasi ulang.

Beda dengan yang dulu, kali ini aku tidak kelewat terpuruk meski di-PHK majikan. Setidaknya, aku memang harus kuat menghadapi persaingan kerja di luar negeri. Lagian, apa gunanya aku mengeluh karena keadaan dan kegagalan ini. Sejak kecil, aku memang dilahirkan dengan keadaan fisik yang demikian. Mau menuntut ketidakadilan ini, aku juga tidak tahu harus menuntut kepada siapa. Begitulah, kegagalan demi kegagalan justru membuatku lebih kuat dalam menyikapi hidup.

Sama seperti kepulangan yang pertama, aku lebih memilih tidak memberi kabar pada orang tua, yang diam-diam mulai menganggap aku hilang. Bagaimana tidak? Hampir dua tahun aku tak pernah berkabar, baik lewat telepon atau mengirim surat. Sengaja kulakukan itu, agar orang tua tidak tahu permasalahanku. Suatu saat nanti, pasti aku ceritakan semua kepada mereka. Itulah janji hatiku pada saat itu.

Setelah gagal untuk kedua kali, selama di penampungan aku lebih giat belajar bahasa dan tata cara kerja yang baik. Hari-hariku sibuk untuk ikut praktek memasak dan membaca segala macam buku, di samping mendalami ilmu agama. Setidaknya, hal itu harus kulakukan demi menutupi kekuranganku ini. Begitu banyak pengetahuan yang kudapatkan dari kegiatan-kegiatan itu. Dengan sesama teman di penampungan pun aku mulai terbuka dan tidak minder lagi.

Majikan ketiga

Setelah empat bulan menunggu, aku kembali diberangkatkan untuk kali ketiga. Dengan bekal yang kupunya, aku pun merasa lebih siap daripada sebelumnya. Aku setuju, kegagalan bukan akhir dari segala-galanya.

Kali ini, aku ditempatkan bekerja di daerah Sham Shoi Po, merawat empat orang tua jompo yang rata-rata sudah berusia 80 tahun. Mereka adalah dua pasang suami-istri, orang tua kedua majikanku. Di apartemen itu, mereka hanya tinggal berempat, karena majikanku memiliki rumah sendiri yang tidak jauh dari situ. Menurut jadwal kerja yang kuterima dari agen, tugasku hanya merawat empat lansia itu. Mulai dari mengajak jalan-jalan di taman tiap pagi dan sore, memasak, dan membantu memandikan mereka yang rata-rata sudah berkurang pendengarannya itu.

Pembaca… Betapa terharu dan gelinya aku saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat kerja baruku ini. Empat orang tua jompo duduk melingkar di ruang tamu, seperti murid yang sedang menerima pelajaran. Ada yang memakai kacamata berbingkai cokelat agak tebal sambil mengambar. Ada yang sedang melipat-lipat kertas, membuat perahu-perahuan. Dan, ada juga yang asyik makan biskuit.

Melihat aku masuk dengan kedua majikanku, mereka bebarengan menatap ke arahku, lalu tersenyum manis padaku. Entah mengapa, perasaanku saat itu begitu tenang dan damai. Meski keringat membanjiri tubuhku, jiwaku terasa begitu sejuk. Ini tak lain karena sikap mereka yang tampak bersahabat.

Kian hari kian terasa betapa besar perhatian mereka kepadaku. Aku bebas melakukan apa saja asal pekerjaanku sudah beres. Praktis tidak ada yang sulit menghadapi empat orang tua ini. Padahal, biasanya, yang namanya orang tua pasti cerewet dan jahat. Namun hal itu tidak berlaku untuk aku. Justru akulah yang kadang cerewet, meski sebatas untuk hal yang wajar. Misalnya ketika kuminta mandi, mereka bilang sudah mandi. Disuruh makan, katanya tidak lapar. Atau disuruh tidur, katanya tidak perlu ditemani. Siapa yang tidak tertawa atau tidak mangkel menghadapi orang-orang pikun?

Lucunya lagi, jika melihat aku cemberut karena mereka tidak nurut, biasanya mereka akan merayuku. ”Kamu itu manis. Jangan cemberut gitu. Ntar bibirmu tambah memble lho.” Aku pun tertawa lebar. Aku juga tidak memungkiri, mereka menyukai dan menyayangi aku justru karena keadaanku yang dikatakan lucu ini. Oleh mereka, aku terkadang juga dikatakan sebagai ”manusia unik”.

Kini, aku sudah hampir finish kontrak kerja di tempat ini. Gajiku selalu kukirimkan ke kampung halaman. Aku juga tak pernah keluar uang banyak untuk mengisi liburan. Teman-teman yang dulu sering meledeki aku, sekarang sering mentraktir diriku. Bahkan tak jarang memberiku ongkos kendaraan.

Justru sekarang aku yang bingung memutuskan. Empat majikan jompoku terang-terangan memintaku untuk tinggal bersama mereka sampai aku bosan, atau sampai mereka tiada nanti. Memang, rasanya rugi jika aku hanya dua tahun bekerja di tempat ini. Sementara, tahu sendiri, sampai akhirnya memperoleh majikan yang baik, aku sudah melewati serangkaian penderitaan. Namun, kalau aku tidak pulang, kasihan orang tua yang sudah tua. Aku juga takut jika sampai lupa untuk tidak menikah. Kupikir, ini manusiawi. Lha, kalau aku sampai tidak menikah, kapan aku bisa ngrasakke surgane ndonya? Uh...

(Dituturkan Ani kepada Kristina D.S. dari Apakabar)

TUBUHKU JADI BIANG KEGAGALAN


Peristiwa ini sungguh-sungguh terjadi dan kualami. Lantaran bentuk fisikku yang ”aneh”, dua kali aku dipulangkan majikan sebelum masa kontrak habis. Beruntung, kali ketiga, majikanku mau menerimaku apa adanya. Toh, hatiku kadang bertanya, haruskah bentuk fisik seseorang menjadi penyebab kegagalan?
Panggil saja aku Ani. Sulung dari dua bersaudara, anak buruh tani, asal Dusun Pulung, Ponorogo. Meski saudara kandung, jujur saja, aku dan adik perempuanku memiliki banyak perbedaan fisik. Adikku yang kini duduk di bangku SMU, punya postur yang cukup bagus. Badannya ramping, rambutnya indah bergelombang, dan kulitnya putih bersih, seperti kulit emakku. Sedangkan aku berkulit hitam, badan gemuk pendek, bibir memble, dan – maaf – pantatku agak besar.

Entahlah aku ini ngikut siapa. Soalnya, seluruh keluarga besarku tidak ada yang mirip aku. Emak dulu sering cerita, waktu aku dalam kandungan, emak ngidam buah semangka, tapi tak keturutan. Tiap malam maunya juga nonton lawak Kirun di televisi. Tetapi karena di rumah tidak ada TV, terpaksa numpang ke rumah tetangga. Tentu saja bapakku melarang. Mungkin, karena itu, aku kemudian dilahirkan dengan keadaan seperti ini.

Gara-gara fisikku pula, sejak kecil aku dijuluki ”Tominse” alias Tolong Mingkem Sedikit. Ada juga yang mengolok-olokku dengan panggilan Ateng, menunjuk nama pelawak bertubuh pendek yang dulu kerap tampil di TV. Tapi tak mengapa. Aku tidak marah, karena memang begitu keadaanku.

Seusai menamatkan pendidikan MTS di daerah asal, aku yang kelahiran tahun 1980 ini, mengikuti jejak teman-temanku di kampung masuk penampungan di sebuah PJTKI yang berlokasi di Surabaya. Siapa tahu kelak nasibku mujur: kerja di luar negeri, dapat majikan yang baik, tidak pelit, dan memberiku waktu istirahat cukup. Maklum, aku termasuk gadis yang doyan tidur dan...nglindur.

Namun, peruntunganku rupanya sama gelap dengan kulitku. Sudah hampir setahun di PT besar itu, tidak jua aku diberangkatkan. Padahal, orang tuaku sudah mulai resah dan menyuruhku pulang ketimbang menjadi perawan tua di penampungan. Orang tuaku juga khawatir, aku melupakan kodratku sebagai wanita, lantaran tinggal bersama ribuan calon nakerwan. Syukurlah, aku berhasil meyakinkan orang tuaku yang sangat kucintai. Kukatakan, ajaran agama adalah perisai hidupku.

Keresahan orang tuaku mudah dimaklumi, karena faktanya memang cukup banyak temanku yang tersesat jalan. Tetapi apa peduliku? Wong orang-orang PT anteng-anteng saja, meski tahu ada anak buahnya yang suka bertingkah ”aneh-aneh”.

Teman-teman di PT umumnya sangat baik dan perhatian padaku. Walau terkadang, tiap malam sebelum tidur, aku sering ditanggap layaknya nanggap wayang golek. Kata mereka, aku gadis yang lucu tapi lugu. Lucunya, jika aku sedang berbicara, bibirku monyong kayak moncong senapan. Untuk tersenyum manis pun aku kesulitan. Entah kenapa.

Lalu, dikatakan lugu, karena aku tidak pernah sakit hati meski diolok-olok dan digojloki. Oh ya, banyak juga teman di penampungan yang memanggilku Tominse. Sangat jarang yang tahu nama asliku, karena aku jarang pakai keplek, tanda pengenal yang biasa dipasang di dada. Sudah begitu, banyak teman di PT yang kebetulan tetanggaku di kampung.

Majikan pertama

Akhirnya, pada Juli 2002, aku diberangkatkan juga ke Hong Kong dengan perjanjian: digaji di bawah standar dan tanpa hak libur selama dua tahun. Aku betul-betul tidak tahu kalau gajiku ternyata sangat minim, ditambah lagi tidak kenal libur. Ini bisa terjadi, karena orang-orang PT tidak pernah memberi penjelasan tentang hak-hakku.

Tetapi sudahlah, aku sudah telanjur menyetujui surat kontrak itu. Kupikir, dengan gaji di bawah standar pun tak mengapa, asal bisa bekerja dan menyisihkan sebagian gaji untuk membiayai sekolah adik semata wayangku. Namun, oalah, nasibku ternyata bener-bener tak beruntung. Baru empat bulan bekerja di apartemen lantai 4 Tsuen-Wan, aku sudah dideportasi majikan.

Pembaca… Kenyataan itu tentu membuatku sangat terluka. Hanya karena majikan tidak suka dengan bentuk tubuh dan warna kulitku, mereka memecatku. Lebih menyakitkan lagi, majikan pertamaku ini menuduhku telah menipunya. Memang, dalam foto di biodata, bibirku tidak terlihat memble karena tersenyum. Warna kulitku pun kelihatan putih bersih. Sementara, sejak di PT, badanku bertambah melar karena tiap hari cuma makan, tidur, nonton TV, dan belajar. Sama sekali tidak ada kegiatan, karena siswi BLKLN tidak diizinkan melakukan kegiatan apa pun tanpa instruksi dari instruktur.

Biodata itu tidak salah. Cuma, data dan foto yang tersedia adalah kondisi pada saat aku baru datang ke penampungan. Siapa sangka, biodata itu akhirnya dijadikan alasan untuk memecatrku. Sebagai seorang gadis, seketika, aku merasa kehilangan kepercayaan diri. Aku menjadi malu setiap kali bertemu dengan teman teman lain.

Gara-gara peristiwa itu pula, sekembaliku ke penampungan, aku jadi suka marah-marah kepada siapa saja yang masih memanggilku Ateng atau Tominse. Teman-teman di PT sampai heran melihat perubahan sikapku. Mereka semakin bertambah heran saat mendapati aku jadi lebih suka menyendiri.

Sialnya, staf-staf di penampungan justru bersikap nyinyir padaku. Di setiap kesempatan, aku selalu disindir, bahkan dimarahi yang nggak karuan. Pokoknya, sangat menyakitkan hati. Apalagi, pangkal soalnya tak lepas dari bentuk tubuhku ini. Tapi aku mencoba bersabar dan berharap penuh agar orang tuaku tidak mendengar aku kembali ke penampungan. Sebab, jika orang tuaku sampai tahu, pasti aku sudah disuruh pulang dan kerja di tanah air. Sementara, aku tak bisa membayangkan, dengan apa orang tuaku harus menebusku dari penampungan?

Majikan kedua

Hampir setahun aku menunggu proses ulang untuk kembali ke Hong Kong. Kali ini, aku beroleh majikan yang beralamat di Fillaer Garden- Shatin. Sejak berangkat, aku sangat berharap, kegagalanku di masa lalu tidak terulang lagi. Di rumah majikan kedua, aku diberi tugas merawat dua anak dan empat anjing piaraan.

Ketika pertama kali melihatku, aku sebenarnya sudah menangkap kesan, majikan ini juga kurang sreg melihat keadaanku yang bertinggi badan hanya 150 cm serta berat badan sekitar 55 kg. Kekhawatiran ditolak gara-gara fisik membuatku enjoy saja meski digaji di bawah standar.

Namun, sikap enjoy saja rupanya tidak cukup. Dengan alasan tidak ”nyaman” sering-sering melihatku, majikan memaksaku libur delapan kali dalam sebulan. Keputusan sepihak ini tentu saja sangat menyulitkan. Apakah aku mampu? Sisa potongan gaji hanya cukup untuk makan. Untuk beli apa-apa, aku tak pernah bisa. Sementara, mengisi liburan di rumah tidak diizinkan oleh majikan. Lama-lama aku tidak kuat, dan oke saja ketika mereka memintaku mencari majikan baru setelah empat bulan bekerja. Alhasil, aku gagal lagi dan dideportasi ulang.

Beda dengan yang dulu, kali ini aku tidak kelewat terpuruk meski di-PHK majikan. Setidaknya, aku memang harus kuat menghadapi persaingan kerja di luar negeri. Lagian, apa gunanya aku mengeluh karena keadaan dan kegagalan ini. Sejak kecil, aku memang dilahirkan dengan keadaan fisik yang demikian. Mau menuntut ketidakadilan ini, aku juga tidak tahu harus menuntut kepada siapa. Begitulah, kegagalan demi kegagalan justru membuatku lebih kuat dalam menyikapi hidup.

Sama seperti kepulangan yang pertama, aku lebih memilih tidak memberi kabar pada orang tua, yang diam-diam mulai menganggap aku hilang. Bagaimana tidak? Hampir dua tahun aku tak pernah berkabar, baik lewat telepon atau mengirim surat. Sengaja kulakukan itu, agar orang tua tidak tahu permasalahanku. Suatu saat nanti, pasti aku ceritakan semua kepada mereka. Itulah janji hatiku pada saat itu.

Setelah gagal untuk kedua kali, selama di penampungan aku lebih giat belajar bahasa dan tata cara kerja yang baik. Hari-hariku sibuk untuk ikut praktek memasak dan membaca segala macam buku, di samping mendalami ilmu agama. Setidaknya, hal itu harus kulakukan demi menutupi kekuranganku ini. Begitu banyak pengetahuan yang kudapatkan dari kegiatan-kegiatan itu. Dengan sesama teman di penampungan pun aku mulai terbuka dan tidak minder lagi.

Majikan ketiga

Setelah empat bulan menunggu, aku kembali diberangkatkan untuk kali ketiga. Dengan bekal yang kupunya, aku pun merasa lebih siap daripada sebelumnya. Aku setuju, kegagalan bukan akhir dari segala-galanya.

Kali ini, aku ditempatkan bekerja di daerah Sham Shoi Po, merawat empat orang tua jompo yang rata-rata sudah berusia 80 tahun. Mereka adalah dua pasang suami-istri, orang tua kedua majikanku. Di apartemen itu, mereka hanya tinggal berempat, karena majikanku memiliki rumah sendiri yang tidak jauh dari situ. Menurut jadwal kerja yang kuterima dari agen, tugasku hanya merawat empat lansia itu. Mulai dari mengajak jalan-jalan di taman tiap pagi dan sore, memasak, dan membantu memandikan mereka yang rata-rata sudah berkurang pendengarannya itu.

Pembaca… Betapa terharu dan gelinya aku saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat kerja baruku ini. Empat orang tua jompo duduk melingkar di ruang tamu, seperti murid yang sedang menerima pelajaran. Ada yang memakai kacamata berbingkai cokelat agak tebal sambil mengambar. Ada yang sedang melipat-lipat kertas, membuat perahu-perahuan. Dan, ada juga yang asyik makan biskuit.

Melihat aku masuk dengan kedua majikanku, mereka bebarengan menatap ke arahku, lalu tersenyum manis padaku. Entah mengapa, perasaanku saat itu begitu tenang dan damai. Meski keringat membanjiri tubuhku, jiwaku terasa begitu sejuk. Ini tak lain karena sikap mereka yang tampak bersahabat.

Kian hari kian terasa betapa besar perhatian mereka kepadaku. Aku bebas melakukan apa saja asal pekerjaanku sudah beres. Praktis tidak ada yang sulit menghadapi empat orang tua ini. Padahal, biasanya, yang namanya orang tua pasti cerewet dan jahat. Namun hal itu tidak berlaku untuk aku. Justru akulah yang kadang cerewet, meski sebatas untuk hal yang wajar. Misalnya ketika kuminta mandi, mereka bilang sudah mandi. Disuruh makan, katanya tidak lapar. Atau disuruh tidur, katanya tidak perlu ditemani. Siapa yang tidak tertawa atau tidak mangkel menghadapi orang-orang pikun?

Lucunya lagi, jika melihat aku cemberut karena mereka tidak nurut, biasanya mereka akan merayuku. ”Kamu itu manis. Jangan cemberut gitu. Ntar bibirmu tambah memble lho.” Aku pun tertawa lebar. Aku juga tidak memungkiri, mereka menyukai dan menyayangi aku justru karena keadaanku yang dikatakan lucu ini. Oleh mereka, aku terkadang juga dikatakan sebagai ”manusia unik”.

Kini, aku sudah hampir finish kontrak kerja di tempat ini. Gajiku selalu kukirimkan ke kampung halaman. Aku juga tak pernah keluar uang banyak untuk mengisi liburan. Teman-teman yang dulu sering meledeki aku, sekarang sering mentraktir diriku. Bahkan tak jarang memberiku ongkos kendaraan.

Justru sekarang aku yang bingung memutuskan. Empat majikan jompoku terang-terangan memintaku untuk tinggal bersama mereka sampai aku bosan, atau sampai mereka tiada nanti. Memang, rasanya rugi jika aku hanya dua tahun bekerja di tempat ini. Sementara, tahu sendiri, sampai akhirnya memperoleh majikan yang baik, aku sudah melewati serangkaian penderitaan. Namun, kalau aku tidak pulang, kasihan orang tua yang sudah tua. Aku juga takut jika sampai lupa untuk tidak menikah. Kupikir, ini manusiawi. Lha, kalau aku sampai tidak menikah, kapan aku bisa ngrasakke surgane ndonya? Uh...

(Dituturkan Ani kepada Kristina D.S. dari Apakabar)

Sabtu, 26 Januari 2008

L O N E L Y

Tanpa sadar....
guliran air bening menetes di kedua pipi gw
Tanpa tahu....
memerah kedua bola mata gw

Gw benar benar sedih..
Gw menyesal kenapa membiar hati ini tergoda


Tuhan...

Kenapa kau hadirkan perasaan ini dalam diri gw

Kenapa kau kenalkan dia

Kalau akhirnya kau ambil setelah gw mampu menyayanginya

;">

Tuhan...

Engkau tahu sekian lama gw hidup sendiri

Tanpa ada cinta, tanpa ada kekasih

Engkau tahu

Betapa sulit menyayangi cinta baru

Gw gak bisa dan gw selalu gagal

Meski gw telah berusaha

Sekarang, Tuhan

Hati gw mulai berbungga, merona

Gw pikir ini adalah jalan terbaik untuk hidup gw

Gw pikir anugerah terindah darimu akan gw miliki

Namun engkau berencana lain

Engkau menutup hatinya untukku, bukan?

L O N E L Y

Tanpa sadar....
guliran air bening menetes di kedua pipi gw
Tanpa tahu....
memerah kedua bola mata gw

Gw benar benar sedih..
Gw menyesal kenapa membiar hati ini tergoda


Tuhan...

Kenapa kau hadirkan perasaan ini dalam diri gw

Kenapa kau kenalkan dia

Kalau akhirnya kau ambil setelah gw mampu menyayanginya

;">

Tuhan...

Engkau tahu sekian lama gw hidup sendiri

Tanpa ada cinta, tanpa ada kekasih

Engkau tahu

Betapa sulit menyayangi cinta baru

Gw gak bisa dan gw selalu gagal

Meski gw telah berusaha

Sekarang, Tuhan

Hati gw mulai berbungga, merona

Gw pikir ini adalah jalan terbaik untuk hidup gw

Gw pikir anugerah terindah darimu akan gw miliki

Namun engkau berencana lain

Engkau menutup hatinya untukku, bukan?

AKU TERPEDAYA CEWEK HONG KONG

Kulambungkan angan hidup bersama cewek yang kukenal lewat chatting. Kususun impian tentang hari depan bersamanya, gadis Indonesia yang bekerja di Hong Kong. Tetapi begitu mahligai indah sudah di depan mata, perencanaan pulang bareng sudah matang, tiba-tiba ia minta putus. Belakangan baru kutahu, ia sudah ada yang punya. Duh, kekasihku tega berdusta.
Sudah hampir tiga tahun aku – panggil saja Andi – bekerja di pabrik las di Jepang. Aku tinggal serumah dengan rekan-rekanku se-tanah air. Tahu sendiri, bekerja jauh dari keluarga, ditambah masih jomblo di usia 34, hiburanku satu-satunya praktis hanya chatting. Di dunia maya, aku memiliki banyak teman yang mayoritas kaum perempuan. Mulai dari yang masih bau kencur hingga yang sudah menjanda.
Teman-temanku ini umumnya berwajah cantik dan manis. Maklum, meski di dunia chatting, aku termasuk bujangan yang suka pilih-pilih. Kuakui, tidak sedikit dari mereka yang suka memamerkan keindahan tubuhnya. Dari mereka, banyak yang mengaku bekerja di Hong Kong. Jujur, tidak ada niat di hatiku untuk mengenal lebih serius satu di antara gadis-gadis yang menyukai pakaian terbuka itu.

Namun, sejak aku mengenal gadis yang memakai nama Prahara2005, timbul pikiran untuk mengenalnya lebih dekat. Aku merasa, Prahara sangat berbeda dibandingkan dengan cewek-cewek lain yang biasa ngendon di room Nusantara. Dari pakaian yang dikenakan, aku bisa menilai, gadis itu sangat sederhana. Tidak neko-neko, juga tidak suka membicarakan hal tabu yang sering jadi santapan rekan-rekan di global, tempat kami biasa mangkal.

Prahara juga termasuk orang yang enak diajak sharing, nyambung diajak ngobrol berbagai topik. Terlebih soal ketenagakerjaan. Otaknya sungguh encer. Tidak munafik, aku suka dia. Dari cerita-cerita yang disuguhkan, aku menarik kesimpulan, Prahara pasti cewek cerdas. Awalnya, aku sampai tak yakin, gadis pintar itu bekerja di Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga seperti yang diutarakannya. Belakangan aku percaya, ketika suatu hari aku mendengar Prahara dimarahi majikan gara-gara ketahuan sedang ngobrol via telepon denganku.

Prahara juga sosok ”misterius”. Ia teramat sulit diajak bicara masalah pribadi, dan selalu menghindar bila tanpa sengaja aku menyinggung soal itu. Otomatis, setiap kali telepon-teleponan, kami pasti berbicara masalah lain. Mula-mula, kuanggap sekadar saling tukar info, tapi lama kelamaan aku merasa bosan juga. Sai sai sikan, juga buang-buang pulsa tanpa ada kepastian.

Aku sendiri berani memastikan, Prahara juga suka sama aku. Buktinya, ia selalu menyempatkan chatting meski hanya 30 menit, curi-curi waktu di sela pergi belanja. Ia juga rajin mengirim SMS dan menelepon. Bahkan, setiap hari Minggu, ia rela duduk seharian di depan layar komputer, menemani kesuntukanku. Apakah aku termasuk bujangan yang mudah ge-er?

Begitulah, tak ingin salah menilai, suatu siang, ketika kami berkesempatan chatting, aku sedikit memaksa meminta kejelasan soal kedekatan kami selama ini. Tapi Prahara tetap sulit diajak bicara dari hati ke hati. Jawabannya berbelit-belit, sampai aku tak paham maksudnya. Sejak itu, kuputuskan untuk menghindarinya. Tidak mengontak atau menerima teleponnya lagi. SMS-nya pun tak lagi kubalas. Aku juga memutuskan berhenti chatting.

Sikap Prahara memang sulit ditebak. Begitu aku berusaha menghindar, ia kelabakan. Sampai-sampai, ia mengontak temanku yang tinggal se-apartemen. Kepada temanku, ia bilang tidak mau kehilangan diriku. Ia juga bilang kangen, serta menitip pesan permintaan maaf. Katanya, ia tak bisa tidur, makan atau bekerja dengan tenang hanya karena memikirkan aku. Terdorong oleh rasa iba, aku pun mengontaknya lagi, tentu dengan sedikit jual mahal dan pura-pura marah. Setelah itu kami sepakat jadian.

Hari-hari selanjutnya, terasa sulit kubendung hasratku untuk tidak bertemu. Aku selalu rindu mendengar tawa dan gurauannya. Aku selalu teringat, betapa ia sangat manja. Sepertinya ia ada di sampingku, menemani hari-hariku. Kehadiran Prahara dalam hatiku, membuat jiwa ini tak lagi sunyi. Andai saja Prahara setuju, ingin rasanya aku mengajaknya pulang ke tanah air saat itu juga. Akan kuperkenalkan dia kepada keluarga dan selekasnya mengajaknya menikah.

Mungkin, dialah calon istri yang diberikan Tuhan kepadaku, yang selama ini tak kunjung menemukan pendamping. Cuma, begitu aku mengajak menikah, Prahara meminta waktu untuk berpikir. Katanya, ia belum siap, juga takut aku tak bisa menerimanya setelah tahu secara nyata jatidirinya. Tak mengapa aku menanti, kapan pun ia hendak memberikan keputusan. Aku sayang dia, tulus dari dasar hati, rasanya terlalu egois bila aku kelewat memaksanya. Kuserahkan semua pada sang waktu.

Setelah empat bulan ”tembakan” itu, tepatnya akhir 2006, chayank-ku akhirnya memberi keputusan. Ia mengaku siap menikah denganku setelah masa kontraknya usai pada akhir Maret. Rencananya, kami akan pulang ke tanah air bersama-sama. Hidup seadanya di kampung halaman, setelah kami menikah pada bulan yang dijanjikan. Bunga cinta pun seketika bermekaran di hatiku. Bersamanya, kulambungkan anganku untuk mengarungi biduk rumah tangga.

Hatiku kian mantap, semakin pasti melabuhkan tujuan hidup. Aku tidak peduli apa pun keadaan dia, yang katanya sudah tak suci lagi. Aku bersedia menerima apa pun adanya. Selain tuntutan usia, aku juga merasa ada kecocokan dengannya. Kabar bahagia ini langsung kusampaikan kepada keluargaku, setelah sekian lama tak berkabar.

Tentu mereka gembira mendengar aku berencana pulang dan menikah dengan gadis pilihan. Antusiasme keluarga dalam menyambut calon menantu dan meminangkannya untukku, juga telah dipersiapkan. Termasuk, menyewa mobil carteran dari Sumatera tempat kelahiranku, ke tanah Jawa kelahiran gadis manisku.

Namun, di saat kami sekeluarga bersiap-siap, tiba-tiba aku dibuat pusing tujuh keliling oleh sikap Prahara. Februari itu, Prahara menghindariku tanpa kata-kata. Kukirimi SMS atau email, tak pernah dibalas. Nomor teleponnya sulit dihubungi. Bahkan, ia juga tidak pernah lagi online. Pikiranku kacau, bingung, khawatir terjadi sesuatu pada calon istriku. Meski demikian, aku tak pernah berprasangka negatif terkait perubahan sikapnya.

Bersyukur, aku berhasil menghubungi salah seorang temannya di Hong Kong, yang kebetulan juga pacaran dengan teman se-apartemenku. Dari pacar temanku itu, aku beroleh kabar: keadaan Prahara baik-baik saja. Prahara hanya sedang tak berduit, untuk chatting maupun beli pulsa. Hatiku lega, setidaknya aku telah tahu alasan Prahara bersikap seperti itu. Lewat konco-nya ini, kami pun saling kontak lagi.

Rupanya benar, Prahara sedang mengalami problem keuangan. Gajinya barusan dikirim semua ke keluarganya. Ia juga bercerita, gadisku adalah tulang punggung keluarga, meski terlahir sebagai anak ketiga dari enam bersaudara. Katanya, selama bekerja di Hong Kong, ia tak bisa leluasa memakai pendapatannya. Aku jadi kasihan pada calon istriku. Sepertinya, ia mengalami tekanan.

Tanpa pikir panjang, aku meminta rekeningnya, dan aku kirimi uang dari Jepang sehari setelah perbincangan. Aku tak rela ia menderita karena impitan itu. Namun, meski uang kirimanku sudah diterima – kata temannya – tetap saja Prahara tak mau menelepon atau mengirim SMS kepadaku. Padahal, aku kangen setengah mati.

O, rupanya kirimanku masih belum mencukupi kebutuhan. Jika semula alasannya tak punya uang untuk chatting dan beli pulsa, kali ini Prahara bilang – masih lewat temannya – butuh uang untuk dikirim ke orangtua. Katanya, untuk menutupi utang pada tetangga. Konon, orangtuanya pinjam uang untuk membangun rumah. Rumah belum jadi, biaya keburu habis.

Prahara, yang akhirnya meneleponku, memang terdengar kusut dan tak punya gairah bicara. Nadanya sangat memelas. Sampai timbul pikiranku untuk meraih kepalanya dan menyandarkan di dadaku, agar gadisku tenang. Pikirku, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Dengan pertimbangan rumah itu (katanya) milik Prahara, aku pun kembali mengirim uang sesuai kebutuhan. Aku ikhlas.

Beberapa hari setelah kirimanku sampai, Prahara mengirimkan SMS mengucapkan terima kasih. Juga, mengabarkan masalah di tanah air sudah teratasi. Dia bilang, ia ingin segera pulang dan hidup satu atap denganku. Di Jepang, aku juga bersiap-siap meninggalkan negeri itu. Rencananya, aku mampir dulu ke Hong Kong menjemput Prahara, lalu terbang ke tanah air bersama-sama. Aku sudah siap lahir batin hidup bersamanya di Indonesia nanti. Meski usaha kecil-kecilan, aku rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hari hari.

Memasuki bulan Maret, Prahara meneleponku sembari menangis. Ia minta maaf tidak bisa pulang ke tanah air bersama-sama. Juga, tidak bisa menikah denganku. Bagai disambar petir aku mendengarnya. Segalanya sudah kupersiapkan, keluargaku pun demikian. Ia sesenggukan, tapi tak mau menceritakan masalahnya. Aku tidak tahu, apa maksud Prahara minta putus di saat hari indah sudah di depan mata. Ia tetap membisu, membuat aku semakin tak mengerti dan bertambah emosi. Hanya maaf, dan maaf yang ia lontarkan.

Pada saat seperti itu, sebenarnya aku tidak membutuhkan kata maaf. Aku hanya membutuhkan alasan Prahara yang sejujurnya. Tapi, percuma memaksa atau marah kepadanya. Ia tetap tak mau terbuka. Akhirnya, aku mencoba berbesar hati, menerima apa pun keputusan Prahara. Aku rela bila cinta ini harus berakhir di tengah jalan. Tapi...bagaimana dengan keluargaku? Bisakah aku memberi penjelasan kepada mereka?

Aku merasa telah dipermainkan Prahara, gadis Jawa berusia 24 tahun. Ia benar-benar membuat prahara dalam kehidupanku. Memporakporandakan perasaan, menghancurkan harapan, dan mempermalukan aku di hadapan keluarga. Aku menyesal membiarkan diriku terjebak di dunia fatamorgana. Aku terlalu percaya pada gadis yang kukenal lewat chatting. Ya, aku telah dibohongi mentah-mentah. Rupanya, gadisku sudah punya tunangan di tanah air. Kata temannya, ia akan kembali ke tanah air dan menikah dengan pacarnya dalam waktu dekat, sebelum aku tiba di Hong Kong! Betul, Prahara memang hendak menikah, tapi tidak denganku.

Pembaca... Meski aku terlahir sebagai laki-laki, bukan berarti aku tak bisa meneteskan air mata. Jangan kira hatiku tidak sakit dengan ulah cewekku. Hanya satu harapanku, semoga aku tidak trauma, juga tidak lelah untuk mencoba membuka hati bagi cinta yang lain. Mungkin, Prahara memang bukan jodohku.

(Dituturkan ”Andi” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

AKU TERPEDAYA CEWEK HONG KONG

Kulambungkan angan hidup bersama cewek yang kukenal lewat chatting. Kususun impian tentang hari depan bersamanya, gadis Indonesia yang bekerja di Hong Kong. Tetapi begitu mahligai indah sudah di depan mata, perencanaan pulang bareng sudah matang, tiba-tiba ia minta putus. Belakangan baru kutahu, ia sudah ada yang punya. Duh, kekasihku tega berdusta.
Sudah hampir tiga tahun aku – panggil saja Andi – bekerja di pabrik las di Jepang. Aku tinggal serumah dengan rekan-rekanku se-tanah air. Tahu sendiri, bekerja jauh dari keluarga, ditambah masih jomblo di usia 34, hiburanku satu-satunya praktis hanya chatting. Di dunia maya, aku memiliki banyak teman yang mayoritas kaum perempuan. Mulai dari yang masih bau kencur hingga yang sudah menjanda.
Teman-temanku ini umumnya berwajah cantik dan manis. Maklum, meski di dunia chatting, aku termasuk bujangan yang suka pilih-pilih. Kuakui, tidak sedikit dari mereka yang suka memamerkan keindahan tubuhnya. Dari mereka, banyak yang mengaku bekerja di Hong Kong. Jujur, tidak ada niat di hatiku untuk mengenal lebih serius satu di antara gadis-gadis yang menyukai pakaian terbuka itu.

Namun, sejak aku mengenal gadis yang memakai nama Prahara2005, timbul pikiran untuk mengenalnya lebih dekat. Aku merasa, Prahara sangat berbeda dibandingkan dengan cewek-cewek lain yang biasa ngendon di room Nusantara. Dari pakaian yang dikenakan, aku bisa menilai, gadis itu sangat sederhana. Tidak neko-neko, juga tidak suka membicarakan hal tabu yang sering jadi santapan rekan-rekan di global, tempat kami biasa mangkal.

Prahara juga termasuk orang yang enak diajak sharing, nyambung diajak ngobrol berbagai topik. Terlebih soal ketenagakerjaan. Otaknya sungguh encer. Tidak munafik, aku suka dia. Dari cerita-cerita yang disuguhkan, aku menarik kesimpulan, Prahara pasti cewek cerdas. Awalnya, aku sampai tak yakin, gadis pintar itu bekerja di Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga seperti yang diutarakannya. Belakangan aku percaya, ketika suatu hari aku mendengar Prahara dimarahi majikan gara-gara ketahuan sedang ngobrol via telepon denganku.

Prahara juga sosok ”misterius”. Ia teramat sulit diajak bicara masalah pribadi, dan selalu menghindar bila tanpa sengaja aku menyinggung soal itu. Otomatis, setiap kali telepon-teleponan, kami pasti berbicara masalah lain. Mula-mula, kuanggap sekadar saling tukar info, tapi lama kelamaan aku merasa bosan juga. Sai sai sikan, juga buang-buang pulsa tanpa ada kepastian.

Aku sendiri berani memastikan, Prahara juga suka sama aku. Buktinya, ia selalu menyempatkan chatting meski hanya 30 menit, curi-curi waktu di sela pergi belanja. Ia juga rajin mengirim SMS dan menelepon. Bahkan, setiap hari Minggu, ia rela duduk seharian di depan layar komputer, menemani kesuntukanku. Apakah aku termasuk bujangan yang mudah ge-er?

Begitulah, tak ingin salah menilai, suatu siang, ketika kami berkesempatan chatting, aku sedikit memaksa meminta kejelasan soal kedekatan kami selama ini. Tapi Prahara tetap sulit diajak bicara dari hati ke hati. Jawabannya berbelit-belit, sampai aku tak paham maksudnya. Sejak itu, kuputuskan untuk menghindarinya. Tidak mengontak atau menerima teleponnya lagi. SMS-nya pun tak lagi kubalas. Aku juga memutuskan berhenti chatting.

Sikap Prahara memang sulit ditebak. Begitu aku berusaha menghindar, ia kelabakan. Sampai-sampai, ia mengontak temanku yang tinggal se-apartemen. Kepada temanku, ia bilang tidak mau kehilangan diriku. Ia juga bilang kangen, serta menitip pesan permintaan maaf. Katanya, ia tak bisa tidur, makan atau bekerja dengan tenang hanya karena memikirkan aku. Terdorong oleh rasa iba, aku pun mengontaknya lagi, tentu dengan sedikit jual mahal dan pura-pura marah. Setelah itu kami sepakat jadian.

Hari-hari selanjutnya, terasa sulit kubendung hasratku untuk tidak bertemu. Aku selalu rindu mendengar tawa dan gurauannya. Aku selalu teringat, betapa ia sangat manja. Sepertinya ia ada di sampingku, menemani hari-hariku. Kehadiran Prahara dalam hatiku, membuat jiwa ini tak lagi sunyi. Andai saja Prahara setuju, ingin rasanya aku mengajaknya pulang ke tanah air saat itu juga. Akan kuperkenalkan dia kepada keluarga dan selekasnya mengajaknya menikah.

Mungkin, dialah calon istri yang diberikan Tuhan kepadaku, yang selama ini tak kunjung menemukan pendamping. Cuma, begitu aku mengajak menikah, Prahara meminta waktu untuk berpikir. Katanya, ia belum siap, juga takut aku tak bisa menerimanya setelah tahu secara nyata jatidirinya. Tak mengapa aku menanti, kapan pun ia hendak memberikan keputusan. Aku sayang dia, tulus dari dasar hati, rasanya terlalu egois bila aku kelewat memaksanya. Kuserahkan semua pada sang waktu.

Setelah empat bulan ”tembakan” itu, tepatnya akhir 2006, chayank-ku akhirnya memberi keputusan. Ia mengaku siap menikah denganku setelah masa kontraknya usai pada akhir Maret. Rencananya, kami akan pulang ke tanah air bersama-sama. Hidup seadanya di kampung halaman, setelah kami menikah pada bulan yang dijanjikan. Bunga cinta pun seketika bermekaran di hatiku. Bersamanya, kulambungkan anganku untuk mengarungi biduk rumah tangga.

Hatiku kian mantap, semakin pasti melabuhkan tujuan hidup. Aku tidak peduli apa pun keadaan dia, yang katanya sudah tak suci lagi. Aku bersedia menerima apa pun adanya. Selain tuntutan usia, aku juga merasa ada kecocokan dengannya. Kabar bahagia ini langsung kusampaikan kepada keluargaku, setelah sekian lama tak berkabar.

Tentu mereka gembira mendengar aku berencana pulang dan menikah dengan gadis pilihan. Antusiasme keluarga dalam menyambut calon menantu dan meminangkannya untukku, juga telah dipersiapkan. Termasuk, menyewa mobil carteran dari Sumatera tempat kelahiranku, ke tanah Jawa kelahiran gadis manisku.

Namun, di saat kami sekeluarga bersiap-siap, tiba-tiba aku dibuat pusing tujuh keliling oleh sikap Prahara. Februari itu, Prahara menghindariku tanpa kata-kata. Kukirimi SMS atau email, tak pernah dibalas. Nomor teleponnya sulit dihubungi. Bahkan, ia juga tidak pernah lagi online. Pikiranku kacau, bingung, khawatir terjadi sesuatu pada calon istriku. Meski demikian, aku tak pernah berprasangka negatif terkait perubahan sikapnya.

Bersyukur, aku berhasil menghubungi salah seorang temannya di Hong Kong, yang kebetulan juga pacaran dengan teman se-apartemenku. Dari pacar temanku itu, aku beroleh kabar: keadaan Prahara baik-baik saja. Prahara hanya sedang tak berduit, untuk chatting maupun beli pulsa. Hatiku lega, setidaknya aku telah tahu alasan Prahara bersikap seperti itu. Lewat konco-nya ini, kami pun saling kontak lagi.

Rupanya benar, Prahara sedang mengalami problem keuangan. Gajinya barusan dikirim semua ke keluarganya. Ia juga bercerita, gadisku adalah tulang punggung keluarga, meski terlahir sebagai anak ketiga dari enam bersaudara. Katanya, selama bekerja di Hong Kong, ia tak bisa leluasa memakai pendapatannya. Aku jadi kasihan pada calon istriku. Sepertinya, ia mengalami tekanan.

Tanpa pikir panjang, aku meminta rekeningnya, dan aku kirimi uang dari Jepang sehari setelah perbincangan. Aku tak rela ia menderita karena impitan itu. Namun, meski uang kirimanku sudah diterima – kata temannya – tetap saja Prahara tak mau menelepon atau mengirim SMS kepadaku. Padahal, aku kangen setengah mati.

O, rupanya kirimanku masih belum mencukupi kebutuhan. Jika semula alasannya tak punya uang untuk chatting dan beli pulsa, kali ini Prahara bilang – masih lewat temannya – butuh uang untuk dikirim ke orangtua. Katanya, untuk menutupi utang pada tetangga. Konon, orangtuanya pinjam uang untuk membangun rumah. Rumah belum jadi, biaya keburu habis.

Prahara, yang akhirnya meneleponku, memang terdengar kusut dan tak punya gairah bicara. Nadanya sangat memelas. Sampai timbul pikiranku untuk meraih kepalanya dan menyandarkan di dadaku, agar gadisku tenang. Pikirku, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Dengan pertimbangan rumah itu (katanya) milik Prahara, aku pun kembali mengirim uang sesuai kebutuhan. Aku ikhlas.

Beberapa hari setelah kirimanku sampai, Prahara mengirimkan SMS mengucapkan terima kasih. Juga, mengabarkan masalah di tanah air sudah teratasi. Dia bilang, ia ingin segera pulang dan hidup satu atap denganku. Di Jepang, aku juga bersiap-siap meninggalkan negeri itu. Rencananya, aku mampir dulu ke Hong Kong menjemput Prahara, lalu terbang ke tanah air bersama-sama. Aku sudah siap lahir batin hidup bersamanya di Indonesia nanti. Meski usaha kecil-kecilan, aku rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hari hari.

Memasuki bulan Maret, Prahara meneleponku sembari menangis. Ia minta maaf tidak bisa pulang ke tanah air bersama-sama. Juga, tidak bisa menikah denganku. Bagai disambar petir aku mendengarnya. Segalanya sudah kupersiapkan, keluargaku pun demikian. Ia sesenggukan, tapi tak mau menceritakan masalahnya. Aku tidak tahu, apa maksud Prahara minta putus di saat hari indah sudah di depan mata. Ia tetap membisu, membuat aku semakin tak mengerti dan bertambah emosi. Hanya maaf, dan maaf yang ia lontarkan.

Pada saat seperti itu, sebenarnya aku tidak membutuhkan kata maaf. Aku hanya membutuhkan alasan Prahara yang sejujurnya. Tapi, percuma memaksa atau marah kepadanya. Ia tetap tak mau terbuka. Akhirnya, aku mencoba berbesar hati, menerima apa pun keputusan Prahara. Aku rela bila cinta ini harus berakhir di tengah jalan. Tapi...bagaimana dengan keluargaku? Bisakah aku memberi penjelasan kepada mereka?

Aku merasa telah dipermainkan Prahara, gadis Jawa berusia 24 tahun. Ia benar-benar membuat prahara dalam kehidupanku. Memporakporandakan perasaan, menghancurkan harapan, dan mempermalukan aku di hadapan keluarga. Aku menyesal membiarkan diriku terjebak di dunia fatamorgana. Aku terlalu percaya pada gadis yang kukenal lewat chatting. Ya, aku telah dibohongi mentah-mentah. Rupanya, gadisku sudah punya tunangan di tanah air. Kata temannya, ia akan kembali ke tanah air dan menikah dengan pacarnya dalam waktu dekat, sebelum aku tiba di Hong Kong! Betul, Prahara memang hendak menikah, tapi tidak denganku.

Pembaca... Meski aku terlahir sebagai laki-laki, bukan berarti aku tak bisa meneteskan air mata. Jangan kira hatiku tidak sakit dengan ulah cewekku. Hanya satu harapanku, semoga aku tidak trauma, juga tidak lelah untuk mencoba membuka hati bagi cinta yang lain. Mungkin, Prahara memang bukan jodohku.

(Dituturkan ”Andi” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

Jumat, 25 Januari 2008

ARWAH NENEK TERUS MENGHATUIKU

Anggi mungkin termasuk sosok yang beroleh ”kelebihan” dari Yang Maha Kuasa. Meski di bawah alam sadar, ia mampu melihat arwah, bahkan bisa mengetahui suatu kejadian sebelum peristiwa itu terjadi. Uniknya, meski sudah 13 tahun bekerja di Hong Kong, ”arwah nenek” terus saja mengikutinya. Mistik?

Namaku Anggi. Aku bukan paranormal, apalagi ”sosok nan sakti mandraguna”. Namun, entah mengapa, sedari kecil aku seolah diberi ”kemampuan lain” yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Yakni, melihat arwah, terutama arwah mendiang nenekku.

”Kehadiran” nenek – meski hanya lewat sekelebat bayangan – tidak hanya terjadi pada malam ketujuh atau seratus hari setelah beliau wafat. Tetapi sampai hari, 13 tahun setelah aku bekerja di Hong Kong.

Tanpa diundang atau memberikan isyarat terlebih dahulu, nenek kerap menampakkan diri secara nyata di hadapanku. Padahal, itu tadi, sudah sekian lama aku meninggalkan tanah air untuk memeras keringat demi anak-anakku yang kini tinggal di kampung halaman: Desa Sumber Pucung, Malang. Harus kuakui, sejak kecil aku memang diasuh oleh nenek. Ketika aku melahirkan pun, neneklah yang membantuku mengasuh anakku. Melihat itu, haruskah kuhindari ”pertemuan” dengan arwah nenek yang pernah merawatku dan anak-anakku?

Cerita bermula pada suatu malam, beberapa hari sebelum nenek meninggal. Entah bagaimana awalnya, aku bertemu dengan sesosok orang yang kutahu telah meninggal dunia. Waktu itu aku sedang berusaha memejamkan mata, ingin tidur. Tapi, entah mengapa, malam itu tidak seperti biasanya. Aku kesulitan mengistirahatkan badan dan pikiran. Saat itulah, di antara sadar dan tidak, tiba-tiba aku didatangi seorang perempuan tua yang telah tiada. Sayang, aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Di bawah siraman cahaya neon, ia mengulurkan tangan, mengajakku pergi ke suatu tempat.

Tentu saja aku menolak. Aku tak mau pergi dengan nenek tua yang tak pernah kutahu siapa dirinya. Sembari merayu, ia terus melangkah mendekatiku. Meski tempat yang dijanjikan katanya indah, aku tetap menolak. Tiba-tiba, ketika keriput lengannya hampir saja menarikku pergi dari tempat itu, aku kembali ke alam sadar. Siapa pun boleh mengatakan itu hanya khayalan, ilusi, sekadar mimpi atau bunga tidur. Tetapi aku yakin, kedatangan sosok renta di malam itu adalah kenyataan yang memberiku sebuah tanda-tanda. Aku sadar betul, mataku saat itu masih ”segar bugar”.

Keesokan harinya, kejadian yang sama kembali terulang. Bedanya, kali ini aku melihat dan mengenali dengan sungguh-sungguh siapa gerangan nenek tua yang ”mengganggu”-ku. Malam itu, dalam perasaanku, nenek – orang tua bapak – mengeluarkan seluruh dagangannya. Namun setelah membenahi barang-barang yang hendak dijual, nenek terjatuh. Siapa sangka, kedua peristiwa yang kulihat di alam bawah sadar itu ternyata menjadi pertanda dan firasat di belakang hari. Sebab, selang tiga hari kemudian, nenekku meninggal dunia.

Sepeninggal nenek, rumah besar yang selama ini kami tempati bersama, kami jual. Dari hasil penjualan rumah di tepi jalan raya itu, kami lalu membeli rumah di pinggir kuburan umum dekat SMP Sumber Pucung. Oleh sebagian warga, tempat yang baru kami tinggali ini dikenal angker. Jarang ada warga yang berani keluar rumah seusai azan magrib. Kami sekeluarga, sebagai pendatang baru di kampung itu, pun akhirnya berlaku seperti tetangga yang lain. Selepas azan maghrib, kami tak berani kemana-mana. Anteng di rumah.

Anehnya, meski kami sekeluarga memilih ”diam” di rumah pada malam hari, masih saja kami mengalami kejadian menyeramkan. Seperti pada Jumat Legi malam itu. Semerbak bunga kamboja dari pekuburan umum di samping rumah, tercium harum memenuhi ruang keluarga. Aroma wangi itu semakin menusuk terbawa embusan angin malam.

Harum kamboja sebenarnya bukan hal baru bagi keluarga kami. Ibaratnya, sudah menjadi pengharum ruangan sejak kami tinggal di rumah baru. Namun, malam itu, harum bunga kamboja bercampur jadi satu dengan bau tanah basah. Membuat pikiran kami semakin tidak karuan. Kami mencoba tidak saling menceritakan perasaan tersebut kepada sesama anggota keluarga yang lain. Meski mengalami hal yang sama, kami mampu menutupinya dengan mengalihkan perhatian pada acara TV.

Aku semakin resah. Harum bunga khas pekuburan itu tak juga pergi. Justru semakin tajam menghempas indera penciuman. ”Kreeeeekkk.....,” tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Sesaat kami saling berpandangan. Aneh. Seluruh anggota keluarga sedang berkumpul, tapi kok ada yang membuka pintu? Tidak seorang pun yang keluar rumah seusai azan mahrib itu. Selang sesaat, pintu utama tampak terbuka. Samar kami melihat sekelebat bayangan di depan pintu, lalu melintas di hadapan kami.

Anehnya lagi, kami sekeluarga seolah terhipnotis. Hanya diam melongo melihat bayangan nenek tua yang wajahnya tertimpa pendar lampu neon. ”Kreeeeeekkkk...” Pintu kembali tertutup, bayangan itu pun menghilang. ”Barangkali nenek yang datang berkunjung,” ucap bapak, mencoba mencairkan ketegangan kami. Bulu kuduk semakin berdiri manakala bapak mengatakan, arwah nenek datang ingin ikut jagongan.

Sejak itu, nenek memang sering ”pulang” ke rumah. Menampakkan bayangan pada keluarga kami. Tidak terkecuali pada aku, yang sebelumnya dikenal sebagai cucu kesayangan nenek. Bukan hanya setelah tumbuh dewasa, sejak kecil aku memang dirawat olehnya. Diberi sentuhan kasih sayang dan perhatian besar. Setelah meninggal pun, nenek masih memperlakukan aku sama seperti ketika beliau masih hidup.

Setiap kali aku sedang susah atau bersedih hati, nenek pasti datang, meski hanya dalam bentuk bayangan samar di bawah alam sadar. Aku sambat sumpek atau sakit misalnya, nenek pasti berkunjung. Aku bahkan sering merasakan nenek tidur di sampingku. Kadangkala aku juga merasa dikeloni nenek. Sehingga ketika bangun pagi, aku cuma bisa bengong. Bayangan semalam masih membekas dalam ingatanku. Apa iya sih, aku dikeloni nenek?

Untungnya, aku sendiri tak pernah merasa ngeri atau takut terhadap kehadiran orang yang telah meninggal dunia. Misalnya, sesuai aku melahirkan anak kedua. Hatiku sangat bahagia. Senang telah melahirkan anak lanangku dengan selamat. Saking gembiranya, sampai-sampai mataku enggan tidur. Nah, ketika sedang asyik menatap wajah bayiku, pintu kamar dibuka orang. Tetapi hanya berwujud bayangan seperti yang sudah-sudah.

Seraut wajah itu menyapa, bahkan menanyakan kabar. Namun, tidak lama setelah membuka kain kelambu kamar, ia berlalu pergi. Beberapa detik kemudian, baru aku tersadar, orang tua itu telah tiada. Secepat kilat kukejar bayangannya keluar kamar. Kucari-cari tapi tak ketemu. Bayangan nenek sudah keburu menghilang.

Kupikir, arwah nenek akan berhenti menggoda setelah aku berangkat ke Hong Kong. Tidak lagi datang dan memberi tanda-tanda. Namun, dugaanku keliru. Nyatanya, lautan luas yang membentang luas antara Hong Kong-Indonesia, tidak membuat nenek ”kehilangan diriku”. Sesampai di Hong Kong, tetap saja nenek ngasih ”perhatian” padaku. Ketika aku lelah, butuh sahabat, merindukan anak atau ketika ingin menangis, tangan nenek dan kasih sayangnya tetap kurasakan. Sedikit pun tak pernah berubah.

Justru di negara ini, nenek semakin dekat padaku. Sampai-sampai, aku sering mendapati diriku tengah berbicara sendiri. Hal seperti ini terus kualami ketika aku sedang sendirian dan kesepian. Tak peduli siang ataupun malam. Seperti pada suatu malam, setelah aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Usai mandi, aku berdiri di depan cermin, menyisir rambut. Aku sungguh terperanjat melihat nenek melintas di dalam cermin. Aku melihat bayangannya, meski hanya sekelebat. Toh, aku sempat berpesan pada nenek untuk tidak mengganggu anak-anakku.

Selepas bayangan nenek pergi, aku melihat bayangan anak budeku. Tak lama, bayangan-bayangan yang kulihat dalam cermin itu menghilang, dan...barulah kesadaranku pulih. Tapi ya, ampun. Selang beberapa hari, aku mendapat kabar dari tanah air: anak bude yang kemarin kulihat di cermin, meninggal dunia. Entahlah, apa namanya semua ini. Jika kutelusuri, kejadian demi kejadian itu terkadang membuatku ciut nyali. Tetapi memang begitulah, sering ngobrol, bertemu dan bermanja pada bayangan nenek, semua itu terjadi tanpa kusadari. Sesudahnya barulah aku sadar, aku telah ”bermain” dengan arwah.

Kuakui, perasaanku sering bersinggungan dengan dunia mistik. Entah benar atau tidak yang dikatakan emak, aku ini titisan kakek moyang yang dulu dikenal sakti mandraguna oleh masyarakat Ponorogo. Sampai sekarang, cerita tentang Mbah Salekan – kakek moyangku itu – masih sering jadi buah bibir. Banyak tetua kampung menurunkan cerita tentang kesaktian dan keampuhan mbahku yang suka kungkum pada keturunannya. Ketika tetangga atau keluarga menceritakan sepak terjang mbahku pada zaman dulu, rasanya aku tak hendak beranjak pergi. Ingin mendengarkan kisah-kisahnya. Tetapi, bisa jadi juga, naluri tinggi dan kemampuan mengetahui yang bakal terjadi ini, kuperoleh karena sejak emak mengandungku, bapak suka semedi.

Peristiwa pertama yang paling kuingat terjadi sewaktu aku masih SD. Ini bukan lagi sekadar mimpi atau khayalan di alam bawah sadar, tetapi benar-benar kulihat dan kusaksikan dengan mata kepala sendiri. Bahwa dunia mistik bukan sekadar cerita atau dongeng sebelum bobok. Alam dan seluruh isi bumi ini pun sepertinya hidup. Terlebih benda-benda di angkasa. Sekarang, tinggal percaya atau tidak, aku pernah menyaksikan kluwung (pelangi). Bagiku, pelangi itu hidup. Pernah aku melihatnya sedang berjalan. Sret...sret...menyembul dari bumi, lalu berjalan melingkar menembus Sungai Brantas, Karangkates.

Di atas air itu aku menyaksikan pelangi itu membentuk lingkaran seperti tampah besar. Ada api di antara garis warna-warninya yang indah. Api itu lama-kelamaan menyala terang, berpijar dengan indah. Bias cahaya yang menebar di sekitar pepohonan tepi Sungai Brantas itu membuat alam menjadi berwarna hijau daun. Begitu cerah. Air Sungai Brantas pun seolah seperti tebaran permata, hingga menampakkan ikan-ikan yang sedang berenang di tengah arus deras. Tak lama, aku yang keasyikan memandang pelangi dari tempatku bermain, melihat lingkaran pelangi berjalan ke atas secara perlahan. Membubung tinggi layaknya aku bermain ulat tangga. Menakjubkan!

Hingga kini, pandangan indah di masa kecil itu tak pernah bisa kulupa. Entahlah, apakah hal itu merupakan bukti kebesaran Illahi atau Sing Mbaurekso. Yang pasti, kedatangan arwah nenek dalam kehidupanku, seumpama pelangi indah yang pernah kulihat dulu. Yang Kuasa sesekali akan menunjukkan kebesaran-Nya kepada umatnya. Tak wajar rasanya jika aku takut terhadap kedatangan arwah nenek yang telah bertahun-tahun meninggalkan dunia ini. Apalagi, beliau pernah membesarkan aku. Subhannalah...!

(Dituturkan Anggi kepada Kristina Dian S dari Apakabar)



ARWAH NENEK TERUS MENGHATUIKU

Anggi mungkin termasuk sosok yang beroleh ”kelebihan” dari Yang Maha Kuasa. Meski di bawah alam sadar, ia mampu melihat arwah, bahkan bisa mengetahui suatu kejadian sebelum peristiwa itu terjadi. Uniknya, meski sudah 13 tahun bekerja di Hong Kong, ”arwah nenek” terus saja mengikutinya. Mistik?

Namaku Anggi. Aku bukan paranormal, apalagi ”sosok nan sakti mandraguna”. Namun, entah mengapa, sedari kecil aku seolah diberi ”kemampuan lain” yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Yakni, melihat arwah, terutama arwah mendiang nenekku.

”Kehadiran” nenek – meski hanya lewat sekelebat bayangan – tidak hanya terjadi pada malam ketujuh atau seratus hari setelah beliau wafat. Tetapi sampai hari, 13 tahun setelah aku bekerja di Hong Kong.

Tanpa diundang atau memberikan isyarat terlebih dahulu, nenek kerap menampakkan diri secara nyata di hadapanku. Padahal, itu tadi, sudah sekian lama aku meninggalkan tanah air untuk memeras keringat demi anak-anakku yang kini tinggal di kampung halaman: Desa Sumber Pucung, Malang. Harus kuakui, sejak kecil aku memang diasuh oleh nenek. Ketika aku melahirkan pun, neneklah yang membantuku mengasuh anakku. Melihat itu, haruskah kuhindari ”pertemuan” dengan arwah nenek yang pernah merawatku dan anak-anakku?

Cerita bermula pada suatu malam, beberapa hari sebelum nenek meninggal. Entah bagaimana awalnya, aku bertemu dengan sesosok orang yang kutahu telah meninggal dunia. Waktu itu aku sedang berusaha memejamkan mata, ingin tidur. Tapi, entah mengapa, malam itu tidak seperti biasanya. Aku kesulitan mengistirahatkan badan dan pikiran. Saat itulah, di antara sadar dan tidak, tiba-tiba aku didatangi seorang perempuan tua yang telah tiada. Sayang, aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Di bawah siraman cahaya neon, ia mengulurkan tangan, mengajakku pergi ke suatu tempat.

Tentu saja aku menolak. Aku tak mau pergi dengan nenek tua yang tak pernah kutahu siapa dirinya. Sembari merayu, ia terus melangkah mendekatiku. Meski tempat yang dijanjikan katanya indah, aku tetap menolak. Tiba-tiba, ketika keriput lengannya hampir saja menarikku pergi dari tempat itu, aku kembali ke alam sadar. Siapa pun boleh mengatakan itu hanya khayalan, ilusi, sekadar mimpi atau bunga tidur. Tetapi aku yakin, kedatangan sosok renta di malam itu adalah kenyataan yang memberiku sebuah tanda-tanda. Aku sadar betul, mataku saat itu masih ”segar bugar”.

Keesokan harinya, kejadian yang sama kembali terulang. Bedanya, kali ini aku melihat dan mengenali dengan sungguh-sungguh siapa gerangan nenek tua yang ”mengganggu”-ku. Malam itu, dalam perasaanku, nenek – orang tua bapak – mengeluarkan seluruh dagangannya. Namun setelah membenahi barang-barang yang hendak dijual, nenek terjatuh. Siapa sangka, kedua peristiwa yang kulihat di alam bawah sadar itu ternyata menjadi pertanda dan firasat di belakang hari. Sebab, selang tiga hari kemudian, nenekku meninggal dunia.

Sepeninggal nenek, rumah besar yang selama ini kami tempati bersama, kami jual. Dari hasil penjualan rumah di tepi jalan raya itu, kami lalu membeli rumah di pinggir kuburan umum dekat SMP Sumber Pucung. Oleh sebagian warga, tempat yang baru kami tinggali ini dikenal angker. Jarang ada warga yang berani keluar rumah seusai azan magrib. Kami sekeluarga, sebagai pendatang baru di kampung itu, pun akhirnya berlaku seperti tetangga yang lain. Selepas azan maghrib, kami tak berani kemana-mana. Anteng di rumah.

Anehnya, meski kami sekeluarga memilih ”diam” di rumah pada malam hari, masih saja kami mengalami kejadian menyeramkan. Seperti pada Jumat Legi malam itu. Semerbak bunga kamboja dari pekuburan umum di samping rumah, tercium harum memenuhi ruang keluarga. Aroma wangi itu semakin menusuk terbawa embusan angin malam.

Harum kamboja sebenarnya bukan hal baru bagi keluarga kami. Ibaratnya, sudah menjadi pengharum ruangan sejak kami tinggal di rumah baru. Namun, malam itu, harum bunga kamboja bercampur jadi satu dengan bau tanah basah. Membuat pikiran kami semakin tidak karuan. Kami mencoba tidak saling menceritakan perasaan tersebut kepada sesama anggota keluarga yang lain. Meski mengalami hal yang sama, kami mampu menutupinya dengan mengalihkan perhatian pada acara TV.

Aku semakin resah. Harum bunga khas pekuburan itu tak juga pergi. Justru semakin tajam menghempas indera penciuman. ”Kreeeeekkk.....,” tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Sesaat kami saling berpandangan. Aneh. Seluruh anggota keluarga sedang berkumpul, tapi kok ada yang membuka pintu? Tidak seorang pun yang keluar rumah seusai azan mahrib itu. Selang sesaat, pintu utama tampak terbuka. Samar kami melihat sekelebat bayangan di depan pintu, lalu melintas di hadapan kami.

Anehnya lagi, kami sekeluarga seolah terhipnotis. Hanya diam melongo melihat bayangan nenek tua yang wajahnya tertimpa pendar lampu neon. ”Kreeeeeekkkk...” Pintu kembali tertutup, bayangan itu pun menghilang. ”Barangkali nenek yang datang berkunjung,” ucap bapak, mencoba mencairkan ketegangan kami. Bulu kuduk semakin berdiri manakala bapak mengatakan, arwah nenek datang ingin ikut jagongan.

Sejak itu, nenek memang sering ”pulang” ke rumah. Menampakkan bayangan pada keluarga kami. Tidak terkecuali pada aku, yang sebelumnya dikenal sebagai cucu kesayangan nenek. Bukan hanya setelah tumbuh dewasa, sejak kecil aku memang dirawat olehnya. Diberi sentuhan kasih sayang dan perhatian besar. Setelah meninggal pun, nenek masih memperlakukan aku sama seperti ketika beliau masih hidup.

Setiap kali aku sedang susah atau bersedih hati, nenek pasti datang, meski hanya dalam bentuk bayangan samar di bawah alam sadar. Aku sambat sumpek atau sakit misalnya, nenek pasti berkunjung. Aku bahkan sering merasakan nenek tidur di sampingku. Kadangkala aku juga merasa dikeloni nenek. Sehingga ketika bangun pagi, aku cuma bisa bengong. Bayangan semalam masih membekas dalam ingatanku. Apa iya sih, aku dikeloni nenek?

Untungnya, aku sendiri tak pernah merasa ngeri atau takut terhadap kehadiran orang yang telah meninggal dunia. Misalnya, sesuai aku melahirkan anak kedua. Hatiku sangat bahagia. Senang telah melahirkan anak lanangku dengan selamat. Saking gembiranya, sampai-sampai mataku enggan tidur. Nah, ketika sedang asyik menatap wajah bayiku, pintu kamar dibuka orang. Tetapi hanya berwujud bayangan seperti yang sudah-sudah.

Seraut wajah itu menyapa, bahkan menanyakan kabar. Namun, tidak lama setelah membuka kain kelambu kamar, ia berlalu pergi. Beberapa detik kemudian, baru aku tersadar, orang tua itu telah tiada. Secepat kilat kukejar bayangannya keluar kamar. Kucari-cari tapi tak ketemu. Bayangan nenek sudah keburu menghilang.

Kupikir, arwah nenek akan berhenti menggoda setelah aku berangkat ke Hong Kong. Tidak lagi datang dan memberi tanda-tanda. Namun, dugaanku keliru. Nyatanya, lautan luas yang membentang luas antara Hong Kong-Indonesia, tidak membuat nenek ”kehilangan diriku”. Sesampai di Hong Kong, tetap saja nenek ngasih ”perhatian” padaku. Ketika aku lelah, butuh sahabat, merindukan anak atau ketika ingin menangis, tangan nenek dan kasih sayangnya tetap kurasakan. Sedikit pun tak pernah berubah.

Justru di negara ini, nenek semakin dekat padaku. Sampai-sampai, aku sering mendapati diriku tengah berbicara sendiri. Hal seperti ini terus kualami ketika aku sedang sendirian dan kesepian. Tak peduli siang ataupun malam. Seperti pada suatu malam, setelah aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Usai mandi, aku berdiri di depan cermin, menyisir rambut. Aku sungguh terperanjat melihat nenek melintas di dalam cermin. Aku melihat bayangannya, meski hanya sekelebat. Toh, aku sempat berpesan pada nenek untuk tidak mengganggu anak-anakku.

Selepas bayangan nenek pergi, aku melihat bayangan anak budeku. Tak lama, bayangan-bayangan yang kulihat dalam cermin itu menghilang, dan...barulah kesadaranku pulih. Tapi ya, ampun. Selang beberapa hari, aku mendapat kabar dari tanah air: anak bude yang kemarin kulihat di cermin, meninggal dunia. Entahlah, apa namanya semua ini. Jika kutelusuri, kejadian demi kejadian itu terkadang membuatku ciut nyali. Tetapi memang begitulah, sering ngobrol, bertemu dan bermanja pada bayangan nenek, semua itu terjadi tanpa kusadari. Sesudahnya barulah aku sadar, aku telah ”bermain” dengan arwah.

Kuakui, perasaanku sering bersinggungan dengan dunia mistik. Entah benar atau tidak yang dikatakan emak, aku ini titisan kakek moyang yang dulu dikenal sakti mandraguna oleh masyarakat Ponorogo. Sampai sekarang, cerita tentang Mbah Salekan – kakek moyangku itu – masih sering jadi buah bibir. Banyak tetua kampung menurunkan cerita tentang kesaktian dan keampuhan mbahku yang suka kungkum pada keturunannya. Ketika tetangga atau keluarga menceritakan sepak terjang mbahku pada zaman dulu, rasanya aku tak hendak beranjak pergi. Ingin mendengarkan kisah-kisahnya. Tetapi, bisa jadi juga, naluri tinggi dan kemampuan mengetahui yang bakal terjadi ini, kuperoleh karena sejak emak mengandungku, bapak suka semedi.

Peristiwa pertama yang paling kuingat terjadi sewaktu aku masih SD. Ini bukan lagi sekadar mimpi atau khayalan di alam bawah sadar, tetapi benar-benar kulihat dan kusaksikan dengan mata kepala sendiri. Bahwa dunia mistik bukan sekadar cerita atau dongeng sebelum bobok. Alam dan seluruh isi bumi ini pun sepertinya hidup. Terlebih benda-benda di angkasa. Sekarang, tinggal percaya atau tidak, aku pernah menyaksikan kluwung (pelangi). Bagiku, pelangi itu hidup. Pernah aku melihatnya sedang berjalan. Sret...sret...menyembul dari bumi, lalu berjalan melingkar menembus Sungai Brantas, Karangkates.

Di atas air itu aku menyaksikan pelangi itu membentuk lingkaran seperti tampah besar. Ada api di antara garis warna-warninya yang indah. Api itu lama-kelamaan menyala terang, berpijar dengan indah. Bias cahaya yang menebar di sekitar pepohonan tepi Sungai Brantas itu membuat alam menjadi berwarna hijau daun. Begitu cerah. Air Sungai Brantas pun seolah seperti tebaran permata, hingga menampakkan ikan-ikan yang sedang berenang di tengah arus deras. Tak lama, aku yang keasyikan memandang pelangi dari tempatku bermain, melihat lingkaran pelangi berjalan ke atas secara perlahan. Membubung tinggi layaknya aku bermain ulat tangga. Menakjubkan!

Hingga kini, pandangan indah di masa kecil itu tak pernah bisa kulupa. Entahlah, apakah hal itu merupakan bukti kebesaran Illahi atau Sing Mbaurekso. Yang pasti, kedatangan arwah nenek dalam kehidupanku, seumpama pelangi indah yang pernah kulihat dulu. Yang Kuasa sesekali akan menunjukkan kebesaran-Nya kepada umatnya. Tak wajar rasanya jika aku takut terhadap kedatangan arwah nenek yang telah bertahun-tahun meninggalkan dunia ini. Apalagi, beliau pernah membesarkan aku. Subhannalah...!

(Dituturkan Anggi kepada Kristina Dian S dari Apakabar)



Kamis, 24 Januari 2008

LINTANG PUKANG KISAH ASAMARAKU

Masa lalu cintaku benar-benar suram. Dua kali pacaran, kandas di tengah jalan. Mau menikah pun harus didahului dengan aib. Puncaknya, menjelang pergi ke Hong Kong, aku terkena laknat: jatuh cinta pada sesama jenis. Ya Allah, masih adakah pintu taubat untukku?

Panggil saja aku Nani. Aku bukanlah tipe cewek matre, tidak pula cantik dan menarik. Tapi entah mengapa, sedari dulu begitu banyak cowok yang tertarik padaku. Bukannya aku ge-er, tapi fakta. Awal kisah, setelah lulus SMP, iseng aku melamar kerja ke pabrik Garuda Plastik di Jalan Chiu Grogol, Solo, kotaku. Ternyata aku diterima. Bahkan esoknya, aku sudah langsung diminta bekerja dengan sistem shif-shifan.

Meski tergolong karyawan baru, dengan cepat aku beroleh banyak kawan. Cowok maupun cewek. Salah satunya, Kardi namanya. Cowok ini lumayan guanteng. Sampai-sampai, aku tak menduga ia mau sama aku. Kardi menyatakan cinta dan mengajakku kencan. Dengan keluguan dan sedikit malu-malu, kuiyakan ajakannya.

Hari itu, kami pergi ke Proyek Wonogiri. Namanya baru pacaran, rasanya takut dan gemetar juga waktu itu. Tetapi lama kelamaan aku amat menikmati masa-masa indah yang terus berulang itu. Perasaanku begitu bahagia dan damai. Yup, mungkin karena sebelumnya aku tak pernah mengalami perasaan seperti itu.

Kisah cinta yang tak pernah kami tutup-tutupi itu akhirnya terdengar juga di telinga seluruh teman se-pabrik. Namun, hal itu sama sekali tak mengurangi kehangatan cintaku dengan Kardi. Sampai suatu hari, saat aku dapat giliran shif ketiga (pulang pukul 7 pagi), seorang teman memberiku amplop. ”Titipan dari Kardi,” katanya.

Aku penasaran, ingin segera tahu isinya. Seketika aku lari ke belakang pabrik. Dengan perasaan tak menentu, kubaca surat dari doiku. Betapa terkejutnya aku. Dalam suratnya, Kardi bilang: hubungan kita bagaikan rel kereta api yang sehaluan dan sejalan, tapi tak bisa bersatu. Ujungnya, ia mengaku sudah punya pilihan lain.

Aku benar-benar syok dan sakit hati. Sengaja tak kubalas surat itu. Hatiku gundah, sama sekali tak menyangka cinta pertamaku bakal berakhir secepat itu dan dengan cara seperti itu. Aku menyesalkan cara Kardi memutuskan hubungan. Tapi sudahlah, pantang bagiku mengemis cinta. Lagian, bukan cuma dia laki-laki di dunia.

Dan, benar. Menjelang ramadhan, ketika aku sedang makan sahur di kantin, aku bertemu dengan Hariadi – karyawan dari pabrik lain. Dari sebatas ngobrol ngalor-ngidul, kami akhirnya dekat. Ia bahkan sudah tahu soal putusnya hubunganku dengan Kardi. Lagi-lagi aku kecantol, pacaran untuk kali kedua.

Keindahan cinta kembali kurasakan. Kapan pun, aku merasa bebas pergi bersamanya. Maklum, sama-sama masih lajang. Pendeknya, selama jalan bareng dengannya, aku sangat happy. Namun, seiring guliran waktu, Hariadi ternyata sama tengiknya dengan Kardi.

Persis seperti Kardi, suatu hari Hariadi mengirim sepucuk surat. Waktu kubuka, wow…isinya lebih gila dari surat Kardi dulu. Tidak segan-segan ia mengumbar tuduhan. Katanya, aku cewek matre, murahan, bla..bla… Sungguh, aku bagai disambar petir. Lunglai usai membaca surat itu. Aku tak tahu, ada apa di balik semua ini?

Saking penasaran, aku memberanikan diri menemuinya untuk menanyakan kesalahanku. Dengan perasaan dongkol, kulontarkan makian kepadanya. Ternyata benar. Sepandai-pandai ia menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga. Hariadi sengaja menghina dan menginjak harga diriku, semata-mata untuk menutupi belangnya.

Hari itu seisi pabrik gempar. Sahabat karibku, Tuti (bukan nama sebenarnya) hamil. Siapa lagi yang menghamili kalau bukan Hariadi. Tuti sudah hamil delapan bulan, meski hanya segelintir orang yang tahu. Untungnya, Hariadi masih mau bertanggung jawab. Dinikahinya Tuti meski dengan perhelatan ala kadarnya. Dari situ, semua orang tahu kebobrokan Hariadi.

Karena frustasi, aku pergi ke salon. Rambut yang semula sepinggang, kupotong pendek ala Andi Lau. Rekan se-pabrik kembali gempar melihat perubahan sikap dan penampilanku. Tapi aku memilih diam, meski sebenarnya aku stres berat. Dua kali pacaran, kandas di tengah jalan.

Di tengah kegalauan, tanpa kusadari, ada seseorang – lagi-lagi teman se-pabrik – yang memperhatikan aku. Awalnya aku sendiri tak hirau. Kupikir, buat apa lagi aku bercinta kalau hanya untuk menanggung luka. Jujur, aku sedikit trauma dengan kegagalan beruntun ini.

Namun, Ahmadi – sosok yang selalu memperhatikanku – tampaknya berbeda. Terang-terangan ia datang menghampiriku, membawa nasihat agar aku tegar menjalani semua cobaan. ”Itu pertanda Tuhan masih sayang sama kamu, umat-Nya,” tutur Ahmadi.

Dibanding Kardi atau Hariadi, Ahmadi memang tampak lebih dewasa. Cara berpikirnya pun rasional dan cerdas. Di balik ketenangannya, ia menyimpan wibawa. Ia juga termasuk pandai menyimpan perasaan. Bayangkan. Sejak aku masih karyawan baru, ia mengaku sudah naksir berat sama aku. Herannya, sampai sekian lama, tak sekalipun Ahmadi menyatakan cintanya. Ia lebih suka memendam perasaannya. Konon, ia akan menyatakan cintanya padaku, jika masanya telah tiba.

Meski merasa diperhatikan Ahmadi, tapi kucoba untuk menolak gejolak hatiku. Kucoba untuk tak percaya, masa iya cowok se-the best itu mau memacariku. Aku tahu persis, banyak cewek di pabrik yang naksir dia. Masa sih dia memilih aku yang badung dan egois ini?

Tapi Ahmadi memang lain daripada yang lain. Ia amat sabar, mengerti dan memahami diriku. Ia selalu mengantar dan menjemputku kerja dengan penuh kasih sayang. Lambat laun, kekerasan hatiku pun cair. So? Aku pacaran lagi. Bedanya, kali ini aku serius ingin mengakhiri masa lajang, agar hidupku lebih terarah.

Bersyukur, kedua orang tua kami memberikan restu. Sesuai kesepakatan, hari pernikahan kami pun ditentukan. Namun, beginilah kehidupan, tak seorang pun tahu kehendak dan rencana-Nya. Sebulan menjelang akad nikah, ”tragedi” memalukan mengempas kehidupanku. Yup, aku dibawa kabur satpam!

Ini memang kelemahanku yang mudah kasihan melihat kesusahan orang lain. Termasuk ketika Agus (nama samaran), satpam pabrik, mengajakku ke Semarang, menemani untuk menjemput anak dan istrinya. Karena janjinya pulang hari alias tak menginap, aku setuju.

Bodohnya, aku pergi tanpa memberitahu keluarga maupun calon suamiku. Kupikir, tak ada yang perlu dikhawatirkan, apalagi aku pergi dengan orang yang sudah kukenal. Tapi nahas, sesampai di Semarang, hingga tiga hari tiga malam mencari istri dan anaknya, tak jua kami temukan.

Sampai saat itu, aku masih belum menyadari, ada sesuatu yang diinginkan Agus dariku. Begitu ia mengajak menginap di kamar kontrakan, barulah aku tahu niat busuknya. Ia mendekapku. Meminta yang satu itu. Meski kukatakan, aku sudah punya calon suami, ia tak peduli dan terus memaksa. Aku sebenarnya ingin lari pulang. Tapi tak tahu arah dan tak punya uang.

Saat yang sama, penduduk kampungku gempar. Kabar aku dibawa lari Agus pun sampai ke telinga calon mertuaku. Akibatnya, bisa ditebak, mereka mendatangi orang tuaku untuk membatalkan rencana pernikahan. Orangtuaku kebingungan. Mereka pontang-panting mencariku.

Entah dapat info dari mana, sekitar pukul 2 dini hari, saat aku sedang merenda mimpi, pintu kamar kontrakan digedor keras. Aku dan Agus tergopoh-gopoh membetulkan pakaian. Aku begitu panik. Terlebih ketika melihat bapakku dan famili Agus sudah berdiri di depan pintu, bersama polisi.

Kendati Agus sudah memaksaku melayani hasratnya, tapi di sisi lain timbul perasaan ibaku kepadanya. Apalagi ketika ia memohon ampun dengan bersujud pada bapakku. Agus bilang, ia bersedia mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menikahiku. Tapi bapak sudah tak mau tahu. Saat itu juga aku dibawa pulang dan membiarkan Agus diurus keluarganya dan polisi.

Kabar kepulanganku didengar Ahmadi, calon suamiku. Meski tak didampingi keluarganya, ia datang menjenguk dan tetap menyatakan hendak menikahiku. Aku terperangah, tak percaya! Sudah jelas, keputusan Ahmadi akan ditentang habis oleh keluarganya.

Tapi karena sudah telanjur cinta, kami akhirnya benar-benar menikah sesuai rencana semula. Singkat cerita, setelah setahun menikah dan dikaruniai seorang anak, barulah orang tuanya mau menerimaku. Mungkin, mereka sudah rindu menimang cucu.

Setelah anakku berumur 1,5 tahun, kami sepakat pergi merantau ke negeri seberang, agar bisa membenahi masa depan dan membeli rumah. Jujur saja, tak enak berlama-lama menumpang di rumah orang tua. Aku ke Singapura, Ahmadi ke Malaysia. Hanya tiga tahun di perantauan, kami memutuskan pulang ke tanah air. Mewujudkan impian yang sempat tertunda.

Namun, melihat pembangunan rumah masih jauh dari sempurna, aku memutuskan kembali bekerja ke luar negeri seorang diri. Biarlah suamiku di rumah merawat dan membesarkan anakku. Lima bulan di penampungan, aku terbang ke Hong Kong. Negeri perantauan yang kuharap bisa memberikan kenyamanan, baik gaji maupun hak libur.

Dasar apes, begitu kelar membayar potongan tujuh bulan, aku di-PHK majikan tanpa kutahu sebabnya. Mau tak mau, aku kembali masuk penampungan. Saat itulah, hatiku kembali terusik. Bukan saja memikirkan keluargaku. Aku juga resah menyadari ada perubahan pada perasaanku. Entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa dekat dengan Tanti (nama samaran), rekan sesama calon TKW.

Aku tak mengerti, apakah hubungan kami sebatas kakak-adik atau lebih dari itu. Perasaan sayangku teramat dalam untuk Tanti. Begitu juga sebaliknya. Kami selalu tidur seranjang. Setiap hendak berangkat tidur, selalu kami awali dengan adegan peluk dan cium. Sempat aku bertanya dalam hati, apakah hubungan seperti ini yang dinamakan lesbi?

Lama-lama, gosip seputar hubunganku dengan Tanti santer tersebar. BLK ramai dengan kasak-kusuk, membicarakan aku yang sudah bersuami dan punya anak, tapi terjebak dalam dunia semu. Untuk menghindari kabar menyakitkan itu, aku mengajukan PKL dan disetujui pihak PT.

Tapi, oalah, sejak aku PKL dan jauh dari Tanti, baru kurasakan, sesuatu memang telah berubah pada diriku. Sejak berpisah dengan Tanti, aku selalu terbayang wajahnya dan merindukannya. Sehari saja tak saling kontak, rasanya begitu sepi. Sesepi malam-malamku di rumah majikan PKL-an.

Tak hanya dengan cowok, dengan cewek pun aku mengalami perasaan terluka. Suatu saat, Tanti tiba-tiba memutuskan kontak denganku. Ia berdalih, sudah sadar dan ingin kembali ke jalan yang benar. Tapi faktanya, ia punya ”gebetan” baru. Kekecewaan kembali hadir, persis sama seperti yang pernah kurasakan dulu.

Aku memang tak bisa menerima sikap Tanti. Setelah punya ”pacar” baru, aku ditendang begitu saja. Karenanya, begitu ada kesempatan, kutumpahkan segala amarahku. Karena tak ada yang mau mengalah, pertengkaran jadi memanas. Suasana panas baru mereda, saat Tanti diberangkatkan ke Hong Kong.

Tiga minggu berselang, aku menyusul ke Hong Kong. Kupikir sudah aman, tapi keadaan justru bertambah runyam. Suatu saat, meski masih sama-sama baru di Hong Kong, tapi kami sudah beroleh hak libur. Kami janjian ketemu, bukan untuk baikan, tapi menyambung pertengkaran yang tertunda. Dan, itu terus berlanjut. Anehnya, keinginan untuk saling menghindar tak pernah ada. Kalaupun ada, nyatanya kami tetap ingin selalu bertemu.

Sampai suatu hari, entah karena masalah apa, Tanti – yang baru empat bulan bekerja – dipulangkan majikan. Sebenarnya, ada sesuatu yang membuatku merasa sangat bersalah padanya. Tapi aku juga tak tahu, apa yang bisa kulakukan jika kelak Tanti balik lagi ke Hong Kong. Mengakhiri hubungan atau membiarkan hidup ini mengalir seperti air?

Oh, Tuhan…rasanya aku sudah lelah. Sangat lelah. Aku kangen untuk kembali ke jalan-Mu. Dalam hati kecilku saat ini, aku ingin menjalani hidup dengan lebih baik. Aku akan berusaha tegar dan kuat iman, agar tak tergoda dengan silau dunia. Agar aku selalu ingat tujuanku bekerja di Hong Kong: menyelesaikan pembangunan rumah dan mencari bekal untuk kelangsungan hidup bersama suami dan anakku.

(Dituturkan Nani lewat surat, dan disusun oleh Kristina Dian S dari Apakabar)