Selasa, 29 Juli 2008

CEMBURU

Sekitarku bilang, cemburu: tanda sayang.

Tanpa cemburu, apakah itu tak sayang?

Sebagian bilang:iya. tapi sebagian bilang: tidak.
Lalu aku bertanya pada kedua sisi hatiku.
Di sana, aku juga peroleh jawaban berbeda.

Benarkah hilangnya rasa cemburu ini karena hatiku tak lagi menyayang, ataukah aku sungguh memahami dan mengerti tentangnya?
Sehingga rasa itu hilang dengan sendirinya.

CEMBURU

Sekitarku bilang, cemburu: tanda sayang.

Tanpa cemburu, apakah itu tak sayang?

Sebagian bilang:iya. tapi sebagian bilang: tidak.
Lalu aku bertanya pada kedua sisi hatiku.
Di sana, aku juga peroleh jawaban berbeda.

Benarkah hilangnya rasa cemburu ini karena hatiku tak lagi menyayang, ataukah aku sungguh memahami dan mengerti tentangnya?
Sehingga rasa itu hilang dengan sendirinya.

Minggu, 27 Juli 2008

PAGE RANk

Tanpa kutahu penyebabnya, tiba-tiba Pak Dhe menurunkan Pagerank blogku. Yang semula 4 kini turun menjadi 3. Meski penurunan angka ini tak secara drastis, tetap saja aku merasa kecewa karenanya.
Tapi apalah daya, sampai saat ini kakiku tak hendak pergi jua darinya.

Cuma, yang menjadi pikiranku, kenapa Pak Dhe menghukumku begitu? dimana letak KE-salahKU? Terlalu menyedihkan!

PAGE RANk

Tanpa kutahu penyebabnya, tiba-tiba Pak Dhe menurunkan Pagerank blogku. Yang semula 4 kini turun menjadi 3. Meski penurunan angka ini tak secara drastis, tetap saja aku merasa kecewa karenanya.
Tapi apalah daya, sampai saat ini kakiku tak hendak pergi jua darinya.

Cuma, yang menjadi pikiranku, kenapa Pak Dhe menghukumku begitu? dimana letak KE-salahKU? Terlalu menyedihkan!

Rabu, 23 Juli 2008

SEDERHANA

Aku gadis sederhana,

yang memiliki pikiran-pikiran sederhana,

hidup dengan sederhana



Cintaku cukup sederhana,

mencintai dengan sederhana,

dan menerima dengan sederhana



jadi...

jangan protes kalo postinganku kali ini begitu sederhana

SEDERHANA

Aku gadis sederhana,

yang memiliki pikiran-pikiran sederhana,

hidup dengan sederhana



Cintaku cukup sederhana,

mencintai dengan sederhana,

dan menerima dengan sederhana



jadi...

jangan protes kalo postinganku kali ini begitu sederhana

Minggu, 20 Juli 2008

TUJUH PRIA YANG KUPILIH

Tak terhitung betapa banyaknya kaum pria yang mengelilingiku, di dunia nyata juga didunia maya. Terkadang aku sampai lupa bagaimana rupa, dan cerita apa yang pernah ada diantara aku sama mereka. Duh, salahkan aku kini, jika menetapkan tujuh lelaki yang berhak menerima award dariku?award ini aku terima dari nona manis, ivana. Tapi harus ingat, syaratnya:


1) Put the logo on your blog.

2) Add a link to the person who awarded you.

3) Nominate at least 7 other blogs.

4) Add links to those blogs on yours.

5) Leave a message for your nominees on their blogs.


Siapakah gerangan ketujuh lelaki itu??....Ehm..ehm…(ntar, batuk dulu ya)…


1.Seorang cowok yang kemarin memberiku hadiah dalam postingan blognya. Terus terang aku kagum sama “kejujuran” Mas Iksan yang terang terangan mengatakan itu lewat untai kata. Padahal, tidak sedikit para lelaki berusaha menyembunyikan isi hatinya dari mata dunia.



2. Transparan tanpa ada yg ditutup tutupi. Begitu kesanku terhadap Mas Lupuzz. “Dian, apakabar sayang. Mas kangen banget sama dian”.itu, selalu menjadi kalimat pembuka disetiap sapanya. Baik via SB, YM atau Email.



3. Kedekatan sharing tentang tulisan sempat kunikmati bersamanya. Saling kritik juga sempat jadi adu debat antara aku dan dia. Tapi sejak (Dhie) pindah rumah, aku memilih memutuskan tali komunikasi, meski aku masih kerap menerima kunjungannya.



4. Aku pernah bilang padanya, tentang rembulan yang indah dan tentang birunya laut. Aku juga pernah mengatakan kepadanya: Cinta dewasa yg aku tuntut. Tetapi nampaknya (Mas Kepedihan)
tak cukup memahami itu. But, now, kuharap ia mengerti maksudku.



5. Dia selalu memanggilku Dinda. Tak segan, aku juga memanggilnya Kanda, tentu kalo ninggalin pesan di SB. Tapi kalo dah hanya berduaan, ehm...aku dan (Pak Dokter) saling membisu dan suasana terasa kaku.



6. Kekhawatiranku masih belum juga sirna sampai saat ini, terlebih ketika ia pamit mau operasi. Dan meskipun kini Mas EivenGuskydah sehat kembali, perasaan itu masih juga membuntuti. Moga tetap tegar menatap mentari esok hari.



7. Aku pernah bincang sama ibundanya. Suaranya lembut, dan yang kupastikan ibu itu masih menyisakan kecantikan diusia muda dulu. Tapi, aku tak sempet menjumpai ibunya mas
(Qie)pada mei kemarin. Soalnya jadwalku padet. Jangankan ibunya, ketemuan sama anaknya aja, juga gak sempet. Maapkan.

ehm...ok deh...

Bagi laki laki lain yang pernah maen di sini tunggu saja tanggal mainnya. Bagi kaum perempuan juga demikian. nama nama diatas adalah nama yang kemarin tak tercantum di postingan Teman setia dunia maya dan untuk postingan berikutnya, yang masih tentang Awad, nama2 yang sudah tercantum di dua periodic, tak dapat di reviw kembali.
Semoga ke-7 lelakiku diatas tidak keberatan membawa pulang award manies dariku. Sie sie ni..

TUJUH PRIA YANG KUPILIH

Tak terhitung betapa banyaknya kaum pria yang mengelilingiku, di dunia nyata juga didunia maya. Terkadang aku sampai lupa bagaimana rupa, dan cerita apa yang pernah ada diantara aku sama mereka. Duh, salahkan aku kini, jika menetapkan tujuh lelaki yang berhak menerima award dariku?award ini aku terima dari nona manis, ivana. Tapi harus ingat, syaratnya:


1) Put the logo on your blog.

2) Add a link to the person who awarded you.

3) Nominate at least 7 other blogs.

4) Add links to those blogs on yours.

5) Leave a message for your nominees on their blogs.


Siapakah gerangan ketujuh lelaki itu??....Ehm..ehm…(ntar, batuk dulu ya)…


1.Seorang cowok yang kemarin memberiku hadiah dalam postingan blognya. Terus terang aku kagum sama “kejujuran” Mas Iksan yang terang terangan mengatakan itu lewat untai kata. Padahal, tidak sedikit para lelaki berusaha menyembunyikan isi hatinya dari mata dunia.



2. Transparan tanpa ada yg ditutup tutupi. Begitu kesanku terhadap Mas Lupuzz. “Dian, apakabar sayang. Mas kangen banget sama dian”.itu, selalu menjadi kalimat pembuka disetiap sapanya. Baik via SB, YM atau Email.



3. Kedekatan sharing tentang tulisan sempat kunikmati bersamanya. Saling kritik juga sempat jadi adu debat antara aku dan dia. Tapi sejak (Dhie) pindah rumah, aku memilih memutuskan tali komunikasi, meski aku masih kerap menerima kunjungannya.



4. Aku pernah bilang padanya, tentang rembulan yang indah dan tentang birunya laut. Aku juga pernah mengatakan kepadanya: Cinta dewasa yg aku tuntut. Tetapi nampaknya (Mas Kepedihan)
tak cukup memahami itu. But, now, kuharap ia mengerti maksudku.



5. Dia selalu memanggilku Dinda. Tak segan, aku juga memanggilnya Kanda, tentu kalo ninggalin pesan di SB. Tapi kalo dah hanya berduaan, ehm...aku dan (Pak Dokter) saling membisu dan suasana terasa kaku.



6. Kekhawatiranku masih belum juga sirna sampai saat ini, terlebih ketika ia pamit mau operasi. Dan meskipun kini Mas EivenGuskydah sehat kembali, perasaan itu masih juga membuntuti. Moga tetap tegar menatap mentari esok hari.



7. Aku pernah bincang sama ibundanya. Suaranya lembut, dan yang kupastikan ibu itu masih menyisakan kecantikan diusia muda dulu. Tapi, aku tak sempet menjumpai ibunya mas
(Qie)pada mei kemarin. Soalnya jadwalku padet. Jangankan ibunya, ketemuan sama anaknya aja, juga gak sempet. Maapkan.

ehm...ok deh...

Bagi laki laki lain yang pernah maen di sini tunggu saja tanggal mainnya. Bagi kaum perempuan juga demikian. nama nama diatas adalah nama yang kemarin tak tercantum di postingan Teman setia dunia maya dan untuk postingan berikutnya, yang masih tentang Awad, nama2 yang sudah tercantum di dua periodic, tak dapat di reviw kembali.
Semoga ke-7 lelakiku diatas tidak keberatan membawa pulang award manies dariku. Sie sie ni..

Rabu, 16 Juli 2008

MAU MENUNTUT MAJIKAN, MALAH MASUK PENJARA

Oleh: Kristina Dian S
LANTAU-Karena tidak terima diterminit majikan secara mendadak(14/6)sekaligus tak ingin di ganjar bad realese letter, Masitoh,- BMI asal Cilacap- berencana menuntut majikan atas hak yang belum dibayarkan. namun siapa sangka, mimpi BMI korban underpaymen ini malah mengantarnya masuk penjara Lantau Island, Hong Kong.


Menurut penuturan anak buah PT Akbar Intan Prima ini, pemutusan hubungan kerja itu, dipicu oleh amarah majikan yang tidak terima anaknya ditegur pembantunya (lihat: rubrik shalter, Tabloid Apakabar edisi 8).
Nah, ketika membayarkan hak yang harus diterima Masitoh, sang majikan melakukan pemotongan sebesar HK$ 3600. Konon, itu untuk membayar ganti rugi atas hilangnya uang majikan. Saat itu Masitoh tak keberatan.




Setelah keluar dari rumah majikan, ia kemudian mencari bantuan kesalah satu Asosiasi yang ditangani Mr,Wong. Masitoh berharap, asosiasi dapat membantunya menuntut majikan atas hak yang belum diterimanya selama bekerja. Asal tahu, selama melewati dua kali kontrak bekerja di rumah majikan di Flat H 13/F cheong Wai Mansion, 39 E, Kwong Fai Ciu Cuit, Masitoh digaji underpay(di bawah gaji standart yang ditetapkan pemerintah HK). Sedangkan pada kontrak kerja ke tiga- yang belom genap setahun dijalani- ia tak peroleh full holiday.



Segala persiapan menuntut majikan sudah beres. Termasuk melapor ke kepolisian atas PHK sepihak itu. Tetapi belum lagi laporan sampai ke meja Imigrasi, “anak” dari Hoi Shing Agancy ini malah dicokok polisi dari tempat tinggalnya. Kejadiannya hanya selang tiga setelah keluar dari rumah majikan. Apa pasal?“Masitoh terbukti mencuri perhiasan milik majikan berupa 6 kalung, 2 gelang tangan, 2 cincin dan 2 anting yang senilai HK$ 37.000”demikian penjelasan yang diperoleh Apakabar dari fihak kepolisian CID Mr. Ng team 6 Kwai Chung Police Station Investigation.
Kata Pak Polisi, laporan majikan atas hilangnya barang sebenarnya sudah disampaikan jauh hari sebelum Masitoh di-terminite. Ini karena majikan harus mengumpulkan bukti-bukti terdahulu. Antara lain dari pegadaian, tempat barang tersebut diduga digadaikan Masitoh secara berkala. Majikan juga berniat baik ingin tahu sampai sejauh mana kejujuran Masitoh selama bekerja dirumahnya. Mungkin karena berani mengambil uang majikan, putusan terminate disampaikan, meski disodorkan dengan alasan “sepele”.




Selama menjadi tahanan kepolisian, khabar tentang Masitoh seolah lenyap begitu saja. Kawan kawan terdekatnya pun tak tahu dimana gerangan Masitoh berada. Untungnya, pada hari Masitoh di cokok, Mr Wong menerima bahwa dalam waktu 48 jam, Masitoh akan masuk penjara.


Akhirnya pada 6/juli lalu informasi terkait keberadaan Masitoh pun muncul. Namun ia telah resmi tercatat sebagai narapidana di Corectional Institution, 333, Chi Ma Wan Road, Lantau Island dgn nomor 331326. Karena Masitoh telah mengakui atas perbuatan dan tak berbelat dalam persidangan pada 26 juni lalu ia peroleh keringanan hukuman dengan “hanya” diganjar penjara selama empat bulan.Sesingkat itu?

Menurut Komisaris Kepolisian HK ini, penjara sudah penuh dan pemerintah Hong Kong memiliki undang undang tentang keadilan. Keadilan itu juga berlaku bagi pendatang atau pekerja asing termasuk Buruh Migran Indonesia. Intinya, siapapun anda, berhak memperoleh keadilan dan pelayanan yang sama dengan penduduk lokal alias penduduk asli.

MAU MENUNTUT MAJIKAN, MALAH MASUK PENJARA

Oleh: Kristina Dian S
LANTAU-Karena tidak terima diterminit majikan secara mendadak(14/6)sekaligus tak ingin di ganjar bad realese letter, Masitoh,- BMI asal Cilacap- berencana menuntut majikan atas hak yang belum dibayarkan. namun siapa sangka, mimpi BMI korban underpaymen ini malah mengantarnya masuk penjara Lantau Island, Hong Kong.


Menurut penuturan anak buah PT Akbar Intan Prima ini, pemutusan hubungan kerja itu, dipicu oleh amarah majikan yang tidak terima anaknya ditegur pembantunya (lihat: rubrik shalter, Tabloid Apakabar edisi 8).
Nah, ketika membayarkan hak yang harus diterima Masitoh, sang majikan melakukan pemotongan sebesar HK$ 3600. Konon, itu untuk membayar ganti rugi atas hilangnya uang majikan. Saat itu Masitoh tak keberatan.




Setelah keluar dari rumah majikan, ia kemudian mencari bantuan kesalah satu Asosiasi yang ditangani Mr,Wong. Masitoh berharap, asosiasi dapat membantunya menuntut majikan atas hak yang belum diterimanya selama bekerja. Asal tahu, selama melewati dua kali kontrak bekerja di rumah majikan di Flat H 13/F cheong Wai Mansion, 39 E, Kwong Fai Ciu Cuit, Masitoh digaji underpay(di bawah gaji standart yang ditetapkan pemerintah HK). Sedangkan pada kontrak kerja ke tiga- yang belom genap setahun dijalani- ia tak peroleh full holiday.



Segala persiapan menuntut majikan sudah beres. Termasuk melapor ke kepolisian atas PHK sepihak itu. Tetapi belum lagi laporan sampai ke meja Imigrasi, “anak” dari Hoi Shing Agancy ini malah dicokok polisi dari tempat tinggalnya. Kejadiannya hanya selang tiga setelah keluar dari rumah majikan. Apa pasal?“Masitoh terbukti mencuri perhiasan milik majikan berupa 6 kalung, 2 gelang tangan, 2 cincin dan 2 anting yang senilai HK$ 37.000”demikian penjelasan yang diperoleh Apakabar dari fihak kepolisian CID Mr. Ng team 6 Kwai Chung Police Station Investigation.
Kata Pak Polisi, laporan majikan atas hilangnya barang sebenarnya sudah disampaikan jauh hari sebelum Masitoh di-terminite. Ini karena majikan harus mengumpulkan bukti-bukti terdahulu. Antara lain dari pegadaian, tempat barang tersebut diduga digadaikan Masitoh secara berkala. Majikan juga berniat baik ingin tahu sampai sejauh mana kejujuran Masitoh selama bekerja dirumahnya. Mungkin karena berani mengambil uang majikan, putusan terminate disampaikan, meski disodorkan dengan alasan “sepele”.




Selama menjadi tahanan kepolisian, khabar tentang Masitoh seolah lenyap begitu saja. Kawan kawan terdekatnya pun tak tahu dimana gerangan Masitoh berada. Untungnya, pada hari Masitoh di cokok, Mr Wong menerima bahwa dalam waktu 48 jam, Masitoh akan masuk penjara.


Akhirnya pada 6/juli lalu informasi terkait keberadaan Masitoh pun muncul. Namun ia telah resmi tercatat sebagai narapidana di Corectional Institution, 333, Chi Ma Wan Road, Lantau Island dgn nomor 331326. Karena Masitoh telah mengakui atas perbuatan dan tak berbelat dalam persidangan pada 26 juni lalu ia peroleh keringanan hukuman dengan “hanya” diganjar penjara selama empat bulan.Sesingkat itu?

Menurut Komisaris Kepolisian HK ini, penjara sudah penuh dan pemerintah Hong Kong memiliki undang undang tentang keadilan. Keadilan itu juga berlaku bagi pendatang atau pekerja asing termasuk Buruh Migran Indonesia. Intinya, siapapun anda, berhak memperoleh keadilan dan pelayanan yang sama dengan penduduk lokal alias penduduk asli.

Minggu, 13 Juli 2008

My Life Like Shek-O bEACH

Tanyakan saja pada malam tentang apa yang kulakukan semalam.

Tanyakan saja pada mentari, apa yang kulakukan kemarin hari.

Tanyakan saja pada senja apa yang kulalui barusan ini.

Padamu ia akan bertutur, rambutku gemulai ditepi pantai itu



Disana…

Kulepaskan pandangan, menembus awan dan birunya laut

Sesekali kulihat camar bersenda gurau diatas tiang- tiang sampan

Disana…

Kulepaskan segala keresahan dalam buaian

Dan disana..

Kusandarkan penat, disebuah kekokohan yang menggoyahkan




Burung itu tahu..

Jari jemariku semakin nakal seperti ketika aku masih bocah

Kedua bola sayuku bermain seru seperti para pemain dadu

Kedua lututku semakin hangat dalam lingkar kedua lenganku

Serasa tak ingin kaki ini beranjak dari hamparan pasir putih itu

Aku terlena, terhanyut dalam alunan gita irama ombak




Ah…

Akankah selamanya kubiarkan hidupku seperti sampan itu?

Membiarkan diri terombang ambing diatas badai kehidupan

Ataukah kupilih saja satu pelabuhan buat sandaran dari keletihan?

Hingga pekat menjemput, belum ku temukan jawab

My Life Like Shek-O bEACH

Tanyakan saja pada malam tentang apa yang kulakukan semalam.

Tanyakan saja pada mentari, apa yang kulakukan kemarin hari.

Tanyakan saja pada senja apa yang kulalui barusan ini.

Padamu ia akan bertutur, rambutku gemulai ditepi pantai itu



Disana…

Kulepaskan pandangan, menembus awan dan birunya laut

Sesekali kulihat camar bersenda gurau diatas tiang- tiang sampan

Disana…

Kulepaskan segala keresahan dalam buaian

Dan disana..

Kusandarkan penat, disebuah kekokohan yang menggoyahkan




Burung itu tahu..

Jari jemariku semakin nakal seperti ketika aku masih bocah

Kedua bola sayuku bermain seru seperti para pemain dadu

Kedua lututku semakin hangat dalam lingkar kedua lenganku

Serasa tak ingin kaki ini beranjak dari hamparan pasir putih itu

Aku terlena, terhanyut dalam alunan gita irama ombak




Ah…

Akankah selamanya kubiarkan hidupku seperti sampan itu?

Membiarkan diri terombang ambing diatas badai kehidupan

Ataukah kupilih saja satu pelabuhan buat sandaran dari keletihan?

Hingga pekat menjemput, belum ku temukan jawab

Kamis, 10 Juli 2008

LESBIAN MEMANFAATKAN AKU

”Padahal selama jalan bareng, akulah yang sering keluar uang. Tabunganku ludes untuk menuruti segala keegoannya, yang tak ingin dianggap TB kampungan. Penampilan, alat komunikasi juga nggak mau kalah dengan yang lain. Pokoknya dia ingin selalu mengikuti tren TB(Tomboi). Biar dianggap TB gaul.

Yup, tiga tahun sudah aku bekerja di Hong Kong. Meninggalkan sanak saudara di Cilacap, Jawa Tengah, kampung halamanku. Meski sudah tiga tahun, namun selama itu tidak membuahkan hasil apa pun dari hasil keringatku membanting tulang di rumah majikan, di North Point. Itu semua berawal dari perkenalanku dengan R. bukan hanya penghasilan yang hancur berantakan, tetapi hati dan hidupku ikut jadi ndak karuan. Pertama kali mengenalnya, aku memang tak pernah menyadari adanya bahaya yang mengancam. Setelah semua berkeping, baru aku menyadari ”kekeliruan” itu.



R, seorang teman perempuan yang kukenal di sini. Ia memiliki wajah dan sikap yang mirip sekali dengan laki-laki. Di mataku, ia begitu tampan, apalagi di depanku ia selalu menunjukkan sikap baik. Penyayang, pengertian, ramah, pokoknya aku tak pernah berpikir jika di kemudian hari ia bakal menyakiti diriku. Sama sekali aku tak tahu kalau ada sesuatu yang diharapkan dariku.
Dulu aku memang terlalu lugu. Pergaulanku pun terbilang minim. Itu yang membuat aku terjatuh dalam rasa suka terhadap sesama jenis. Aku belum merasakan jatuh cinta dengan lawan jenis. Barangkali itu salah satu alasan, kenapa aku bisa tergila-gila dengan R. Ia adalah segalanya bagiku saat itu. Yang ada dalam hati dan hidupku hanya ada dia, dia, dan dia. Tidak ada yang lain yang kupikirkan selain dia. Ugh, betapa aku sangat menyayangi R.

Empat bulan ”deketan” dengan R, ia mulai menyuruhku meminjam utang di bank perkreditan. Ia beralasan, ibunya sakit jantung dan butuh uang untuk berobat dan masuk RS. Meskipun kalimatnya begitu halus lembut, tetapi saat itu aku sempat kaget luar biasa. Logikanya, R kan juga kerja di rumah majikan yang otomatis bergaji. Jelas, aku keberatan terhadap permintaan itu. Tetapi karena setiap hari aku didesak, dengan gayanya yang menunjukkan kayak orang kepepet, aku jadi iba. Terpaksa kuiyakan, meski berat terasa.
Bersama R aku pergiu ke kantor bank untuk mengambil uang pinjaman pertama. Sesampai di sana, R kembali mendesakku agar meminjam uang sebesar HK$ 17.000. Kepadaku dia berjanji akan membayar cicilan setiap bulan. Sekali lagi, aku terpaksa mempercayai janji dan ucapannya.

Waktu pembayaran tiba, bulan pertama dia bilang tak punya uang karena belum gajian. Belum berikutnya juga sama. Dua-tiga bulan aku masih berusaha diam, membayar angsuran. Kalau tidak kubayar aku takut aku sendiri yang bakal menghadapi masalah. Sebab, seluruh biodata peminjaman menggunakan dokumenku. Bulan keempat, komunikasi denganku mulai berkurang. Tiap kali kutelepon dia malah ”nyemprot” balik, meskipun tujuan menelepon belum tersampaikan. Setiap kali kukirim SMS pun, R tak mau membalasnya.
Seharusnya R mengerti, dari mana aku mendapat uang kalau setiap bulan habis dipakai untuk bayar angsuran. Bukankah aku juga butuh uang untuk hidup di Hong Kong, juga untuk keluargaku di tanah air? Tetapi R tak kunjung mengerti. Sekalipun begitu, aku masih berusaha memahami. Masalahnya, dengan apa lagi aku meminta R memahami, kalau dikontak saja tak mau membalas?Di saat aku dilanda kebingungan, aku beroleh kabar dari T (sahabat akrabnya), kalau R punya Lou Bo lagi. Tetapi aku tidak serta merta percaya pada kabar burung itu, sebelum aku melihat atau menyaksikannya sendiri. Bukan sesuatu yang tidak mungkin, kabar itu diembuskan orang-orang yang ingin merusak hubungan kami. Atau, bisa jadi, isu-isu seperti itu sengaja dilontarkan oleh teman-teman yang iri pada kebahagiaan kami. Karena, memang seperti itulah yang sering terjadi di sekelilingku.
Pada suatu kesempatan, aku menanyakannya baik-baik pada R. Tetapi dia bilang kalau feminis bernama Imel yang ngejar-ngejar dia. Sementara ia sendiri tak pernah ada hati untuk Imel. Masih dengan gayanya yang sok romantis, R berjanji tak akan pernah selingkuh. ”Hanya kamu milikku selamanya,” begitu dia bilang. Bunga cinta yang pernah ada kembali bermekaran setelah sempat layu karena masalah pembayaran angsuran.

Mumpung ketemu, dalam kesempatan itu kembali kusampaikan: aku butuh uang. Itu memang benar, kemarin orangtuaku minta kiriman. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia bilang belum ada uang. Heran, ke mana larinya uang dia? Padahal, selama jalan bareng, akulah yang sering keluar uang. Tabunganku ludes untuk menuruti segala keegoannya, yang tidak ingin dianggap TB kampungan. Penampilan, alat komunikasi juga tak mau kalah dengan yang lain. Pokoknya, dia ingin selalu mengikuti tren TB. Biar dianggap TB gaul.

Aku. Ya, aku. Seolah aku tak pernah ada dalam pikirannya. Meminta sesuatu dariku sekaligus bayar utang itu tanpa sedikit pun mau memikirkan aku. Kalau dia memikirkan aku, kenapa ketika aku mengeluh soal keuangan, dia bilang tak ada uang dan dijanjikan akan dipinjamkan pada temannya? Apakah ini yang disebut sayang? Apakah ini yang dinamakan cinta? O dunia, katakanlah padaku…!

Lama aku merenung. Lama aku memutar ulang awal kenal, awal aku terjun ke dunia LB. Apa dan kenapa aku memilih jalan yang belum tentu direstui ayah bunda? Hanya satu, aku butuh kasih sayang dan kebahagiaan. Tetapi apa yang telah kudapatkan? Kebahagiaankah? Kasih sayangkah? Ataukah cinta sejati yang selama ini kuagung-agungkan? Tidak ada! Sama sekali tidak ada untungnya. Kalaupun ada, hanya sesaat waktu, kedamaian semu semata. Bukan kebahagiaan hakiki.

Penyesalan selalu hadir belakangan. Aku yang terdampar dalam penderitaan dan penyesalan, bertekad meninggalkan dunia itu. Dunia yang hanya membuatku sengsara. Meski berat terasa, izinkan aku mencobanya. Sekiranya masih ada kepedulian dari teman-teman untuk membantuku bangkit melawan penderitaan ini.(Dituturkan ”U” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

LESBIAN MEMANFAATKAN AKU

”Padahal selama jalan bareng, akulah yang sering keluar uang. Tabunganku ludes untuk menuruti segala keegoannya, yang tak ingin dianggap TB kampungan. Penampilan, alat komunikasi juga nggak mau kalah dengan yang lain. Pokoknya dia ingin selalu mengikuti tren TB(Tomboi). Biar dianggap TB gaul.

Yup, tiga tahun sudah aku bekerja di Hong Kong. Meninggalkan sanak saudara di Cilacap, Jawa Tengah, kampung halamanku. Meski sudah tiga tahun, namun selama itu tidak membuahkan hasil apa pun dari hasil keringatku membanting tulang di rumah majikan, di North Point. Itu semua berawal dari perkenalanku dengan R. bukan hanya penghasilan yang hancur berantakan, tetapi hati dan hidupku ikut jadi ndak karuan. Pertama kali mengenalnya, aku memang tak pernah menyadari adanya bahaya yang mengancam. Setelah semua berkeping, baru aku menyadari ”kekeliruan” itu.



R, seorang teman perempuan yang kukenal di sini. Ia memiliki wajah dan sikap yang mirip sekali dengan laki-laki. Di mataku, ia begitu tampan, apalagi di depanku ia selalu menunjukkan sikap baik. Penyayang, pengertian, ramah, pokoknya aku tak pernah berpikir jika di kemudian hari ia bakal menyakiti diriku. Sama sekali aku tak tahu kalau ada sesuatu yang diharapkan dariku.
Dulu aku memang terlalu lugu. Pergaulanku pun terbilang minim. Itu yang membuat aku terjatuh dalam rasa suka terhadap sesama jenis. Aku belum merasakan jatuh cinta dengan lawan jenis. Barangkali itu salah satu alasan, kenapa aku bisa tergila-gila dengan R. Ia adalah segalanya bagiku saat itu. Yang ada dalam hati dan hidupku hanya ada dia, dia, dan dia. Tidak ada yang lain yang kupikirkan selain dia. Ugh, betapa aku sangat menyayangi R.

Empat bulan ”deketan” dengan R, ia mulai menyuruhku meminjam utang di bank perkreditan. Ia beralasan, ibunya sakit jantung dan butuh uang untuk berobat dan masuk RS. Meskipun kalimatnya begitu halus lembut, tetapi saat itu aku sempat kaget luar biasa. Logikanya, R kan juga kerja di rumah majikan yang otomatis bergaji. Jelas, aku keberatan terhadap permintaan itu. Tetapi karena setiap hari aku didesak, dengan gayanya yang menunjukkan kayak orang kepepet, aku jadi iba. Terpaksa kuiyakan, meski berat terasa.
Bersama R aku pergiu ke kantor bank untuk mengambil uang pinjaman pertama. Sesampai di sana, R kembali mendesakku agar meminjam uang sebesar HK$ 17.000. Kepadaku dia berjanji akan membayar cicilan setiap bulan. Sekali lagi, aku terpaksa mempercayai janji dan ucapannya.

Waktu pembayaran tiba, bulan pertama dia bilang tak punya uang karena belum gajian. Belum berikutnya juga sama. Dua-tiga bulan aku masih berusaha diam, membayar angsuran. Kalau tidak kubayar aku takut aku sendiri yang bakal menghadapi masalah. Sebab, seluruh biodata peminjaman menggunakan dokumenku. Bulan keempat, komunikasi denganku mulai berkurang. Tiap kali kutelepon dia malah ”nyemprot” balik, meskipun tujuan menelepon belum tersampaikan. Setiap kali kukirim SMS pun, R tak mau membalasnya.
Seharusnya R mengerti, dari mana aku mendapat uang kalau setiap bulan habis dipakai untuk bayar angsuran. Bukankah aku juga butuh uang untuk hidup di Hong Kong, juga untuk keluargaku di tanah air? Tetapi R tak kunjung mengerti. Sekalipun begitu, aku masih berusaha memahami. Masalahnya, dengan apa lagi aku meminta R memahami, kalau dikontak saja tak mau membalas?Di saat aku dilanda kebingungan, aku beroleh kabar dari T (sahabat akrabnya), kalau R punya Lou Bo lagi. Tetapi aku tidak serta merta percaya pada kabar burung itu, sebelum aku melihat atau menyaksikannya sendiri. Bukan sesuatu yang tidak mungkin, kabar itu diembuskan orang-orang yang ingin merusak hubungan kami. Atau, bisa jadi, isu-isu seperti itu sengaja dilontarkan oleh teman-teman yang iri pada kebahagiaan kami. Karena, memang seperti itulah yang sering terjadi di sekelilingku.
Pada suatu kesempatan, aku menanyakannya baik-baik pada R. Tetapi dia bilang kalau feminis bernama Imel yang ngejar-ngejar dia. Sementara ia sendiri tak pernah ada hati untuk Imel. Masih dengan gayanya yang sok romantis, R berjanji tak akan pernah selingkuh. ”Hanya kamu milikku selamanya,” begitu dia bilang. Bunga cinta yang pernah ada kembali bermekaran setelah sempat layu karena masalah pembayaran angsuran.

Mumpung ketemu, dalam kesempatan itu kembali kusampaikan: aku butuh uang. Itu memang benar, kemarin orangtuaku minta kiriman. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia bilang belum ada uang. Heran, ke mana larinya uang dia? Padahal, selama jalan bareng, akulah yang sering keluar uang. Tabunganku ludes untuk menuruti segala keegoannya, yang tidak ingin dianggap TB kampungan. Penampilan, alat komunikasi juga tak mau kalah dengan yang lain. Pokoknya, dia ingin selalu mengikuti tren TB. Biar dianggap TB gaul.

Aku. Ya, aku. Seolah aku tak pernah ada dalam pikirannya. Meminta sesuatu dariku sekaligus bayar utang itu tanpa sedikit pun mau memikirkan aku. Kalau dia memikirkan aku, kenapa ketika aku mengeluh soal keuangan, dia bilang tak ada uang dan dijanjikan akan dipinjamkan pada temannya? Apakah ini yang disebut sayang? Apakah ini yang dinamakan cinta? O dunia, katakanlah padaku…!

Lama aku merenung. Lama aku memutar ulang awal kenal, awal aku terjun ke dunia LB. Apa dan kenapa aku memilih jalan yang belum tentu direstui ayah bunda? Hanya satu, aku butuh kasih sayang dan kebahagiaan. Tetapi apa yang telah kudapatkan? Kebahagiaankah? Kasih sayangkah? Ataukah cinta sejati yang selama ini kuagung-agungkan? Tidak ada! Sama sekali tidak ada untungnya. Kalaupun ada, hanya sesaat waktu, kedamaian semu semata. Bukan kebahagiaan hakiki.

Penyesalan selalu hadir belakangan. Aku yang terdampar dalam penderitaan dan penyesalan, bertekad meninggalkan dunia itu. Dunia yang hanya membuatku sengsara. Meski berat terasa, izinkan aku mencobanya. Sekiranya masih ada kepedulian dari teman-teman untuk membantuku bangkit melawan penderitaan ini.(Dituturkan ”U” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

Senin, 07 Juli 2008

25 Bulan Kerja, 3 Kali Diserang Anjing

Malang nian nasib Heni Rahmawati, 30 tahun, BMI asal Jawa Timur. Selama 25 bulan bekerja di rumah majikan, ia menjadi bulan-bulanan hewan piaraan. Terakhir, ia harus berbaring di Nethersole Hospital, AED selama 10 hari. Saat bertemu Apakabar di base camp ATKI, Heni mengatakan, dirinya trauma balik ke rumah majikan untuk menyelesaikan kontrak keduanya.

Saat pertama kali memulai bekerja di 6/F Taiwo Village, Tai Po, NT, rumah berukuran 1.700 square, perasaan Heni sebenarnya sudah was-was. Pasalnya, selain dihuni enam orang anggota keluarga, rumah majikan juga dihuni empat ekor anjing plus tiga ekor kucing. Adalah tugas Heni untuk merawat seluruh hewan piaraan itu.
Meski sedari dulu takut anjing, apalagi Heni seorang muslimah, namun atas nama tugas dirinya tak bisa menolak. Heni hanya bisa berdoa, mudah-mudahan binatang-binatang piaraan itu tidak ”nakal”, syukur-syukur kalau mau nurut.

Meski anjing-anjing itu sudah diperlakukan baik sesuai dengan ”kodrat”-nya, tetapi si guk-guk ini tetap saja binatang yang tidak punya perasaan kasih. ”Selama di rumah majikan, tiga kali saya digigit anjing sampai parah,” tutur Heni. Sayangnya, sang majikan tak menganggap hal itu sebagai masalah serius. Pada gigitan pertama, majikan bahkan keberatan memberikan izin kepada Heni untuk pergi berobat. ”Meski akhirnya majikan ngasih saya izin, tetapi harus diawali dengan perdebatan,” imbuhnya.

Heni menuturkan, kejadian pertama berlangsung pada 2 Juli 2006, saat ia sedang memindahkan sisa makanan anjing besar ke tempat makanan yang lebih kecil. Tanpa gonggongan, tiba-tiba saja anjing besar menggigit tangannya. ”Saat itu majikan bilang, kejadian begitu adalah hal biasa.”

Menyusul kemudian, gigitan kedua si anjing yang terjadi pada 2 September 2006. ”Waktu itu saya sedang membersihkan kamar majikan, mendadak salah satu anjing langsung menerjang saya,” tutur Heni dengan wajah muram. Kali itu, seperti kejadian pertama, sebelum diizinkan pergi berobat, Heni harus berdebat terlebih dahulu, meski sang majikan tahu pekerjanya mengalami luka lengan.

Terakhir, kejadian yang memaksanya opname selama 10 hari di rumah sakit. ”Sungguh, saya nggak bisa melupakan kejadian itu, mbak,” kata anak buah agen Hung Ngan Co, Yau Ma Tei, KLN, itu kepada Apakabar. Syahdan, sore itu sekitar pukul 5, Heni berencana mengambil payung dari tempat yang tak jauh dari sofa, tempat anjing-anjing yausik. Mungkin karena kaget, anjing-anjing ini bangun dan langsung menerjang tubuhnya.

Sewaktu dikibaskan, anjing besar langsung menggigit tangannya. Teriakan Heni membuat anjing sontoloyo itu semakin galak dan beringas. Akibatnya, beberapa gigitan mengoyak tangan si pekerja. ”Herannya, tuan saya itu lho kok nggak mau keluar kamar,” sesal Heni, mengomentari sikap majikan.

Menurut dia, pada saat itu tuan ada di rumah. Namun, sepertinya sudah terbiasa mendengar anjing-anjingnya ribut. Setelah anjing itu puas menggigit Heni, barulah tuan keluar kamar dan memberikan pertolongan. Tak lama, ambulans datang dan membawa Heni ke rumah sakit.

Saat terbaring dalam perawatan di rumah sakit inilah, Heni mulai bimbang. Ia bingung, apakah sekeluar dari rumah sakit ia akan bertahan melanjutkan kontrak kerjanya yang kedua, atau memilih break kontrak. Jika melanjutkan kontrak, ia telanjur trauma, was-was kalau-kalau digigit anjing lagi. Tetapi kalau mengajukan break kontrak, sang majikan telanjur ”sayang”.

”Majikan sudah meminta saya untuk tetap melanjutkan kontrak kerja. Saya sebenarnya nggak keberatan, tetapi dengan syarat tidak ada anjing di rumah itu. Cuma, di situ majikan saya keberatan untuk ’memusnahkan’ anjing-anjingnya,” kata BMI, yang barusan lepas jahitan di tangannya ini. (Kristina Dian S)

25 Bulan Kerja, 3 Kali Diserang Anjing

Malang nian nasib Heni Rahmawati, 30 tahun, BMI asal Jawa Timur. Selama 25 bulan bekerja di rumah majikan, ia menjadi bulan-bulanan hewan piaraan. Terakhir, ia harus berbaring di Nethersole Hospital, AED selama 10 hari. Saat bertemu Apakabar di base camp ATKI, Heni mengatakan, dirinya trauma balik ke rumah majikan untuk menyelesaikan kontrak keduanya.

Saat pertama kali memulai bekerja di 6/F Taiwo Village, Tai Po, NT, rumah berukuran 1.700 square, perasaan Heni sebenarnya sudah was-was. Pasalnya, selain dihuni enam orang anggota keluarga, rumah majikan juga dihuni empat ekor anjing plus tiga ekor kucing. Adalah tugas Heni untuk merawat seluruh hewan piaraan itu.
Meski sedari dulu takut anjing, apalagi Heni seorang muslimah, namun atas nama tugas dirinya tak bisa menolak. Heni hanya bisa berdoa, mudah-mudahan binatang-binatang piaraan itu tidak ”nakal”, syukur-syukur kalau mau nurut.

Meski anjing-anjing itu sudah diperlakukan baik sesuai dengan ”kodrat”-nya, tetapi si guk-guk ini tetap saja binatang yang tidak punya perasaan kasih. ”Selama di rumah majikan, tiga kali saya digigit anjing sampai parah,” tutur Heni. Sayangnya, sang majikan tak menganggap hal itu sebagai masalah serius. Pada gigitan pertama, majikan bahkan keberatan memberikan izin kepada Heni untuk pergi berobat. ”Meski akhirnya majikan ngasih saya izin, tetapi harus diawali dengan perdebatan,” imbuhnya.

Heni menuturkan, kejadian pertama berlangsung pada 2 Juli 2006, saat ia sedang memindahkan sisa makanan anjing besar ke tempat makanan yang lebih kecil. Tanpa gonggongan, tiba-tiba saja anjing besar menggigit tangannya. ”Saat itu majikan bilang, kejadian begitu adalah hal biasa.”

Menyusul kemudian, gigitan kedua si anjing yang terjadi pada 2 September 2006. ”Waktu itu saya sedang membersihkan kamar majikan, mendadak salah satu anjing langsung menerjang saya,” tutur Heni dengan wajah muram. Kali itu, seperti kejadian pertama, sebelum diizinkan pergi berobat, Heni harus berdebat terlebih dahulu, meski sang majikan tahu pekerjanya mengalami luka lengan.

Terakhir, kejadian yang memaksanya opname selama 10 hari di rumah sakit. ”Sungguh, saya nggak bisa melupakan kejadian itu, mbak,” kata anak buah agen Hung Ngan Co, Yau Ma Tei, KLN, itu kepada Apakabar. Syahdan, sore itu sekitar pukul 5, Heni berencana mengambil payung dari tempat yang tak jauh dari sofa, tempat anjing-anjing yausik. Mungkin karena kaget, anjing-anjing ini bangun dan langsung menerjang tubuhnya.

Sewaktu dikibaskan, anjing besar langsung menggigit tangannya. Teriakan Heni membuat anjing sontoloyo itu semakin galak dan beringas. Akibatnya, beberapa gigitan mengoyak tangan si pekerja. ”Herannya, tuan saya itu lho kok nggak mau keluar kamar,” sesal Heni, mengomentari sikap majikan.

Menurut dia, pada saat itu tuan ada di rumah. Namun, sepertinya sudah terbiasa mendengar anjing-anjingnya ribut. Setelah anjing itu puas menggigit Heni, barulah tuan keluar kamar dan memberikan pertolongan. Tak lama, ambulans datang dan membawa Heni ke rumah sakit.

Saat terbaring dalam perawatan di rumah sakit inilah, Heni mulai bimbang. Ia bingung, apakah sekeluar dari rumah sakit ia akan bertahan melanjutkan kontrak kerjanya yang kedua, atau memilih break kontrak. Jika melanjutkan kontrak, ia telanjur trauma, was-was kalau-kalau digigit anjing lagi. Tetapi kalau mengajukan break kontrak, sang majikan telanjur ”sayang”.

”Majikan sudah meminta saya untuk tetap melanjutkan kontrak kerja. Saya sebenarnya nggak keberatan, tetapi dengan syarat tidak ada anjing di rumah itu. Cuma, di situ majikan saya keberatan untuk ’memusnahkan’ anjing-anjingnya,” kata BMI, yang barusan lepas jahitan di tangannya ini. (Kristina Dian S)

Jumat, 04 Juli 2008

SUAMIKU PEMBUNUH BERDARAH DINGIN

Sungguh aku tak tahu, apa yang menggerakkan hatiku untuk mencintainya. Berkali tersakiti, tapi selalu saja kumaafkan. Hingga akhirnya aku menerima kenyataan, adik ipar dan kakak kandungku meninggal dunia. Belakangan terbukti, suamiku telah membunuh orang-orang yang kucintai. Masihkah hatiku tergoda untuk memaafkannya?

Kali pertama aku mengenal Dasir (bukan nama sebenarnya), ia baru keluar dari penjara. Meski lajang itu tetangga satu kampung, tapi aku tidak begitu mengenalnya. Sejak kecil aku dirawat oleh orangtua angkat, saudara bapak, di kota yang berbeda. Itu yang membuatku kurang paham pemuda-pemuda di dusunku, lantaran aku jarang pulang kampung menengok orangtua kandung.

Parahnya, ketika aku memutuskan pacaran dengan Dasir, bahkan kemudian menikah, orangtuaku tak keberatan. Padahal, mereka tahu Dasir bekas narapidana. Alasan mereka, jangan melihat masa lalu Dasir, karena orang hidup tak bisa nyaman jika masih dibayang-bayangi oleh masa lalu. Jujur, keluargaku hanya tahu Dasir masuk penjara karena kasus pemilikan narkoba. Bukan kasus pembunuhan, yang sebenarnya sudah didesas-desuskan masyarakat.

Setelah kami menikah dengan pesta kecil-kecilan, kami hidup menumpang di rumah orangtua. Tetapi aku merasa tidak tentram secara lahir batin hidup bersama keluarga suami. Seolah-olah, suamiku masih milik orangtuanya. Hari-hari Dasir praktis hanya dihabiskan untuk membantu orangtuanya berjualan hewan potong di pasar. Pulang malam dan berangkat pagi. Hanya beberapa menit berada di sampingku dan buah hati kami yang masih bayi.

Yang lebih tak mengenakkan, suamiku bekerja tanpa beroleh gaji. Meski kebutuhan harian dicukupi oleh orang tuanya, tetapi aku sebagai ibu rumah tangga merasa tertekan lantaran tak pernah pegang uang. Jika ingin beli sesuatu untuk anak, terpaksa aku minta pada orangtuaku sendiri, yang notabene pegawai rendahan di sebuah perusahaan asing.

Saat si kecil berusia 2 tahun, aku minta kembali ke rumah orangtua kandungku. Sempat mertuaku melarang, tersinggung oleh keinginan itu. Tetapi lama kelamaan memaklumi, meski dengan syarat suamiku tak boleh ikut pindah serta. Mereka berdalih, tenaga Dasir sangat dibutuhkan karena mereka hanya memiliki sepasang anak. Anak yang perempuan sudah menikah dan ikut suaminya tinggal di rumah yang tak jauh pula dari rumah mertua.

So pasti, pisah ranjang dengan suami sungguh tidak mengenakkan. Suara-suara sumbang di luaran terasa menyesakkan. Aku tak tahan jadi bahan omongan orang. Dibilang janda, masih punya suami. Dibilang ada suami, tak sekalipun ia mau mengunjungi selama lima bulan. Akhirnya, aku minta kepastian dari suamiku. Kalau mau bercerai dan berat dengan orangtuanya, silakan ceraikan aku. Kalau sayang dan memikirkan aku dan anak, marilah hidup mandiri dan tidak menggantung hidupku kayak gini. Apakah salah pintaku itu?

Ya Tuhan! Mas Dasir minta waktu untuk berpikir, mencari jalan mencari uang demi bekal kehidupan kami secara mandiri. Sebagai istri yang prihatin sekaligus marah dengan sikap suami, aku tetap berusaha memberinya waktu membuktikan kata-katanya. Tetapi, tahukah Mas Dasir tentang perasaanku yang hancur berantakan? Sepanjang malam batinku menangis, apalagi jika memandang buah hati yang tertidur pulas. Tak adakah rasa rindunya untuk anak kami, untuk aku?

Sempat aku berpikir, suamiku tak cinta lagi padaku dan anak. Sempat aku menilai, suamiku ada wanita lain dalam hidupnya. Sempat, sempat, dan aku sempat menyodorkan surat cerai melihat Mas Dasir tak juga menentukan pilihan hidup. Tapi kuurungkan. Kuyakini suamiku bersikap dan bertindak seperti itu karena paksaan orangtuanya yang tak memahami kami.

Bulan kedelapan sejak aku kembali ke rumah orangtua, aku mendengar adik iparku meninggal dunia mendadak. Kata keluarga suamiku, meninggalnya Ning Aning karena keracunan makanan – seperti kata dokter praktek di kampung mereka. Mendengar kabar itu, batinku sungguh terpukul. Aku sudah menganggap Aning seperti adikku sendiri. Dia banyak memberiku arahan merawat bayi, anakku. Kami sering pergi ke pasar bersama, makan bersama, membawa anak ke puskesmas bersama. Kini ia telah tiada, meninggalkan dua anak yang masih balita. Saat itu aku langsung ke rumah mertua.

Airmataku tak bisa lagi kubendung. Sampai aku tak sadar diri. Kenyataan itu sungguh menyakitkan. Adik iparku meninggal tanpa sebab. Aku melihat suamiku bermuram durja. Matanya cekung, badannya seperti tak terurus. Rambutnya gondrong. Aku memeluknya dalam tangis. Kucoba memberikan kekuatan di saat ia kehilangan saudara kandung. Berkali kuhapus air mata Mas Dasir. Aku dapat merasakan, ia begitu kehilangan.

Selama masa berkabung suamiku tak banyak kata. Ia lebih suka mengurung diri di kamar. Seolah, kehadiran anak pun tak dapat menghiburnya. Malahan, anakku tak sekalipun tersentuh pipi atau tangannya, seperti ketika ia baru lahir. Hal itu terus berlanjut hingga dua minggu.

Satu bulan aku tinggal di rumah mertua dalam masa berkabung. Suamiku sudah bisa sedikit tersenyum. Lalu, aku kembali memboyong anakku kembali ke rumah orangtua kandung. Kali ini aku agak bersyukur, Mas Dasir mau mengantarkan dan tinggal beberapa hari di rumah.

Kebahagiaanku tak ternilai harganya. Setidaknya aku bisa ”mengatakan” pada masyarakat, aku masih punya suami. Tentu saja, kedatangan suamiku juga disambut ceria oleh keluargaku. Ya, sejatinya keluargaku sangat menyayangi Mas Dasir. Tapi entahlah, suamiku seolah tak mau tahu dengan perhatian itu. Ia tetap masih balik ke orangtuanya.

Ketidakpastian dari sisi ekonomi, akhirnya menuntut langkah kakiku – yang terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara – pergi merantau ke Hong Kong. Saat itu, jujur, aku tak pamit pada suamiku. Kupikir percuma saja aku pamit, toh, ia sendiri tak pernah lagi bersedia menemuiku di rumah orangtua.

Tujuh bulan setelah masa potongan, aku baru punya kesempatan mengontak ke tanah air. Kata orangtua, sejak kepergianku, Mas Dasir justru sering datang ke rumah untuk menjenguk anak. Secara tidak langsung, kerinduanku terhadap suami kembali bergelora. Kutelepon Mas Dasir di rumahnya pada tengah malam, setelah aku menyelesaikan pekerjaan di rumah majikan.

Suara yang kusut, kalut, bingung kali pertama kukontak. Mas Dasir tak percaya aku mau menghubunginya. Ia berpikir, aku pergi dari hidupnya untuk selamanya. Ia menduga, aku mencari laki-laki lain yang bisa membahagiakan hidupku. Duh, batinku serasa meronta. Betapa aku ingin mengatakan bahwa aku masih mencintainya. Dan, aku tak akan mungkin meninggalkan suamiku untuk selamanya. Kukatakan, kepergian ini karena terpaksa. Sebab, hidup butuh makan, anak butuh biaya sekolah. Seorang istri juga bukan hanya jadi hiasan rumah yang dibiarkan, diabaikan tanpa kepastian.

Sungguh suatu anugerah, suamiku memintaku pulang. Ia bilang, orangtuanya sudah menghibahkan hak waris kepadanya. Ia juga dikasih modal untuk buka mini market di daerahnya. ”Aku kehilangan kendali saat tak bersamamu,” begitu kata terakhir yang ia sampaikan di ujung komunikasi kami. Sebelumnya, aku juga sudah berjanji padanya untuk pulang setelah menyelesaikan kontrak kerja. Aku hanya minta padanya untuk sering-sering nengokin anak yang diasuh budenya. Ia setuju.

Enam bulan mendekati finish contract di rumah majikan di daerah Prince Edward, ketenanganku kembali terkoyak. Aku mendapat kabar dari keluarga, kakak perempuanku meninggal dunia terjatuh dari kamar mandi. Duh Gusti, cobaan apalagi yang hendak kau timpakan padaku? Belum habis rasa kehilanganku atas meninggalnya adik ipar, sekarang kakak kandungku pergi untuk selamanya. Ke mana lagi kaki ini akan melangkah menggapai ketenangan hidup?

Hasratku tak bisa kubendung. Saat itu juga aku minta pulang ke tanah air dan tak hendak kembali lagi. Tetapi agen dan majikan mencoba menenangkan dan menghiburku. Mereka benar. Pulang ke tanah air pun, aku tak mungkin bisa menatap wajah kakak tercintaku untuk terakhir kali. Sebab, saat aku menerima kabar kematian kakak, sesungguhnya sudah hari ketiga. Kuurungkan niat pulang sebelum finish contract.

Belum genap sebulan kematian kakak, lagi-lagi aku terhantam cobaan yang sangat dahsyat. Tak ada arah lagi aku berpikir. Logikaku mati! Aku sendiri tak tahu, apakah aku ini masih perempuan yang waras. Perasaanku sudah mati untuk memikirkan anak, suami, dan keluarga. Bahkan, memikirkan masa depan pun sudah tak ada. Aku ingin mati, tapi takut dosa. Bertahan hidup, aku sudah tak punya keinginan. Aku pasrah.

Hari itu aku menerima kabar, Mas Dasir suamiku ditangkap polisi. Ia dimintai keterangan polisi atas meninggalnya kakak, karena sewaktu kejadian suamiku barusan menjenguk anak. Belakangan, suamiku dijadikan tersangka. Dari hasil penyelidikan, terbukti kuat suamiku yang melakukan pembunuhan. Yang lebih mengerikan, suamiku juga mengakui telah membunuh adik kandungnya demi mendapatkan hak waris.

Pembaca yang budiman, jika keadaan sudah seperti ini, masihkah pintu maaf kubuka untuk suamiku? Pikiranku kacau. Satu-satunya yang kini kulakukan hanya menghabiskan kontrak terdahulu, lalu menyambung kontrak di rumah majikan ini demi masa depanku dan anak semata wayangku.(Dituturkan ”Ir” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

SUAMIKU PEMBUNUH BERDARAH DINGIN

Sungguh aku tak tahu, apa yang menggerakkan hatiku untuk mencintainya. Berkali tersakiti, tapi selalu saja kumaafkan. Hingga akhirnya aku menerima kenyataan, adik ipar dan kakak kandungku meninggal dunia. Belakangan terbukti, suamiku telah membunuh orang-orang yang kucintai. Masihkah hatiku tergoda untuk memaafkannya?

Kali pertama aku mengenal Dasir (bukan nama sebenarnya), ia baru keluar dari penjara. Meski lajang itu tetangga satu kampung, tapi aku tidak begitu mengenalnya. Sejak kecil aku dirawat oleh orangtua angkat, saudara bapak, di kota yang berbeda. Itu yang membuatku kurang paham pemuda-pemuda di dusunku, lantaran aku jarang pulang kampung menengok orangtua kandung.

Parahnya, ketika aku memutuskan pacaran dengan Dasir, bahkan kemudian menikah, orangtuaku tak keberatan. Padahal, mereka tahu Dasir bekas narapidana. Alasan mereka, jangan melihat masa lalu Dasir, karena orang hidup tak bisa nyaman jika masih dibayang-bayangi oleh masa lalu. Jujur, keluargaku hanya tahu Dasir masuk penjara karena kasus pemilikan narkoba. Bukan kasus pembunuhan, yang sebenarnya sudah didesas-desuskan masyarakat.

Setelah kami menikah dengan pesta kecil-kecilan, kami hidup menumpang di rumah orangtua. Tetapi aku merasa tidak tentram secara lahir batin hidup bersama keluarga suami. Seolah-olah, suamiku masih milik orangtuanya. Hari-hari Dasir praktis hanya dihabiskan untuk membantu orangtuanya berjualan hewan potong di pasar. Pulang malam dan berangkat pagi. Hanya beberapa menit berada di sampingku dan buah hati kami yang masih bayi.

Yang lebih tak mengenakkan, suamiku bekerja tanpa beroleh gaji. Meski kebutuhan harian dicukupi oleh orang tuanya, tetapi aku sebagai ibu rumah tangga merasa tertekan lantaran tak pernah pegang uang. Jika ingin beli sesuatu untuk anak, terpaksa aku minta pada orangtuaku sendiri, yang notabene pegawai rendahan di sebuah perusahaan asing.

Saat si kecil berusia 2 tahun, aku minta kembali ke rumah orangtua kandungku. Sempat mertuaku melarang, tersinggung oleh keinginan itu. Tetapi lama kelamaan memaklumi, meski dengan syarat suamiku tak boleh ikut pindah serta. Mereka berdalih, tenaga Dasir sangat dibutuhkan karena mereka hanya memiliki sepasang anak. Anak yang perempuan sudah menikah dan ikut suaminya tinggal di rumah yang tak jauh pula dari rumah mertua.

So pasti, pisah ranjang dengan suami sungguh tidak mengenakkan. Suara-suara sumbang di luaran terasa menyesakkan. Aku tak tahan jadi bahan omongan orang. Dibilang janda, masih punya suami. Dibilang ada suami, tak sekalipun ia mau mengunjungi selama lima bulan. Akhirnya, aku minta kepastian dari suamiku. Kalau mau bercerai dan berat dengan orangtuanya, silakan ceraikan aku. Kalau sayang dan memikirkan aku dan anak, marilah hidup mandiri dan tidak menggantung hidupku kayak gini. Apakah salah pintaku itu?

Ya Tuhan! Mas Dasir minta waktu untuk berpikir, mencari jalan mencari uang demi bekal kehidupan kami secara mandiri. Sebagai istri yang prihatin sekaligus marah dengan sikap suami, aku tetap berusaha memberinya waktu membuktikan kata-katanya. Tetapi, tahukah Mas Dasir tentang perasaanku yang hancur berantakan? Sepanjang malam batinku menangis, apalagi jika memandang buah hati yang tertidur pulas. Tak adakah rasa rindunya untuk anak kami, untuk aku?

Sempat aku berpikir, suamiku tak cinta lagi padaku dan anak. Sempat aku menilai, suamiku ada wanita lain dalam hidupnya. Sempat, sempat, dan aku sempat menyodorkan surat cerai melihat Mas Dasir tak juga menentukan pilihan hidup. Tapi kuurungkan. Kuyakini suamiku bersikap dan bertindak seperti itu karena paksaan orangtuanya yang tak memahami kami.

Bulan kedelapan sejak aku kembali ke rumah orangtua, aku mendengar adik iparku meninggal dunia mendadak. Kata keluarga suamiku, meninggalnya Ning Aning karena keracunan makanan – seperti kata dokter praktek di kampung mereka. Mendengar kabar itu, batinku sungguh terpukul. Aku sudah menganggap Aning seperti adikku sendiri. Dia banyak memberiku arahan merawat bayi, anakku. Kami sering pergi ke pasar bersama, makan bersama, membawa anak ke puskesmas bersama. Kini ia telah tiada, meninggalkan dua anak yang masih balita. Saat itu aku langsung ke rumah mertua.

Airmataku tak bisa lagi kubendung. Sampai aku tak sadar diri. Kenyataan itu sungguh menyakitkan. Adik iparku meninggal tanpa sebab. Aku melihat suamiku bermuram durja. Matanya cekung, badannya seperti tak terurus. Rambutnya gondrong. Aku memeluknya dalam tangis. Kucoba memberikan kekuatan di saat ia kehilangan saudara kandung. Berkali kuhapus air mata Mas Dasir. Aku dapat merasakan, ia begitu kehilangan.

Selama masa berkabung suamiku tak banyak kata. Ia lebih suka mengurung diri di kamar. Seolah, kehadiran anak pun tak dapat menghiburnya. Malahan, anakku tak sekalipun tersentuh pipi atau tangannya, seperti ketika ia baru lahir. Hal itu terus berlanjut hingga dua minggu.

Satu bulan aku tinggal di rumah mertua dalam masa berkabung. Suamiku sudah bisa sedikit tersenyum. Lalu, aku kembali memboyong anakku kembali ke rumah orangtua kandung. Kali ini aku agak bersyukur, Mas Dasir mau mengantarkan dan tinggal beberapa hari di rumah.

Kebahagiaanku tak ternilai harganya. Setidaknya aku bisa ”mengatakan” pada masyarakat, aku masih punya suami. Tentu saja, kedatangan suamiku juga disambut ceria oleh keluargaku. Ya, sejatinya keluargaku sangat menyayangi Mas Dasir. Tapi entahlah, suamiku seolah tak mau tahu dengan perhatian itu. Ia tetap masih balik ke orangtuanya.

Ketidakpastian dari sisi ekonomi, akhirnya menuntut langkah kakiku – yang terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara – pergi merantau ke Hong Kong. Saat itu, jujur, aku tak pamit pada suamiku. Kupikir percuma saja aku pamit, toh, ia sendiri tak pernah lagi bersedia menemuiku di rumah orangtua.

Tujuh bulan setelah masa potongan, aku baru punya kesempatan mengontak ke tanah air. Kata orangtua, sejak kepergianku, Mas Dasir justru sering datang ke rumah untuk menjenguk anak. Secara tidak langsung, kerinduanku terhadap suami kembali bergelora. Kutelepon Mas Dasir di rumahnya pada tengah malam, setelah aku menyelesaikan pekerjaan di rumah majikan.

Suara yang kusut, kalut, bingung kali pertama kukontak. Mas Dasir tak percaya aku mau menghubunginya. Ia berpikir, aku pergi dari hidupnya untuk selamanya. Ia menduga, aku mencari laki-laki lain yang bisa membahagiakan hidupku. Duh, batinku serasa meronta. Betapa aku ingin mengatakan bahwa aku masih mencintainya. Dan, aku tak akan mungkin meninggalkan suamiku untuk selamanya. Kukatakan, kepergian ini karena terpaksa. Sebab, hidup butuh makan, anak butuh biaya sekolah. Seorang istri juga bukan hanya jadi hiasan rumah yang dibiarkan, diabaikan tanpa kepastian.

Sungguh suatu anugerah, suamiku memintaku pulang. Ia bilang, orangtuanya sudah menghibahkan hak waris kepadanya. Ia juga dikasih modal untuk buka mini market di daerahnya. ”Aku kehilangan kendali saat tak bersamamu,” begitu kata terakhir yang ia sampaikan di ujung komunikasi kami. Sebelumnya, aku juga sudah berjanji padanya untuk pulang setelah menyelesaikan kontrak kerja. Aku hanya minta padanya untuk sering-sering nengokin anak yang diasuh budenya. Ia setuju.

Enam bulan mendekati finish contract di rumah majikan di daerah Prince Edward, ketenanganku kembali terkoyak. Aku mendapat kabar dari keluarga, kakak perempuanku meninggal dunia terjatuh dari kamar mandi. Duh Gusti, cobaan apalagi yang hendak kau timpakan padaku? Belum habis rasa kehilanganku atas meninggalnya adik ipar, sekarang kakak kandungku pergi untuk selamanya. Ke mana lagi kaki ini akan melangkah menggapai ketenangan hidup?

Hasratku tak bisa kubendung. Saat itu juga aku minta pulang ke tanah air dan tak hendak kembali lagi. Tetapi agen dan majikan mencoba menenangkan dan menghiburku. Mereka benar. Pulang ke tanah air pun, aku tak mungkin bisa menatap wajah kakak tercintaku untuk terakhir kali. Sebab, saat aku menerima kabar kematian kakak, sesungguhnya sudah hari ketiga. Kuurungkan niat pulang sebelum finish contract.

Belum genap sebulan kematian kakak, lagi-lagi aku terhantam cobaan yang sangat dahsyat. Tak ada arah lagi aku berpikir. Logikaku mati! Aku sendiri tak tahu, apakah aku ini masih perempuan yang waras. Perasaanku sudah mati untuk memikirkan anak, suami, dan keluarga. Bahkan, memikirkan masa depan pun sudah tak ada. Aku ingin mati, tapi takut dosa. Bertahan hidup, aku sudah tak punya keinginan. Aku pasrah.

Hari itu aku menerima kabar, Mas Dasir suamiku ditangkap polisi. Ia dimintai keterangan polisi atas meninggalnya kakak, karena sewaktu kejadian suamiku barusan menjenguk anak. Belakangan, suamiku dijadikan tersangka. Dari hasil penyelidikan, terbukti kuat suamiku yang melakukan pembunuhan. Yang lebih mengerikan, suamiku juga mengakui telah membunuh adik kandungnya demi mendapatkan hak waris.

Pembaca yang budiman, jika keadaan sudah seperti ini, masihkah pintu maaf kubuka untuk suamiku? Pikiranku kacau. Satu-satunya yang kini kulakukan hanya menghabiskan kontrak terdahulu, lalu menyambung kontrak di rumah majikan ini demi masa depanku dan anak semata wayangku.(Dituturkan ”Ir” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

Rabu, 02 Juli 2008

MENUNTUT DOKUMEN BMI AJAK POLISI

Sudah bukan rahasia lagi, ada banyak alasan yang dikemukakan agen untuk melakukan penahanan terhadap dokumen anak buah mereka, begitu new domestic helper tiba Hong Kong. Padahal, menurut ketentuan hukum yang berlaku, tindakan menahan dokumen yang dilakukan agen atau majikan merupakan perbuatan pidana. Selama ini, tindakan penahanan dokumen umumnya dikaitkan dengan alasan keamanan BMI. Utamanya untuk pengurusan beberapa keperluan, seperti bikin KTP, kesehatan, dll. Namun, dalam praktek, tidak sedikit majikan yang melakukan penahan dokumen pembantunya hingga berakhirnya masa kontrak si BMI. Bahkan, ada yang menjelang kontrak di rumah majikan finish, pengambilan dokumen masih dipersulit agen.

Hal terakhir dialami oleh tiga BMI, yang masing-masing berangkat melalui PT TSW Sawojajar, Malang. Saking sulitnya mengambil dokumen yang notabene merupakan haknya, mereka sampai terpaksa ”menggandeng” dua petugas polisi untuk mendatangi agen Chenchen Company di Flat B, 5th Floor, Fortune Crest, 138 Sai Yeung Choi Street, Mong Kok.

Peristiwa BMI nggandeng polisi itu terjadi pada Minggu (13/4), sekira pukul 10.30 pagi. Celakanya, salah seorang dari mereka langsung diusir oleh si pemilik agen. Pengusiran dilakukan dengan alasan: BMI berkulit hitam manis ini sudah bukan anak buahnya lagi. Kepada Apakabar, si BMI ini memang mengaku sudah pindah agen.

Berbeda dengan dua BMI yang lain, Avega (21 tahun) dan NT (26 tahun), yang memang masih tercatat sebagai anak buah agen itu. Mungkin karena didampingi polisi, keduanya terlihat ”panas” saat agen laki-laki ini – dengan berbagai dalih – keberatan memberikan dokumen. Alasan utamanya, akan dipakai untuk membeli tiket. Padahal, kedua BMI yang berangkat dan finish pada hari yang bersamaan ini, pada 21 April itu bisa dinyatakan finish kontrak bekerja di rumah majikan.

Sudah umum diketahui, banyak persiapan yang dilakukan BMI sebelum keluar dari majikan. Di antaranya, mencoba peruntungan dengan mencari majikan baru. Sesuai peraturan di Hong Kong, BMI masih memiliki waktu dua minggu sejak keluar dari rumah majikan. Tentu, waktu yang sesempit itu tidaklah memungkinkan bagi BMI untuk mendapatkan majikan baru. Sementara, jika BMI yang masih ingin bekerja di Hong Kong – seperti kedua BMI tadi – harus pulang ke tanah air, jelas berisiko membayar lagi potongan agen dari awal.

Perdebatan dan saling bantah antara agen dengan anak buah itu semakin seru. Bisa dibayangkan, ”pertengkaran” yang dimulai pukul 10.30 baru berakhir sekira pukul 12.30. Itu pun setelah polisi – yang semula hanya memberikan waktu buat kedua pihak berdebat – turun tangan melerai.

Lantas, apa pasal agen sampai sengotot itu mempertahankan dokumen yang bukan miliknya? ”Sungguh, bukannya saya tidak mau memberikan dokumen mereka (NT dan Avega). Saya memang berencana membelikan tiket di Tailok, karena di sana harganya murah. Ngo em meng, kenapa tiba-tiba datang ke kantor sambil membawa-bawa polisi,” sungut Mr. Lai King, si pemilik agency, saat dihubungi Apakabar pada hari kejadian. Nah lu? (Kristina Dian S)

MENUNTUT DOKUMEN BMI AJAK POLISI

Sudah bukan rahasia lagi, ada banyak alasan yang dikemukakan agen untuk melakukan penahanan terhadap dokumen anak buah mereka, begitu new domestic helper tiba Hong Kong. Padahal, menurut ketentuan hukum yang berlaku, tindakan menahan dokumen yang dilakukan agen atau majikan merupakan perbuatan pidana. Selama ini, tindakan penahanan dokumen umumnya dikaitkan dengan alasan keamanan BMI. Utamanya untuk pengurusan beberapa keperluan, seperti bikin KTP, kesehatan, dll. Namun, dalam praktek, tidak sedikit majikan yang melakukan penahan dokumen pembantunya hingga berakhirnya masa kontrak si BMI. Bahkan, ada yang menjelang kontrak di rumah majikan finish, pengambilan dokumen masih dipersulit agen.

Hal terakhir dialami oleh tiga BMI, yang masing-masing berangkat melalui PT TSW Sawojajar, Malang. Saking sulitnya mengambil dokumen yang notabene merupakan haknya, mereka sampai terpaksa ”menggandeng” dua petugas polisi untuk mendatangi agen Chenchen Company di Flat B, 5th Floor, Fortune Crest, 138 Sai Yeung Choi Street, Mong Kok.

Peristiwa BMI nggandeng polisi itu terjadi pada Minggu (13/4), sekira pukul 10.30 pagi. Celakanya, salah seorang dari mereka langsung diusir oleh si pemilik agen. Pengusiran dilakukan dengan alasan: BMI berkulit hitam manis ini sudah bukan anak buahnya lagi. Kepada Apakabar, si BMI ini memang mengaku sudah pindah agen.

Berbeda dengan dua BMI yang lain, Avega (21 tahun) dan NT (26 tahun), yang memang masih tercatat sebagai anak buah agen itu. Mungkin karena didampingi polisi, keduanya terlihat ”panas” saat agen laki-laki ini – dengan berbagai dalih – keberatan memberikan dokumen. Alasan utamanya, akan dipakai untuk membeli tiket. Padahal, kedua BMI yang berangkat dan finish pada hari yang bersamaan ini, pada 21 April itu bisa dinyatakan finish kontrak bekerja di rumah majikan.

Sudah umum diketahui, banyak persiapan yang dilakukan BMI sebelum keluar dari majikan. Di antaranya, mencoba peruntungan dengan mencari majikan baru. Sesuai peraturan di Hong Kong, BMI masih memiliki waktu dua minggu sejak keluar dari rumah majikan. Tentu, waktu yang sesempit itu tidaklah memungkinkan bagi BMI untuk mendapatkan majikan baru. Sementara, jika BMI yang masih ingin bekerja di Hong Kong – seperti kedua BMI tadi – harus pulang ke tanah air, jelas berisiko membayar lagi potongan agen dari awal.

Perdebatan dan saling bantah antara agen dengan anak buah itu semakin seru. Bisa dibayangkan, ”pertengkaran” yang dimulai pukul 10.30 baru berakhir sekira pukul 12.30. Itu pun setelah polisi – yang semula hanya memberikan waktu buat kedua pihak berdebat – turun tangan melerai.

Lantas, apa pasal agen sampai sengotot itu mempertahankan dokumen yang bukan miliknya? ”Sungguh, bukannya saya tidak mau memberikan dokumen mereka (NT dan Avega). Saya memang berencana membelikan tiket di Tailok, karena di sana harganya murah. Ngo em meng, kenapa tiba-tiba datang ke kantor sambil membawa-bawa polisi,” sungut Mr. Lai King, si pemilik agency, saat dihubungi Apakabar pada hari kejadian. Nah lu? (Kristina Dian S)